Setibanya di Grassia, Lander menyambut kedatangan Delano. Rasanya ingin tertawa melihat raut muka Delano yang tidak menunjukkan rasa persahabatan sama sekali. Aura pria tersebut sangat dingin dan tampak tidak ingin banyak berbasa-basi.
Setelah melihat prajurit dibelakang gerbang, Lander beralih pada Delano. "Kau sungguh ingin berperang dengan Grassia?"
Terus melangkah tanpa menatap balik. Delano mengangkat suara. "Kau yang memulai duluan dengan menyembunyikan Ratuku." Mengetahui bagaimana apiknya Lander membantu Thanasa, emosi Delano langsung memuncak dan tidak bisa tinggal diam. Seperti sekarang, sungguh ia ingin sekali membinasakan Lander.
Mereka berbelok ke lorong lain. Suara dari beberapa langkah kaki mengisi keheningan istana Grassia. Suasana semakin suram lantaran Delano meminta pedangnya pada Alord yang berjalan dibelakang. Pilar-pilar putih yang berdiri kokoh bahkan rasanya tak sanggup meredupkan ketegangan dari Raja Altair.
"Entah kenapa aku harus menjadi alasan kemarahan kalian disini. Ini Kerajaanku, tetapi kalian tidak menganggapku Raja disini." Sepertinya hanya Lander yang terlihat biasa-biasa saja.
Enggan menanggapi pria disampingnya, Delano terus memandang kedepan. Tujuan penguasa Altair itu hanya satu, yaitu membawa balik Thanasa. Apapun caranya, Thanasa tidak boleh disini. Bahkan kalau harus memotong kaki sang Ratu, Delano akan melakukannya.
Mereka berdua tiba didepan kamar Lander. Sebelum membuka pintu setinggi langit tersebut, tatapan dingin dari Delano sudah lebih dulu tertuju pada mantan tunangan istrinya, yang ditatap terkekeh pelan.
"Kami tidak tidur sekamar. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Ratumu yang mengambil kamarku, dan aku tidur ditempat lain." Lander merengut kesal. "Aku seperti budak di Kerajaanku sendiri."
Delano memberi isyarat kepada Alord untuk membuka pintu.
Begitu terbuka, udara yang seharusnya hangat seketika dingin. Aura kehadiran Delano membuat seisi ruangan menjadi gelap.
Di atas ranjang berukuran besar bertahtakan emas dan batu permata hijau, terdapat seorang wanita yang sedang membaca buku dengan tenang. Tampaknya sang Ratu belum menyadari kehadiran suaminya.
"Kenapa Lander? Jangan bilang kau ingin mengusirku dari sini."
"Thanasa." Bulu kuduk Thanasa reflek meremang. Bariton yang memanggil namanya barusan, terdengar lagi setelah berbulan-bulan. Dengan berat, gadis itu mengangkat kepala. Berbagai ekspresi absen dari muka Thanasa. Melihat sosok yang berdiri didepannya ini mengingatkan Thanasa pada pengkhianatan yang ia alami di Altair. Sosok ini juga yang menyebabkannya harus menderita dan merasakan pahit.
Mata sigadis bertumpu tajam pada netra gelap dari orang yang ia sudah anggap mati. Entah apa yang laki-laki brengsek itu lakukan disini. Bahkan tanpa tahu malunya masih berani menunjukkan diri. Tidak ingatkah dia telah memanipulasi Thanasa dengan pengakuan cinta dan janji manis?
Hati Thanasa mencelos kembali, kali ini tidak diiringi tangisan karena air matanya sudah terurai semua. Hanya saja, rasanya lebih sakit daripada kemarin-kemarin. Bak belati menghujam berkali-kali.
Lama terdiam, akhirnya Thanasa bangkit dari tempat tidur. Menghampiri Delano dan tepat berdiri didepan si lelaki dengan keangkuhan penuh. Sorot nista terpancar dari mata sigadis.
Akhirnya mereka bertemu lagi dengan keadaan naas.
"Yang Mulia Raja Delano Altair." Panggilan Thanasa terdengar sarkas. Menyebut nama pria dihadapannya ini seakan-akan tidak pantas keluar dari mulutnya. Ah, lihat bagaimana tampilan penguasa Altair yang ditakutkan itu sekarang dari atas kebawah. Mungkin orang akan mengira bahwa Delano adalah seorang pengemis dibanding seorang Raja. Thanasa memandangnya dengan hina.
"Apa kabar Yang Mulia?"
Sedari tadi, Delano tidak berbicara. Ia melihat bagaimana perubahan dalam diri Thanasa. Wanita yang ia cintai menyerupai orang lain. Berubah. Berbeda.
"Pulanglah."
Delano mengamati Thanasa yang berjalan menjauhkan diri, lalu duduk menyilangkan kaki diatas ranjang. Kepala Thanasa melongok kebelakang Delano sekilas. Orang-orang yang berada disana tidak memiliki kontribusi apapun dari awal memasuki ruangan. Hanya menjadi penonton setia yang melihat adegan mereka.
Thanasa tersenyum sinis. "Lander bagaimana jika aku menjadi Ratu Grassia? Apa kau bisa bersedia jika hanya memiliki seorang istri?"
"Thanasa!"
Tertawa renyah. Acuh tak acuh, Thanasa tidak getir terhadap teriakan Delano barusan.
"Ah aku lupa, Grassia masih kalah jauh dengan Altair." Thanasa mengetuk-ngetukkan jari telunjuk dipelipis diikuti mata terpejam, ia membuat gerakan seperti pura-pura memikirkan sesuatu. Kemudian mata itu terbuka dan Thanasa menyunginggkan senyum terbaiknya.
"Lander, kudengar baru-baru ini kau berteman baik dengan Raja Athes bukan? Kerajaan mereka besar. Dibanding Altair, mungkin tidak ada apa-apanya. Bukankah katamu ia ingin mengenalku?" Kali ini memasang wajah cemberut. "Aku jadi menyesal menolak tawarannya untuk bertemu. Apa kau bisa mengundangnya?"
"THANASA!" Murka, Delano sangat marah. Bahkan pedang tajam yang berada disarung langsung dikeluarkan dan tertuju pada Thanasa. Orang-orang disekeliling kikuk tak berkutik. Lander pun tidak bisa tenang lagi. Ia berancang-ancang akan melawan jika Delano berani melukai Thanasa. Semua orang tahu siapa pria yang bernama Athes. Orang itu merupakan Raja yang paling ditakuti didaratan bagian Utara. Negri Altair yang sangat besar saja tidak bisa menyaingi Kerajaan Karstan yang dipimpin seorang Athes. Apalagi hubungan dikedua Kerajaan tersebut tidak cukup baik. Delano benar-benar tersulut emosi sampai-sampai meninggikan suara dan melotot tajam.
Mengulas senyum sakit, Thanasa menyentuh pedang yang Delano arahkan. Meremas benda tajam itu hingga tangannya mengeluarkan cairan merah.
Delano yang terkesiap dengan aksi Thanasa, langsung menjatuhkan pedang. Bergegas menghampiri sang istri dan menarik tangan yang terluka itu. Segera saja kain pada pakaian yang Delano kenakan langsung dirobek dan dibalutkan ketangan Thanasa.
"Aku akan panggil tabib, sebaiknya kalian juga keluar dan biarkan mereka berdua saja." Imbuh Lander berjalan keluar diikuti yang lain.
"Apa yang kau lakukan?!" Masih sibuk melilit kain, Thanasa menyaksikan Delano menangis untuk pertama kalinya. Entah ia harus merespon seperti apa. Jujur saja ia pun tidak mengerti dengan tangisan Delano. Apakah lelaki itu menangisi tangannya yang sedang terluka. Atau yang lain?
"Jangan merusak dirimu sendiri. Kau bisa membunuh ku jika kau mau." Selesai mengikat, mata Delano langsung tertuju pada Thanasa. Gadis tersebut juga sama menesteskan air mata. Memandang satu sama lain sembari menangis dalam diam. Tatapan mereka sama-sama dalam. Mereka sama-sama merasakan sakit dan menderita. Terbukti dari lelehan bening yang keluar terus.
Perih.
Jujur masih bingung sama endingnya wkwk, ada beberapa saran dari kalian yang mungkin bisa saya pakai
KAMU SEDANG MEMBACA
MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓
FantasyRAJA KU MUSUH KU "Jangan berharap lebih pada ku. Aku menjadikan mu permaisuri ku, karena aku ingin menyiksa mu lebih leluasa." "Perintah ku adalah mutlak. Melanggar, tidak akan ada ampunan." "Aku tidak suka berbagi. Jika kau berani menatap pria lain...