Istana geger setelah dekrit pengumuman ketiga poin permintaan Thanasa yang disetujui Delano. Mereka penasaran perseteruan apa yang menyebabkan Thanasa meminta hal tersebut pada Raja Altair. Apa sungguh wanita itu takut jika disingkirkan Lilia?
Orang-orang berspekulasi tentang banyak hal. Beberapa para Mentri masih ada yang menentang keputusan sang Raja. Dekrit yang merugikan Altair, tentu saja mereka marah. Jika Altair tidak punya penerus, itu akan memudahkan Kerajaan lain untuk menjajah negri mereka. Jika Delano terbunuh, maka Kerajaan akan menjadi hak penuh bagi sipenjajah. Berbeda jika ada keturunan yang selamat, maka bisa dijajah balik. Inilah pentingnya bagi sebuah Kerajaan mempunyai keturunan.
Altair dibuat tak berkutik. Para Mentri terang-terangan menunjukkan rasa tak suka pada Thanasa. Padahal jelas-jelas Thanasa adalah seorang Ratu yang bisa kapan saja menghukum mereka yang melawan Ratu. Tidak ada yang menampik bahwa hal ini sangatlah lumrah disebuah Kerajaan. Pasti ada berbagai intrik terkait politik dan pemerintahan.
Disisi lain, Lilia meratapi nasib dirinya dan sang anak. Begitu banyak cobaan yang harus ia lalui. Entahlah. Segala kemewahan yang ada di Altair seakan-akan terasa seperti besi tajam yang selalu menusuk. Miris. Anaknya yang sudah berumur hampir 3 minggu bahkan belum mempunyai nama. Ditambah dengan pernyataan pengasingan yang akan ia jalani esok hari.
Pandangan sayu tertuju pada bayi disamping kanan yang dibalut dengan selimut tebal keemasan. Anak itu menangis seolah-olah mengerti yang Lilia rasakan. Tangan nan halus terulur, membawa sang buah hati didalam gendongan. Lilia segera menyusui anaknya agar tidak menangis lagi. Dilihatnya lekat-lekat paras yang menurun dari Delano. Hanya saja, dibanding raut muka Delano yang terlihat dingin, putra mereka memiliki wajah polos dan bola mata lebar serta berbinar-binar. Membuat siapa yang melihat akan merasa gemas dan bilang lucu. Lilia tersenyum.
***
"Ratu, Perdana Mentri ingin menemui mu."
Thanasa baru selesai menyesap teh chamomile, menjilat bibir untuk menyudahi acara minumnya lalu menaruh cangkir putih tersebut diatas meja.
"Biarkan dia masuk."
"Baik, Ratu."
Mata Thanasa mengarah pada Louis dari pertama melangkah masuk. Pria itu membawa aura keras dan dingin. Orang-orang bilang, ia adalah perwakilan Raja. Apapun yang pria itu lakukan, sama halnya dengan keputusan seorang Raja. Makanya, ia begitu disegani sekaligus ditakuti oleh tetua dan petinggi Altair.
"Salam, Yang Mulia."
"Kau ingin aku mencabut dekrit yang sudah diumumkan Raja?" Thanasa tahu apa yang hendak disampaikan Louis. Diantara semua Mentri, hanya Louis yang paling berani. Basa-basi bukan sesuatu yang tepat ketika bicara dengan pria ini.
Melirik pada Xenya sebentar, Louis beralih pada Thanasa. "Aku minta ijin mu hanya berbicara berdua saja, Ratu."
Mengangkat alis sebelah dan tersenyum miring. Apa yang ingin pria ini bicarakan? Hanya berdua saja heh? Tampaknya memang pangkat seorang Ratu tidak membuat Louis takut. Thanasa memberi isyarat pada Xenya untuk keluar. Sekarang hanya tinggal mereka berdua. Menunggu orang didepannya berbicara.
"Ratu, aku ingin merundingkan beberapa hal padamu."
"Silahkan."
Menatap Thanasa sekilas, Louis mengangkat suara. "Mungkin ini terdengar seperti pemberontakan, tapi aku melakukannya demi Altair." Thanasa mengernyit menanti inti penyampaian Louis. "Apa Ratu tidak tau jika anak Raja diasingkan, akan membahayakan nyawanya dan Altair bisa kemungkinan besar kehilangan penerus?"
"Ya, aku tau. Memang itu tujuanku."
Rahang Louis mengeras menahan emosi. Ia melanjutkan. "Jika Raja terbunuh dan tidak ada penerus, itu akan membuat Altair goyah dan bisa direbut Kerajaan lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓
FantasyRAJA KU MUSUH KU "Jangan berharap lebih pada ku. Aku menjadikan mu permaisuri ku, karena aku ingin menyiksa mu lebih leluasa." "Perintah ku adalah mutlak. Melanggar, tidak akan ada ampunan." "Aku tidak suka berbagi. Jika kau berani menatap pria lain...