15

7K 556 70
                                    

Derai air hujan mengalir dengan derasnya membasahi pelantaran rumah megah kediaman keluarga Kim. Membasuh dedaunan yang kering kerontang acapkali juga mencoba meredam luka yang menganga. Airnya jatuh beribu-ribu, ingin rasanya seperti sedang membawa harapan serta angan-angan yang terasa sulit punya semua manusia.

Dingin sudah mulai bergerumul, berebut saling berdesakan memeluk sosok yang tegar sejak ia membuka sepasang daun megah istana. Sepasang nertanya tetap menampakkan cahaya berkilau walaupun akan redup kala ia sedang dalam keadaan sendiri dimalam hari.

Sedikit banyaknya hujan dapat menghibur hatinya, walau melankonis pun ikut ambil bagian. Tanpa sadar senyumnya terbit, manis sekali, lebih manis dari gulali yang dicampur dengan madu pekat. Ia bawa sepasang tungkainya melangkah lebih jauh, tepatnya lebih dekat dengan bulir bulir bening yang berjatuhan, tangannya teulur ingin menyentuh. Ia suka sensasi dinginnya, menenangkan dan menyenangkan.

Omong-omong soal rahasia yang hampir saja terendus kepermukaan, tentang pertemuannya dengan Mama sang sahabat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Sudah berlalu belasan hari lamanya dan semua baik-baik saja. Yugyeom tidak curiga, sepertinya. Jungkook harap begitu. Walau ia juga tahu suatu saat pasti Yugyeom akan tahu dengan sendirinyaㅡkarena sepintar apapun kau menyembunyi bangkai, pasti akan tercium juga baunya.

Untuk saat ini biarlah, sejujurnya ia juga belum siap jika pada akhirnya Yugyeom pun pergi meninggalkannya dan yang paling parah ialah membenci dirinya. Jungkook juga tahu jika berharap pada manusia hanya berujung sakit. Seperti halnya berharap pada manusia ibarat sedang bergelantungan pada ranting kayu ada saatnya dimana ranting tersebut akan patah lalu kau akan jatuh. Sakit? Sudah pasti. Tapi entah mengapa bisa jadi sesulit ini untuk tidak berharap pada siapapun. Manusia memang serapuh itu, ia tentu tahu. Namun, semua itu yang tak semudah membalikkan telapak tangan, rasanya berat, sesak, sulit, dan sakit.

Kala itu Yugyeom sempat berujar bertanya dengan dahi mengerut serta alis yang hampir menyatu karena keheran-heranan sedang melanda, ia bertanya sambil mengomel, "Jung, mengapa semalam langsung pergi terburu-buru begitu? Padahalkan kita akan pergi ke Rumah sakit untuk memeriksa kondisimu. Memang kau sudah baik-baik saja? Sakitmu sudah hilang? Aku begitu khawatir kondisimu terlihat sangat parah dan aku yakin sangat butuh pemeriksaan
Tetapi, Kau ini terlihat aneh. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu hal yang tidak boleh ku ketahui."

Bukan hanya tidak ingin diketauhi oleh Yugyeom saja, bahkan ingin rasanya Jungkook melenyapkan tragedi mengerikan di masa lalu itu pada semesta. Supaya tak ada satupun mengingat dan menyakiti  perasaan orang-orang yang terlibat.

Terlepas dari semuanya, ia menyahut dengan berusaha setenang mungkin walau riak gemuruh hati didada terasa seperti akan meledak, berteriak seolah mengatakan bahwasannya Jungkook itu pecundang dan tidak tahu malu. "Dengar ya, aku merasa sudah baik-baik saja. Dan lagi semalam itu aku baru teringat kalau Doyoung hyung menyuruhku untuk pergi lebih awal. Doyoung hyung bilang harus lebih ekstra sebab salah satu karyawannya tak datang."

"Tsk, tapi tidak dengan pergi seawal itu juga. Doyoung hyung pasti menyuruhmu datang setelah pulang sekolah. Kau ini lupa ya bicara dengan siapa? Mana bisa seorang Jeon Jungkook mengibuli pangeran Kim Yugyeom."

"tapi tunggu..," Jeda sesaat, Yugyeom seperti sedang seperti sedang berpikir keras, ia kian lekat menatap Jungkook, "atau jangan-jangan semalam kau berjumpa dengan wanita ular itu ya?" Jungkook sampai menahan napas. "Aku melihatnya semalam ada dirumah. Apa dia mengatakan hal-hal kejam? Seperti mengumpat atau bahkan mengusirmu? Jika dia benar melakukan itu lihat aja aku akan semakin membencinya. Bukankah dia seharusnya sudah puas dengan keegoisannya dan menelantarkan anak semata wayangnya ini?"

THE HOPE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang