Sejujurnya Delano tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bisa saja tidak menikahi Lilia. Namun, Kerajaan tetap harus punya keturunan. Suatu hal yang sudah menjadi tradisi. Menjadi peraturan mutlak.
Kenapa wajib punya penerus?
Jika Raja meninggal dan tidak ada penggantinya, penguasa dari negri lain akan sangat mudah menjajah. Terlebih, Delano adalah satu-satunya orang yang paling ditakuti. Bayangkan jika pria pelopor Altair tersebut tiada?
"Ennngh." Sudah cukup waktu untuk Thanasa istirahat. Gadis itu melenguh pelan, samar-sama membuka mata. Sentuhan pada tangan kanannya memberi minat tersendiri untuk menoleh kesamping.
Delano?
Pria itu terlelap dengan kepala bersender disisi ranjang. Posisi tersebut pastinya sangat tidak nyaman sama sekali.
Ah, Thanasa baru ingat. Semalam karena hujan ia terkena hipotermia.
Jadi...
Sang suami yang merawat dirinya? Seperti dulu?
Mengulas senyum, Thanasa menarik tangan dari tangkupan si pria. Dia kemudian mengusap lembut kepala lelaki itu.
Pahatan sempurna terukir diwajah Delano. Selang beberapa lama, berdecak kagum bisa kembali memerhatikan wajah suaminya dalam jarak dekat.
Sentuhan-sentuhan kecil membangunkan Delano. Mereka sama-sama terkesiap. Perlahan Thanasa menjauhkan tangannya.
Menegakkan badan, Delano menatap lembut pada sosok disebelah.
"Apa ada bagian tubuh yang terasa sakit?" Ingin memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Sedetik kemudian pria berambut hitam itu terhenyak lantaran tangannya dibawa Thanasa menuju pada bagian dada.
"Disini, sakit sekali. Apalagi suami yang ku cintai kini bersanding dengan wanita lain." Ucap sang istri parau, cairan bening menetes membasahi pipi.
Tatapan Delano melunak, melihat Thanasa menangis membuatnya ikut merasakan sesak.
Tangan tersebut terulur menghapus air mata. Sungguh hatinya mencelos tidak tahan.
"Kau harus minum obat." Delano tersenyum pedih lalu segera membantu Thanasa menyender pada tembok ranjang. Gadis itu menurut saja.
"Minumlah." Semangkuk minuman yang sudah ada dimeja sejak semalam, disodorkan Delano pada Thanasa.
"Aku tidak mau." Istrinya menggeleng pelan. Raut wajahnya memelas dipadukan beberapa jejak tangis pilu tadi.
"Kau harus meminumnya agar bisa sembuh."
Thanasa menunduk lesu. "Aku mau kau memberinya lewat mulut mu."
Bibir Delano melengkung kecil. Dasar remaja labil. Kemarin-kemarin gadis didepannya ini marah-marah, sekarang malah minta yang aneh-aneh.
"Jangan menertawai ku!"
"Sini." Dagu Thanasa segera diangkat membuat gadis itu tersentak dan sekarang berganti tersipu malu.
Tanpa lama, Delano menuruti permintaanya. Bau khas obat masuk kedalam mulut. Ramuan pahit tersebut dikalahkan oleh bibir manis Delano. Gadis itu tersenyum disela-sela penyatuan bibir mereka. Ketika Delano hendak melepaskan pagutan, Thanasa menahannya. Dia mengalungkan tangan pada leher Delano. Memperdalam ciuman mereka.
Terbuai. Tiba-tiba saja ada balasan lumatan. Rindu. Delano sangat merindukan tiap sentuhan gadis ini. Istrinya.
Tak tinggal diam, tangan bebas Delano menjelajah kedua bukit indah milik Thanasa membuat gadis itu mendesah pelan. Gaunnya bahkan sudah melorot sampai kepundak.
Jangan ditanya ulah siapa.
Kini bibir tersebut berpindah ke area leher, mengecap kuat dibeberapa bagian sampai menimbulkan tanda merah.
"Enngh, Delano."
Racauan Thanasa yang menyebut namanya, kian membuat Delano semakin bersemangat. Entah kapan terakhir mereka melakukan hubungan suami istri.
Telinga putih itu dijilat membuat siempunya melenguh tak jelas.
Pakaian atas Thanasa sudah disingkirkan sehingga Delano bisa melihat pemandangan indah disana. Cepat, si lelaki langsung saja menghisap gundukkan putih menggiurkan tersebut.
"Hnng De..la..no."
"Ku rasa aku datang diwaktu yang salah."
Kedatangan Tristan sontak saja mengagetkan Delano dan Thanasa. Segera saja Thanasa buru-buru menutupi bagian tubuh atasnya yang terekspos. Mukanya memerah hebat. Ia sangat malu.
"Brengsek, kau memang tidak tahu tempat dan waktu." Umpatan Delano disahut gelak tawa Tristan.
"Pergi atau kau ku bunuh sekarang juga." Ancaman tidak digubris oleh Tristan sedikit pun.
"Pantas saja kau disini. Lagi berbuat yang enak-enak ya ternyata?"
Astaga, mulut Tristan memang kurang ajar. Delano sangat ingin merobek mulut tersebut dengan pedangnya.
"Hahaha. Cepatlah. Semua petinggi sudah menunggu mu diruang pertemuan." Tristan pergi tanpa dosa. Melihat adegan Thanasa dan Delano tadi seakan memberinya dorongan untuk segera menemui Xenya. Tadi subuh padahal mereka sudah melakukan empat sampai lima kali. Tetap saja Tristan ketagihan.
"Aku harus segera kepertemuan. Kau langsung mandi saja, aku akan menyuruh pelayan didepan menyiapkan mandi mu."
Sebelum benar-benar keluar ruangan, Delano mengecup singkat bibir Thanasa. Yang dikecup hanya kaku tak percaya.
***
Spoiler : Thanasa bakalan punya anak. Tapi
KAMU SEDANG MEMBACA
MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓
FantasyRAJA KU MUSUH KU "Jangan berharap lebih pada ku. Aku menjadikan mu permaisuri ku, karena aku ingin menyiksa mu lebih leluasa." "Perintah ku adalah mutlak. Melanggar, tidak akan ada ampunan." "Aku tidak suka berbagi. Jika kau berani menatap pria lain...