13.Rasa

20.6K 1.7K 66
                                    

Berbalut selimut, tubuh Thanasa masih menggigil. Bibir gadis itu pucat. Sesekali kata 'Kakak' terus saja ia panggil.

"Apakah dia tidak apa-apa?" Nada suara Delano tidak tenang. Raut wajahnya menandakan panik.

Resah akan keadaan Thanasa yang tak kunjung normal, Kalva takut untuk beritahu kepada penguasa Altair mereka.

"Aku bertanya padamu! Kenapa kau tidak menjawab?!" Kebisuan Kalva meningkatkan emosi Delano jadi tidak terkendali, ia gelisah akan kondisi Thanasa.

Sempat bergidik ngeri orang-orang disana, Kalva mulai angkat bicara secepat mungkin karena amarah Delano sangatlah menakutkan. "Ratu terkena Hipotermia, Pangeran. Hamba tidak bisa menjamin keselamatannya karena tubuhnya terlalu lama kedinginan. Detak jantungnya tidak teratur. Hamba takut nyawa Yang Mulia Ratu-"

Delano memotong cepat. "Selamatkan dia! Kalau kau tidak bisa mengobatinya, aku akan membunuh mu!" Teriakan Delano membuat dayang-dayang beserta tabib pembantu membatu hening.

Padahal kesalahan pria itu sendiri membiarkan Thanasa tidur diluar dengan cuaca yang sangat dingin. Tampak frustasi dan bimbang. Rasa tidak tenang terus menghantui. Delano kecewa.

Pandangannya berbalik pada sang istri saat tabib lainnya berseru "Detak jantung Ratu semakin tidak beratur."

Kalva ragu, ia sendiri tidak yakin akan nasib yang baik. Minuman hangat tidak bisa diminum oleh Thanasa karena selalu jatuh dan tidak bisa diminum dengan baik.

Merampas kilat, Delano meneguk minuman penghangat badan tersebut lalu duduk ditepi ranjang. Kemudian tubuh Thanasa diangkat bersender ke lengan dan Raja Altair itu langsung menyalurkan cairan dari mulutnya ke mulut Thanasa.

Tindakan ini membuat orang-orang disekeliling terpana.

Selesai, Delano membaringkan Thanasa kembali.

Tanpa berpikir panjang lagi, Kalva dan yang lain melanjutkan pengobatan. Kain basah dikompres dengan air hangat dan langsung ditempelkan pada kening, tangan, kaki dan perut. Berulang kali melakukan hal serupa.

Muka Thanasa lantas memerah perlahan. Meraih tangan milik sang Ratu, Kalva menekan pelan titik nadi empunya. Tak berselang lama, wanita paruh baya tersebut menghela napas panjang.

"Detak jantung Ratu sudah normal. Badannya kembali menghangat. Kemungkinan besok sudah sembuh, Yang Mulia."

Delano lega. Benar-benar lega.

Semua orang menundukkan kepala dan pamit keluar dari peristirahatan Raja mereka.

Terbaring damai. Delano mengusap kepala istrinya. Tersenyum tipis. Senang karena Thanasa baik-baik saja.

"Kau tidak boleh mati semudah ini. Aku akan membuat mu mati dengan cara menyenangkan. Jadi kau tidak boleh cepat mati."

Ikut merebahkan tubuh, Delano mendekap Thanasa dalam pelukkan.

***

Mentari masuk dan menyambut kedua insan yang masih tertidur nyenyak. Sinar matahari rupanya terlalu menyengat bagi Thanasa. Netra coklat miliknya memekar halus. Menutup indra penglihatan dengan telapak tangan. Merasa aneh, Thanasa menoleh kesamping.

Delano?

Memeluknya?

Heran.

Berusaha menyingkirkan tangan Delano yang lumayan berat. Thanasa mencoba berkali-kali, alhasil malah membuat suaminya bangun.

"Sudah bangun?"

"Apa semalam kau membawa ku ke keranjang?"

Menyeringai, Delano menyosor bibir Thanasa yang direspon kaget. Sang Ratu mendorong dada si pria sekuat tenaga dan memasang ekspresi jengkel.

"Aku bukan pelacur mu, bersikaplah sopan padaku!"

"Bukankah kau istri ku?"

"Enak saja, siapa bilang aku pernah setuju untuk menjadi istri mu? Kau yang memaksa keadaan."

"Tapi kau sekarang adalah istri ku."

"Istri?" Thanasa terkekeh pelan. Ironis sekali mendengar pernyataan Delano barusan.

"Seorang suami tidak akan membiarkan istrinya tidur diluar."

Bagai belati menusuk hati. Lelaki itu tertampar dengan omongan Thanasa. Ah, dia memang suami yang buruk. Menepis semua hal negatif kemarin, Delano memilih bersikap santai. Senyumannya semakin lebar.

"Jadi kau ingin tidur dengan ku mulai sekarang?"

Tambah dongkol. Thanasa meninju muka Delano. Bukannya membalas atau apa. Pria didepan Thanasa ini malah tertawa seperti tidak merasa kesakitan terhadap pukulan tadi.

"Dengan tubuh lemah ini, kau ingin membunuh ku?" Mendekat, Delano berbisik, "Apa kau mau aku ajarkan bagaimana caranya membunuh ku?"

Mendorong lagi, Thanasa langsung berteriak geram. "Enyahlah kau. Aku akan membunuh mu secepat mungkin dengan tangan ku."

Lucu sekali.

Jika marah, membuat kecantikan si gadis berlipat. Delano suka dengan tampang istrinya yang ketus begini. Sangat menarik.

"Kau tau? Semalam kau hampir mati terkena hipotermia jika aku tidak segera menyelamatkan mu."

Alis Thanasa mengkerut bingung. Tubuhnya memang tidak kebal akan udara dingin. Waktu kecil juga pernah diserang hipotermia dan hampir kehilangan nyawa. Dilihat dari mimik Delano, lelaki ini tampaknya tidak berbohong.

"Kenapa kau menyelamatkan ku?"

"Aku hanya ingin kau mati dengan menderita. Bukan mati dengan mudah seperti itu."

Ck, Thanasa benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Delano.

"Aku takut kau tidak akan punya kesempatan yang bagus lagi untuk membunuh ku. Semoga kau bisa merealisasikannya."

Kedua sejoli tersebut berpaling pada suara ketukan pintu.

Sejujurnya Delano tidak suka disaat-saat bahagia seperti ini malah ada yang mengacau.

"Masuk."

Xenya masuk membawa nampan. Tidak berani menaruh sebelum menjelaskan kedatangannya.

"Maaf Yang Mulia jika hamba menganggu. Hamba membawa obat dari tabib untuk Ratu. Obat ini harus diminum segera, sebelum sarapan pagi. Katanya obat ini akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh."

Xenya sangat polos dan baik. Thanasa beruntung memiliki pelayan seperti Xenya. Melihat kepala gadis itu yang masih tertunduk, ia berujar "taruh saja diatas meja, kau boleh pergi."

"Baik Ratu, hamba cuma mengingatkan obatnya harus diminum sekarang."

"Baiklah aku akan meminumnya."

"Hamba pamit Ratu, Raja."

Setelah keluar. Delano bangkit dari ranjang. Mengambil obat yang harus diminum Thanasa. Duduk ditepi ranjang, lelaki tersebut menyodorkan mangkuk berisi ramuan.

Tidak bergeming sama sekali. Delano tahu gadis itu bingung.

Maka, seperti kemarin. Delano meneguk obat dalam mangkuk itu dan meminumkannya pada Thanasa.

Thanasa terbelalak.

Beres, Delano melepas bibir.

Masih tidak bergerak sama sekali. Delano bertanya-tanya. Apa istrinya masih kaget? Atau mendadak lupa ingatan?

Mata mereka saling bertumbuk. Keduanya mengakui bahwa mereka sangat memikat satu sama lain. Tanpa sadar, Delano memajukan badan memagut bibir tipis sang istri. Thanasa tidak menolak sama sekali.

Larut dalam perasaan yang tiba-tiba datang entah darimana.

Setidaknya, biarlah mereka seperti ini. Sepasang suami istri normal. Tidak memandang musuh ataupun lawan.

***

MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang