'Dia hidup karena ia tak bisa mati.'
Sebaris kalimat yang penuh akan arti tersirat. Kesedihannya, dukanya, lukanya, serta nasibnya, Jungkook selalu mencoba memendamnya dalam-dalam. Ia tak ingin orang tahu, ia tak ingin orang mengerti bahwa dirinya telah terberai disana sini, luka telah bercampur nanah, berdenyut sakit hingga rasanya hampir mati. Namun seakan takdir justru mengatakan, bahwa ini semua belum berakhir. Deritanya belum usai.
Dalam kesunyian yang terasa mencekik, ia mencoba kembali membangun puing puing yang telah runtuh guna bertahan sebentar lagi, iya benar, sebentar lagi sebelum benar benar roboh menjadi abu yang tak berarti.
Kalau saja mati mudah dilakukan seperti halnya membalikkan telapak tangan, mungkin Jungkook sudah jauh-jauh hari merelakan hidupnya yang tiap detik rasanya hanya sia-sia, tidak ada perubahan berarti, justru dirinya semakin terperosok, semakin jatuh kelubang yang paling dalam. Namun, Jungkook merasa semua ini adalah kesalahannya. Takdir yang membelenggu dadanya hingga sesak ialah bentuk karma yang harus ia terima. Jungkook merasa ia harus bertanggung jawab. Seorang penjahat seharusnya tidak boleh jadi pecundang, seenakknya berlari tanpa merasa harus memikul akibatnya.
Ia benci pada kenyataan dimana dirinya yang telah rapuh dan lemah. Ia membenci fisiknya yang hampir hancur begitu pula hatinya. Jungkook tak pernah bisa menyalahkan siapapun.
"Tidak ada yang salah. Ini semua mutlak kesalahannya, yang seenaknya hadir tanpa permisi, menjadi penyebab hancurnya keutuhan keluarga orang lain."
Orang lain?
Benar, dia bukan siapa-siapa.
Sejak tersadar dari pingsannya ia tak bisa melihat dengan jelas, pandangannya mengabur. Padahal ia harus segera beranjak untuk mencari sesuap nasi guna mengganjal perutnya yang telah meronta sejak tadi.
Jungkook bahkan lupa kapan terakhir kali ia makan.
Di saat ia nyaris berdiri, tiba-tiba ia kembali jatuh terduduk. Rasanya seperti tertimpa runtuhan batu berton-ton, hatinya mencelos. Satu fakta yang kini harus diterimanya. Kakinya enggan untuk berfungsi, bahkan disaat ia mulai panik dengan keadaannya. Berharap kakinya kembali berfungsi ketika ia berteriak putus asa, memukulnya dengan keras hingga mencakari.
Jungkook memejamkan mata, menarik nafas yang sesak seolah terlilit tali kencang. Ia tersenyum pilu, mencoba menenangkan gejolak dihati yang rasanya hampir meledak. Tidak ada airmata lagi. Ia sudah lelah menangisi dirinya, ia sudah lelah mengasihani dirinya.
"Hallo penompang tubuh ringkihku."
Jeda sejenak menahan sesak lalu melanjutkan, "kumohon, dengan amat sangat sekali. Lelahnya tolong ditahan sebentar saja. A-aku janji ini tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Aku tidak bisa bergantung pada manusia siapapun. Tegarlah untuk sesaat lagi."
"... please..."
Kali ini Jungkook mencoba memijat kakinya dengan lembut sembari mengubur gemuruh didada. Tak berapa lama, Seolah seperti mantra ajaib, kakinya kembali terasa hidup, tidak lagi seperti seenggok kayu yang tak berfungsi. Ia tertegun sambil terseyum lega.
Mencoba kembali berdiri dengan perlahan dengan berpegangan pada dinding. Dibawanya tungkainya bergerak untuk segera beranjak dari tempat yang selalu berselimut sendu tersebut. Menghampiri dapur mencari sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pengganjal perut untuk bertahan hingga esok.
Matanya langsung tertuju pada piring-piring yang telah menumpuk diwastafel. Ia kembali mengukir senyum ketika nyeri kembali menjalar didada.
"Tidak apa-apa. Kamu hanya butuh sedikit saja. Nanti jika dirimu sudah punya uang, kamu bisa beli yang lebih layak dari ini." Hiburnya untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HOPE (✓)
FanfictionJeon Jungkook harus hidup diantara orang-orang yang membencinya karena kesalahan besar yang tak disengaja. Tapi, semua itu tak membuatnya gentar dan masih tetap berharap bisa medapatkan maaf dari semua kakaknya dan bisa hidup bahagia bersama. Meskip...