31

7.5K 728 223
                                    

"Ini untukmu."

Sosok bocah yang mematri senyum begitu lebar dihadapannya menyodorkan satu bungkus permen pada Yugyeom. Setika saat itu juga tangisnya mereda. Yugyeom Mengadahkan kepala menatap satu pasang netra yang punya cahaya begitu hidup meski keadaan wajahnya sangat memprihatinkan. "Jangan menangis lagi, ya. Ayahku bilang jadi anak lelaki tidak boleh cengeng."

Bocah yang ada dihadapannya hanya cengegesan ketika perkataannya tak ditanggapi oleh Yugyeom. Sepasang gigi kelincinya tampak menyebul lucu. "Orangtuamu tidak bisa antar pasti karena mereka sedang sibuk. Mungkin mereka ada urusan yang begitu mendadak. Nanti kalau sudah punya waktu luang, mereka pasti antar jemput kamu, kok."

"Kamu tadi bilang mereka tidak sayang padamu, kan?"

Yugyeom hanya menggangguk seadanya, masih enggan untuk buka mulut, "Jangan pernah bilang seperti itu lagi, ya. Mereka berdua pasti sangat menyayangimu bahkan sampai rela harus kerja siang dan malam hanya untuk membuatmu berkecupan. Membelikanmu makanan yang lezat, mainan-mainan yang keren, tempat tidur yang nyaman, menyekolahkanmu ditempat--"

"Kau tidak tahu apapun!" Yugyeom mendengus tak suka, ia memotong perkataan bocah yang dia anggap aneh tersebut.

"Aku memang tidak tahu apapun. Tidak, kita berdua memang tidak tahu serumit apa kehidupan orang dewasa. Tapi, kita harus belajar untuk mengerti dan tidak memaksa apalagi menuntut yang aneh-aneh. Satu hal yang harus kamu syukuri, orangtuamu masih ada disampingmu bahkan bisa dipeluk dan dicium kapanpun. Ak- aku bahkan--"

"Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan ibuku sejak lahir."

Yugyeom menatap tak percaya bocah dihadapannya, "tapi tadi aku melihat kau diantar dengan ibumu."

Ia hanya terkekeh sambil menggeleng menanggapi ucapan Yugyeom, "tidak. Beliau adalah orang baik yang mau mengurus anak merepotkan sepertiku. Ibuku sudah meninggal."

Yugyeom jadi merasa bersalah, namun bocah yang ada dihadapannya kembali tersenyum begitu lebar, mengulurkan tangan padanya sambil berujar, "sekarang kita jadi teman, ya. Namaku Kim Jung-- eh, Jeon Jungkook. Iya, namaku Jeon Jungkook."

Yugyeom membalas uluran tangan bocah yang kini ia ketahui bernama Jeon Jungkook tersebut, "Aku Kim Yugyeom."

***

"Jungkookie?" Yugyeom mengeryit ketika mendapati banyak warna kebiruan dilengan teman barunya itu.

Anak itu hanya menyahut dengan berdehem. Masih sibuk menatap air yang mengalir pada selokan dihadapannya. "Ini bekas apa? Mengapa warnanya biru-biru seperti ini?"

"Bekas bermain dengan Ayah." Jungkook lekas menyahut cepat. "Nanti juga hilang, kok."

Yugyeom beralih menekan-nekan bekas membiru bahkan hampir menghitam yang begitu banyak terdapat ditangan sang sahabat. Bahkan dikening Jungkook pun juga ada. Ia mendongak, menatap heran ketika Jungkook tiba-tiba cekikikan tanpa sebab. "Mengapa tertawa? Kau melihat apa?"

"Geli."

Yugyeom mengerut kening tak mengerti, namun sang sahabat lekas berujar kembali, "bekas membiru ini." Katanya sambil menekan kuat lengannya, "kalau ditekan-tekan akan terasa sangat geli. Aku bahkan bisa tertawa sampai perutku sakit."

THE HOPE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang