9

2.5K 337 18
                                    

Seminggu Setelah UAS.
Sabtu, di kediaman Suga
10:25.

Dua minggu telah terlewati sejak Asya bernotaben sebagai kekasih Suga. Belum ada hal diluar batas yang dilakukan cowok itu hingga kini. Justru, Suga membuat Asya semakin nyaman berada disampingnya.

Hari ini gadis berkuncir satu itu memutuskan untuk berkunjung ke rumah sang pacar. Ia tahu sekarang Suga ngga ada di rumah. Cowok itu sedang main basket dengan kawanannya, entah dimana. Sekaranglah waktu yang tepat untuk mengulik sebab akibat kenapa ayah Suga sangat membenci musik. Tentu tanpa sepengetahuan Suga.

"Assalamualaikum." Salam Asya sambil menekan bel rumah Suga.

"Waalaikumsalam–" terdengar suara wanita dari dalam rumah. Ceklek. "–ehh ada neng geulis. Sok atuh silahkeun masuk neng."

Se- excited itukah ibu Suga bertemu dengan Asya. "Duh maaf neng. Suganya lagi keluar, main basket katanya." Ucap ibu setelah mempersilahkan Asya duduk. Asya menganggukkan kepalanya tanda ia sudah mengetahuinya.

"Iya tante. Asya kesini emang mau ketemu tante kok." Ucap Asya dengan senyum semanis mungkin.

"Wah ada apa nih ? Mau gibahin Suga ya ?" Ledek ibu pada Asya.

Wanita setengah baya itu mengajak Asya menyiram bunga. Katanya, supaya lebih santai ngobrolnya. Asya memperhatikan ibu yang sedang mengelap daun lebar dengan lap setengah basah. Ia sadar, wanita cantik ini memiliki kepribadian yang telaten dan penyabar. Sedangkan Suga, sangat bertolak belakang dengan sang ibu.

"Bu, Asya mau tanya. Suga waktu kecil gimana ya bu ?" Asya memanggilnya Ibu. Itupun disuruh. Katanya udah ngga pantes dipanggil tante.

Ibupun bercerita. Bernostalgia akan anak bungsunya. Dari mulai Suga yang bandelnya minta ampun. Memecahkan kaca jendela orang, ngambil mangga tetangga, hingga merusak sepeda kakaknya akibat mengejar layangan.

Naik ke masa remaja. Suga menjadi anak yang lebih pendiam. Ini disebabkan oleh kakeknya yang tutup usia. Mulai saat itu, Suga mencoba mengenal musik. Awalnya sekedar belajar gitar peninggalan sang kakek. Tapi lambat laun, Suga justru merambah ke alat musik yang lain. Malahan, ia banyak menciptakan lirik-lirik lagunya sendiri.

Pada saat itu, ayah Suga berangkat ke negara asal setelah seminggu meninggalnya sang kakek. Disebabkan oleh pekerjaan yang harus beliau emban. Dan itu berlangsung selama dua tahun, beriringan dengan Suga yang sudah semakin lihai dalam bidang bermusik.

Usut punya usut ternyata kakek Suga sempat hampir tertangkap oleh Tentara Nasional Indonesia akibat beliau dituding bergabung ke dalam Lekra, hanya karena membela seorang teman. Saat itu, mungkin sang kakek sedang beruntung dan dapat meloloskan diri. Berbeda halnya dengan si teman yang harus diadili tanpa proses hukum. Keberadaannya menghilang begitu saja seperti di hempas ombak.

"Apa... Karena itu Suga dilara–,"

"Benar." Padahal Asya belum selesai bertanya, tapi ibu sudah mengerti maksud gadis itu. Hebat.

Sejak saat itu, ayah Suga membenci musik. Bukan, bukan musiknya. Tetapi tragedi di dalamnya. Sang kakek tetap melanjutkan kesibukannya sebagai musikus, walau ayah Suga tidak menyukai hal tersebut. Beliau khawatir kakek akan tertangkap lagi dan dituduh kembali. Padahal, kakek ngga salah apa-apa. Kakek sama kukuhnya dengan ayah Suga, ia tetap menyukai segala hal tentang musik.

Asya paham sekarang. Ayah Suga trauma akibat tragedi yang terjadi puluhan tahun itu. Hal ini berimbas pada anak bungsunya yang ingin mengikuti jejak sang kakek, yakni menjadi musikus. Kalau dipikir-pikir, anak itu tentu ngga bakal di tangkap hanya karena bermain piano bukan ? Tapi mau bagaimana lagi. Pemikiran ayah Suga sudah terdoktrin.

KATING || MIN YOONGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang