Ketika pendar cahaya kian meredup. Ketika diri tak lagi punya keinginan untuk menghirup. Ketika putus asa sudah hampir merangkum seluruh hidup.
Ditanya kemana pergi semangat membaranya itu, Jungkook tak tau. Nyatanya, api hampir melahap seluruh energinya, pendarnya semakin mengecil.
Hanya tinggal setitik. Setitik lagi yang segera lenyap. Semangatnya sudah hangus, sudah jadi abu. Tidak ada lagi kekuatan untuk menompang. Tiada lagi yang bisa diharapankan. Saat ini yang ada dipikirannya ialah ingin mati, ingin pergi, ingin menghilang. Selamanya.
Dalam hatinya selalu berkata, harap-harap untuk tidak lagi menaruh secuil harapan, Sudahlah, mimpimu terlalu tinggi, telalu mustahil, terlalu tak pantas untuk kau raih.
Semenjak divonis oleh Dokter bahwa dirinya mengidap penyakit mematikan, Jungkook kerap kali bermimpi buruk. Sering menangis ketika berhasil tersadar. Kenangan kelam semasa kecilnya kembali muncul seiring malam berganti. Hilir mudik tanpa mau berhenti.
Tapi, mungkin yang kali ini adalah mimpi yang bisa dikatakan indah, sebab baru kedua kalinya semenjak tragedi mobil Ayah berguling-guling dijalanan, hingga berdentum terbakar, melahap habis mobil beserta sang Ayah didalamnya. Sosok bidadari yang bahkan entitasnya tak pernah ditatapnya pada saat netranya terbuka. Jungkook hanya tau wujud Mama sebab ada foto yang terpajang besar diruang tengah, serta satu bingkai yang didekapnya erat setiap malam.
Mama datang. Mama ada disini. Mama hadir dimimpi Jungkook.
"Mama?" Matanya mengedip tak percaya, disana Mama tersenyum padanya. Melambaikan tangan memanggil Jungkook. Mama cantik sekali.
Jungkook tersenyum haru hampir menjatuhkan butiran liquid yang telah menggenang pada pelupuk matanya. Ia segera berlari, menumbruk sosok yang telah merentangkan tangan menyambut dirinya, sosok yang paling dicintainya. Mama, Jungkook sayang Mama.
"Aigoo, uri adeul." Suara lembut milik Mama membuatnya tak mampu menahan genangan pada matanya. Ia berakhir terisak pada dalam dekapan ibunya. Meremat pakaian sang Mama sebagai cara pengaduan atas segala luka yang dideritanya. Mama membalas dekapannya dengan erat.
"Lho. Lho. Lho. Anak Mama kenapa menangis, hum?" Ia hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan ibunya. Jungkook masih terisak didalam dekapan sang Mama, malah semakin erat mendekap Mamanya. Tidak sanggup rasanya barang mengucapkan satu kata pun. Rasanya air matanya akan semakin banyak tumpah, jika ia memaksa untuk tetap mengeluarkan kata.
"Menangislah terlebih dahulu. Mama akan menunggu sampai Jungkook selesai." Mama mengerti maunya Jungkook. Membiarkan ia mendekap lebih lama.
"Mah~mamahh~" satu kata keluar, terasa begitu berat. Ia hanya ingin mencari tiang yang mampu menyanggahnya agar tidak semakin hancur.
"Iya sayang.." Mama menanggapi panggilnya dengan lembut, dengan tangan yang tak berhenti mengelus punggung rapuhnya. Mungkin Mama ingin mengirimkan kekuatan untuk Jungkook ; anak yang tidak pernah merasakan kehangatan seorang ibu.
"Jungkook sayang Mama" katanya masih mencoba menetralisir deru nafasnya yang sesak.
"Iya, Mama tau, Jungkookie. Mama pun sama, Sayaaang sekali dengan Uri Kookie."
Jungkook tersenyum. Hatinya menghangat, ada sedikit euphoria yang didapatkannya, ketika mendengar ungkapan sayang dari ibunya. Tapi Jungkook tidak bisa berdusta. Hatinya sudah kepalang remuk, sudah sekarat, rasanya ungkapan tersebut hanya mampu untuk menyiram lukanya, namun tak mampu lagi untuk mengobati hatinya.
Mengambil nafas sebelum berujar mantap, "kalau Mama sayang dengan Jungkookie. Boleh tidak, Jungkookie ikut dengan Mama?"
Mama melepas pelukannya, "kenapa Jungkookie tiba-tiba ingin ikut dengan Mama?" Mama bertanya dengan lembut sambil memegang bahunya. Mencoba mencari celah untuk mencuri lihat wajah sembab Jungkook.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HOPE (✓)
FanfictionJeon Jungkook harus hidup diantara orang-orang yang membencinya karena kesalahan besar yang tak disengaja. Tapi, semua itu tak membuatnya gentar dan masih tetap berharap bisa medapatkan maaf dari semua kakaknya dan bisa hidup bahagia bersama. Meskip...