10.Luka

22.2K 1.6K 13
                                    

Dalta menangis sesenggukan dipelukan Ayahnya.

"Dalta." Yang dipanggil menoleh kebelakang karena orang itu adalah Raja. Menjadi peraturan, ucapan Raja adalah sebuah hakikat yang tidak bisa dibantah. Jika dipanggil, maka kau harus cepat menyahut. Sebaliknya, kalau kau mengabaikan omongan Raja maka itu termasuk sebuah penghinaan. Sengaja atau tidak sengaja, harus dihukum.

"Ya-Yang Mu-lia." Terbata-bata sambil menundukkan kepala dengan keadaan luka disekujur tubuh. Walau dengan tampang datar nan dingin, Delano tidak tega untuk memberi beberapa pertanyaan terkait sang istri kepada anak itu.

"Bibi, bantu dia untuk penyembuhan. Aku akan menemuinya nanti."

"Baik, Pangeran."

Semua orang membungkuk kala Delano berjalan keluar.

***

"Ku kira dia akan baik-baik saja bersama anak-anak itu. Ternyata semakin parah."

"Aku tidak peduli."

Tristan menyorot hambar atas jawaban Delano barusan. Ck, tidak peduli?

Penguasa Altair tersebut membalas tatapan Tristan, "Apa kau fikir aku akan memperlakukannya sebagai istri? Kau tau betul Tristan apa yang terjadi dulu karena ulah Ayah kalian."

Perkataan Delano membuat Tristan harus mempertimbangkan kembali nasib adiknya. Delano memang kejam, dia tidak segan-segan menghancurkan musuhnya. Bahkan sampai memiliki tujuh keturunan sekalipun, Delano akan membasmi mereka.

Untuk saat ini, Delano tidak bisa dipercaya.

"Aku berharap kau tidak akan menyesali sumpah mu Delano. Dan ya, jika terjadi sesuatu padanya, aku siap mengibarkan bendera perang dengan Altair."

Delano pergi begitu saja meninggalkan Tristan sendirian. Padahal Tristan baru melakukan perjalanan ke Lucian kemarin. Mendengar kabar tentang Thanasa yang kalang kabut, pria itu langsung cepat-cepat menuju Altair.

***

"Bagaimana? Apa masih sakit?" Kalva menekan pelan leher Dalta, melihat ekspresi anak itu untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.

"Sudah tidak terlalu sakit Nek."

"Baguslah." Telaten mengolesi obat pada kepala, sesekali Kalva meniupnya lantaran reaksi obat yang akan menimbulkan efek sakit ketika bersentuhan dengan luka. Hanya mengernyit dikit tanpa nangis dan berteriak, anak seusia Dalta memang cukup tangguh.

Decitan pintu membuat Kalva dan Dalta menoleh, keduanya langsung menundukkan kepala melihat siapa yang berkunjung.

"Aku mau bicara dengan anak ini."

"Baik, Pangeran." Kalva hengkang dan menutup pintu.

Setelah itu, fokus Delano tertuju pada Dalta. Ia kemudian ikut duduk disamping si anak dan menatapnya.

"Kau boleh angkat kepala mu."

Dalta menurut walau dia sebenarnya gemetar bertemu muka dengan seorang Raja Yang Agung di Altair. Tidak banyak orang yang bisa berpapasan langsung dengan Delano. Bahkan sangat sulit apalagi Dalta hanya seorang anak menteri. Dapat bersua seperti ini, menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi Dalta, ia sudah lama mengidolakan Delano sebagai Raja. Ingin seperti pria dewasa itu yang gagah, kuat, berani dan peduli kepada semua rakyatnya.

"Kau tau kenapa Ratu bisa seperti itu?"

Ragu, Dalta mencoba jawab "Kemarin Ratu senang bermain dengan kami. Tapi ketika kami menyebut nama Yang Mulia, Ratu langsung emosi dan mengamuk."

Delano tampak terkesiap saat mendengar penuturan barusan.

Gara-gara menyebut namanya?

Ck, padahal dialah yang menolong gadis itu tapi malah seolah-olah semua adalah kesalahannya.

Tersenyum kecut menanggapi fakta ini, Delano bergegas ke kamar Thanasa.

***

"Ayah, mati itu apa?"

"Mati itu artinya kita tidur dengan lama dan tidak akan bisa bangun lagi."

"Apakah mati itu sakit?"

"Sakit sekali."

"Apa nanti suatu saat aku juga akan mati?"

"Kau tidak boleh mati, kau harus menjadi Ratu Lucian yang ditakuti semua orang."

Cairan bening mengalir membasahi bantal. Safir coklat sembab itu memekar pelan.

Kepingan memori berputar.

"Kakak, jika kau menjadi Raja nanti kau harus melindungi aku ya."

"Iya aku janji."

"Kakak juga harus menjaga Ayah, kita harus tetap bersama."

"Aku akan selalu menjaga mu."

"Kau tidak boleh menikah sebelum aku menikah, aku tidak mau kalau kau nikah nanti aku akan kesepian dan tidak ada teman."

"Aku janji."

Tak kuat menahan luka yang menganga, Thanasa terisak pedih.

"Ayah..."

Menyerukan panggilan barusan kian membuat Thanasa tersedu-sedu.

Andai dia menuruti perkataan sang Ayah.

Andai dia menyadari jika Kakaknya pengkhianat.

Andai.

"Menangis seperti itu tidak akan membantu mu membalaskan dendam. Sadarlah."

Suara bariton yang begitu familiar.

Thanasa memandang bengis. Bangkit dari kasur, ia melangkah menghampiri Delano yang tidak berekspresi sama sekali. Entah apa yang pria tersebut pikirkan tapi Thanasa tidak peduli. Terlalu benci dengan seseorang yang telah menghilangkan nyawa sang Ayah.

Pria didepannya harus mati. Dialah penyebab semua ini.

Pembunuh harus dibunuh.

Menarik tusuk rambut, Thanasa mengarahkan kepada Delano yang ditangkis cepat. Thanasa mencobanya lagi dan lagi. Dan lagi-lagi gagal, malahan benda runcing yang dipegangnya dibuang oleh Delano kesembarangan arah. Tidak puas, Thanasa menggigit tangan sang Raja. Delano sama sekali tidak keberatan dan tidak merasakan apapun.

Gadis ini menurutnya terlalu gegabah.

Darah berlinangan, Delano tetap tidak bergeming. Terkekeh kecil saat istrinya menyerah. Sedetik kemudian, dia membisikkan sesuatu.

"Kau boleh mencoba membunuh ku sebanyak yang kau mau. Jika kau tidak berhasil, aku yang akan menyiksa mu."

"Argggh!"

Tangan Thanasa dipelintir kuat hingga terdengar bunyi retak. Delano mematahkan tangan mungil itu. Acuh tak acuh mengabaikan tangisan Thanasa yang terkapar dilantai. Miris sekali nasib seorang Ratu Altair.

"Besok aku mengijinkan mu mencoba membunuh ku sekali lagi." Delano pergi dengan puas. Membuat keturunan Lucian menderita memang sasarannya.

Thanasa sengsara. Ia mengutuk diri sendiri karena tidak bisa menghabisi Delano. Ia benci pada dirinya sendiri.

***

MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang