17 - tense

838 99 9
                                    


***

Dua hari kemudian, Jinan sudah diperbolehkan pulang. June sedikit khawatir jika Jinan melihat keadaan Doyoung, pasti nanti dia akan ikut tertekan juga. Sudah 2 hari ini pula, June berusaha mengalihkan pembicaraan jika Jinan bertanya tentang Doyoung. Satu-satunya alasan, supaya Jinan tidak terlalu khawatir pada Doyoung.

"Anak-anak mana? Doyoung mana?" Tanya Jinan sambil masuk ke dalam rumah. Tidak mendapat jawaban dari June, Jinan menoleh dan menatap June yang terlihat gelisah.

"Kenapa Jun? Anak-anak gak kenapa-napa kan?"

"Enggak. Byounggon diatas, Jaehyuk kan ke kampus."

"Doyoung?" Lagi-lagi June hanya diam. Jinan jadi curiga karena June selalu diam jika ditanya tentang Doyoung.

"Jun?"

"Diatas sama Byounggon."

Jinan pun berjalan menuju kamar Doyoung. Dia tahu kalau anak bungsunya akan merasa bersalah. Jinan ingin menenangkannya, tapi dari kemaren Doyoung tidak kunjung datang ke rumah sakit.

"Kok kamu disini, Gon? Kenapa gak masuk?" Tanya Jinan begitu melihat Byounggon hanya berdiri di depan pintu kamar Doyoung. Byounggon melirik June yang baru saja menaiki tangga, June hanya mengangguk.

"Gapapa. Mungkin Doyoung maunya ketemu sama Papa," Jawab Byounggon.

"Maunya? Kenapa emang?"

"Papa masuk aja."

Jinan bingung dengan sikap bapak dan anak ini. Akhirnya dia pun masuk dan terkejut melihat keadaan kamar Doyoung yang sangat berantakan. Doyoung menoleh- ingin memarahi siapapun yang masuk, tapi terdiam begitu melihat ternyata Jinan yang masuk ke kamarnya.

"Astaga, Doyoung! Kamu kenapa, nak?" Jinan berlari menghampiri Doyoung dan memeluknya. Doyoung menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak ingin Papanya melihat keadaannya yang kacau seperti ini.

"Doyoung, ngomong sama Papa. Kamu kenapa?" Doyoung menggeleng dan menangis lebih kencang lagi.

Jika benar ini karena rasa bersalahnya, Jinan benar-benar sedih karena anaknya bisa sekacau ini. Semua yang terjadi bukan salahnya, tapi memang sudah ditakdirkan seperti ini.

"Ini bukan salah kamu, sayang. Jangan ngehukum diri kamu sendiri kayak gini," Ucap Jinan. Jinan meringis melihat luka di tangan dan kaki Doyoung, seperti sudah kering tapi terluka lagi. Entah apa yang dilakukan anaknya.

"Salah aku Pa. Semua salah aku. Coba kalo aku dengerin apa kata abang, kata Appa, mungkin- mungkin sekarang adek masih ada dan gak pergi."

"Enggak sayang, banyak faktor lain kenapa adek pergi. Ini udah takdir Tuhan kalau ternyata Tuhan lebih sayang sama adek."

Doyoung menggeleng, "Semua salahku. Papa stres gara-gara aku, iya kan? Papa nangis tiap malem karena aku gak pernah nyapa adek. Semua salahku! Salah aku!!"

Jinan berusaha menenangkan Doyoung dengan memeluknya erat tapi Doyoung memberontak. Jinan tidak menyangka kalau masalah ini bisa sampai berpengaruh ke mental anaknya. Jinan merasa bersalah, sungguh.

Tidak ada pilihan lain selain memanggil dokter pribadi keluarga June. Doyoung disarankan untuk konsultasi ke psikolog dan diberi obat anti-depresan.

Jadi, dokter bilang depresi yang diderita Doyoung hanya Depresi Situasional. Doyoung hanya shock setelah mendapat kabar bahwa dia kehilangan adiknya. Ditambah tekanan sejak beberapa minggu lalu karena sikapnya yang membuat keluarganya resah.

Tingkat stresnya meningkat setelah mendengar kabar Papanya keguguran. Akhirnya dia menyalahkan diri sendiri dan berujung menambahkan tekanan ke dirinya sendiri sehingga menjadi depresi.

Family ; junhwan [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang