38. Akhir

37.8K 1.4K 61
                                    

Semua penghuni diluar ruangan menunggu cemas. Termasuk Delano yang sedari tadi melamun sembari menggosok ibu jarinya pada batang telunjuk dengan tangan terkepal. Gerakan itu merupakan suatu kebiasaan Delano ketika ia sedang cemas.

Pintu terbuka tidak sabaran, seorang tabib keluar disertai wajah panik. Melihat hal tersebut, Delano terdorong untuk masuk diikuti yang lain.

"Apa yang terjadi?" Tanya Delano setengah berteriak gusar.

Disana terdapat Thanasa yang tengah berbaring. Keadaan si gadis terlihat pucat dan tak ada pergerakan.

Bergegas cepat, Delano langsung menuju mendekat pada istrinya. Menangkup wajah sang Ratu, Delano kian takut. "Thanasa, apa kau baik-baik saja?" Mata Delano memanas saat merasakan kulit wajah Thanasa begitu dingin. Sungguh ia benci dengan pikiran negatif yang melintas.

"Apa yang terjadi Bibi?" Delano meminta jawaban pada Kalva. Namun, wanita paruh baya itu membisu.

Frustasi menyerang Delano. Mukanya merah padam dan air mata sudah berjatuhan. "Apa kau tidak bisa menjelaskannya padaku?! Apa tidak ada seorangpun yang bisa memberitahu ku apa yang terjadi?!"

Naff ikut duduk disamping ranjang. Anak kecil yang baru berusia enam tahun tersebut ikut menangis. Ia bingung kenapa Ibunya tidak bangun dan hanya tidur dari tadi. Yang jelas ia bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.

"Ibu, Ibu." Naff menggoyangkan tubuh Thanasa dengan harapan bisa membangunkan Ibunya.

"Thanasa kumohon bangun! Thanasa bangunlah!"

"Ibu bangun, Bu." Isakan Naff berdengung jelas diruangan. Grace mengelus pundak sang Pangeran Altair. Ia ikut menitikkan air mata untuk kepergian Thanasa yang tidak terduga.

Delano menelungkupkan kepala diceruk leher istrinya. Lelaki itu meraung dalam. "Seharusnya aku melarangmu untuk melakukannya. Tapi kenapa kau begitu keras kepala?!" Para pelayan serta semua saksi disana turut sedih dan berduka atas kematian Ratu mereka.

Dilan menoleh pada salah satu pengawal. "Pergilah ke Kerajaan Claus dan kabarkan informasi ini segera kepada Raja Tristan."

"Baik, Yang Mulia." Pengawal yang ditugaskan menegakkan badan setelah ia membungkuk hormat. Lalu ia keluar dari tempat yang menjadi saksi peristirahatan terakhir Ratu Altair.



















Seorang gadis memakai gaun putih polos, ia menyusuri sebuah ruangan putih terang dan tak berdinding. Entah apa ia harus menyebut tempat ini. Rasanya begitu sepi dan dingin. Ia pun bingung kenapa berada disini. Kaki telanjangnya berjalan kekanan.

Semakin ia jalan, semakin ia bingung.

Tersesat.

Sunyi.

Bibir ranum itu mencoba meneriakkan nama orang-orang yang ia kenal. Namun hanya terdengar gemaan suara si pemilik.

Lanjut melangkah tanpa menemukan penghujung. Selang beberapa saat, memutuskan berhenti. Tubuh Thanasa tiba-tiba menyusut terduduk dan memeluk diri.

Menenggelamkan kepala pada tumpuan lutut. Ia lelah dan pasrah.

Cukup frustasi.

"Thanasa."

Yang dipanggil segera menenggakkan kepala, bola matanya melebar ketika bertemu sosok seorang perempuan yang selama ini ingin ia temui namun tidak bisa. Seorang wanita serba berbusana putih seperti dirinya. Orang yang selalu ia lihat dalam sebuah lukisan.

"Thanasa."

Thanasa melihat kebelakang si wanita, ada satu orang lagi yang menyapa dengan suara familiar. Orang yang sangat Thanasa rindukan.

MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang