Terkadang ada beberapa yang tampaknya kokoh dan kuat, namun nyatanya tak lebih dari sebuah kayu yang sudah hampir habis dilahap rayap. Mereka rapuh, sangat malah, tapi mereka patut diacungi jempol sebab pahatan sempurna dari senyumnya yang indah.
Yugyeom menatap sang kawan dalam diam yang cukup lama. Jungkook belum mau buka suara semenjak ia tersadar. Ini aneh, tapi Yugyeom mencoba memahami dan tidak serta merta memborong berbagai macam pertanyaan yang sejak tadi memenuhi kepalanya, apalagi tentang pernyataan yang disampaikan dokter cukup mengiris hati.
Jungkook hanya diam sambil menatap kosong langit-langit tempat ia dirawat tanpa mempedulikan presensi Yugyeom. Seolah Yugyeom tidak pernah ada disana.
Menghela nafas sejenak dan memejamkan mata lantas kembali menatap sang sahabat, Yugyeom mencoba merobohkan dinding tak kasat mata yang diam-diam Jungkook bangun diantara mereka, "masih tidak ingin berbicara?"
Jungkook hanya memberikan respon seadanya, ia mendongak, menatap sang sahabat dengan pandangan kepalang menyedihkan, "Yugyeom, kapan kau akan menepati janjimu untuk mengajakku menaiki bianglala dan komedi putar."
Tidak, bukan itu jawaban yang ia inginkan, "ini bukan waktunya untuk membahas tentang wahana komedi putar, ataupun bianglala. Jangan mencoba pura-pura seperti itu, ya. Jung, aku tidak bodoh."
Jungkook menggeleng, "kau sudah berjanji akan mengajakku kesana. Kita harus punya kenangan indah untuk disimpan dalam memori. kau tahu, mungkin saja momen indah yang kau dambakan akan jadi kenagan menyakitkan dalam waktu bersamaan, bisa saja itu yang terakhir kali--"
"Kau ini bicara apa sih? Siapa memangnya yang hendak pergi. Jungkook berhenti bermain-main!" Yugyeom dapat merasakan jantungnya berdegub kencang. Perkataan sang sahabat seperti tak ubah salam perpisahan. Ini tidak boleh terjadi.
"Pergi?" Jungkook kembali mengulang satu kata dari Yugyeom, lantas kembali berujar, "takdir kedepannya siapa yang tahu, Yugyeom. Kita ini hanya makhluk yang mengikuti alur tanpa tahu apa yang akan dihadapi kedepannya. bisa saja waktuku sudah mau habis dan--"
"Berhenti!" Sudah cukup, Yugyeom tak akan mampu mendengar kelanjutan ucapan sang sahabat. Ia memejamkan mata frustari, hatinya sakit. "Baiklah, kita akan pergi ketika hari ulangtahunmu tiba. Kau bisa bermain sepuasnya disana. Aku yang akan taktir. Janji!"
Senyumnya seketika merekah. Yugyeom menghembuskan nafas lega, setidaknya ia tak lagi harus mendengar perkataan yang membuatnya hampir kehilangan akal sehat.
"Terima kasih, teman. Kau memang baik sekali." Yugyeom memalingkan wajah kearah sang sahabat. Dapat dilihatnya Jungkook masih mengukir senyum. Senyum yang tak lagi sampai kemata, banyak bekas memar yang terdapat pada wajah pucatnya, pandangannya kosong, binar cerahnya menghilang. Belum lagi kedua tangan dan kakinya yang terbebat perban, cukup menggambarkan betapa lelah dan beratnya hari yang dilalui sosok tegar yang ada dihadapannya.
Yugyeom dapat merasakan matanya mulai memanas. Memalingkan wajah, tak sanggup bila harus terlalu lama menatap wajah sang sahabat, "Y-ya, sama-sama. Sudah kewajibanku untuk membahagiakanmu, tahu."
"Kuharap kita tetap menjadi sahabat seperti ini selamanya, Yugyeom. Jangan pernah berubah, ya. Walaupun suatu saat nanti sesuatu membuat kita jauh. Tetap jangan berubah, jangan menatapku dengan nyalang, dan jangan membenciku. Itu menyakitkan."
Aksara tanpa jeda tersebut sukses membuat hati Yugyeom berdenyut. Seperti ada sembilah pisau sedang mengiris-iris jantungnya, entah mengapa rasanya begitu menyakitkan. Perasaannya jadi tak enak.
"Jangan khawatir. Apa yang kau katakan itu tak mungkin akan terjadi. Aku ini sahabatmu, selamanya akan seperti itu. Kau bisa pegang kata-kataku, Jungkook."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HOPE (✓)
FanfictionJeon Jungkook harus hidup diantara orang-orang yang membencinya karena kesalahan besar yang tak disengaja. Tapi, semua itu tak membuatnya gentar dan masih tetap berharap bisa medapatkan maaf dari semua kakaknya dan bisa hidup bahagia bersama. Meskip...