Thanasa menghilang selama dua bulan.
Tidak ada yang tahu dimana keberadaan sang Ratu sejak kepergiannya dari Kerajaan Grey.
Hal ini membuat Delano menjadi suka murung dan memarahi semua orang walaupun mereka tidak bersalah. Yang jelas, semenjak Thanasa tidak ada, suasana hati Delano ikut berubah. Kehilangan seekor domba mainan memang sangat menyebalkan baginya.
Tidak ada lagi yang bisa ia siksa.
Tidak ada lagi yang bisa ia lukai.
Tidak ada lagi yang bisa ia patahkan tangannya.
Menyebalkan.
Penguasa Altair itu tampak kacau.
"Wanita sialan! Kabur dariku begitu saja."
Seorang pria bertubuh kekar dan memiliki paras yang mirip dengan Delano— masuk kedalam ruangan.
"Istri mu ditawan oleh anak Mos Cov yang kau bunuh waktu itu."
Berbalik kebelakang, rahang Delano mengeras sampai urat-urat timbul dari sana menatap Dilan yang baru kembali seminggu lalu karena ditugaskan Delano untuk mencari Thanasa. Adiknya itu mengetahui seluk-beluk setiap negara karena ditugaskan menjadi mata-mata. Tak heran dalam setiap perang, Kerajaan Altair selalu menang.
"Siapkan pasukanmu, kita berangkat kesana."
***
"Tunangan mu itu sangat menarik. Tak heran bila Ayah ku ingin mencicipinya saat itu. Dasar jalang."
"Tutup mulut mu itu, aku sudi bekerja sama dengan mu karena kita mempunyai musuh yang sama." Lander agak sedikit emosi karena ucapan Raja Cov yang baru, Felltiro Cov.
Fell mengidikkan bahu tidak peduli. Begitu tujuannya telah tercapai, ia akan memikirkan langkah berikutnya untuk mengurus Thanasa.
Bukankah semuanya berawal karena gadis itu?
***
"Aku tidak begitu ngerti dengan jalan pikir mu." Ucap Tristan memandang Delano remeh. Kakak Thanasa itu tersenyum geli dengan sikap Delano yang kejam namun mencemaskan Thanasa secara bersamaan.
Ah, bagaimana ia harus mendeskripsikan seorang Delano?
Masokis? Kata yang cukup cocok.
"Perhatikan kata-kata mu, aku Rajanya disini." Balas Delano dingin.
Bibir Tristan tersenyum sinis sembari bersiap-siap menaiki kuda menuju Kerajaan Cov.
Semua pasukan telah bersiap dengan Delano yang memimpin barisan depan.
Dilan berdiri dibalik jendela kastil yang menjulang tinggi. Ekspresinya datar memandang sang Kakak dan ribuan pasukan yang telah bergegas menghampiri perang.
Grace muncul disamping calon suaminya, mengikuti arah pandang Dilan. "Kau khawatir?"
"Aku takut ini hanya jebakan saja. Aku harus menyusul orang keras kepala itu."
Tersenyun tipis, Grace menggenggam tangan Dilan. Gadis itu mendongak dan menatap Dilan begitu lembut. "Aku tau Delano begitu penting bagi mu. Tapi~"
Sebelum melanjutkan, Grace terus memperhatikan ekspresi Dilan dengan seksama. Terlihat sekali bahwa laki-laki tersebut mengkhawatirkan Kakaknya. "~apakah kau sadar kalau kau semakin lupa akan diriku? Aku tidak bermaksud bahwa menyayangi Kakak mu itu salah. Bahkan kau rela menjadi mata-matanya dan berkelana sampai jauh. Namun, apakah kau tidak memikirkan hubungan kita sama sekali?"
Membalas tatapan Grace, Dilan mengangkat dagu gadis didepannya. Manik obsisan itu bertumpu dengan manik Grace memikir ulang perkataan kekasihnya barusan. Selang beberapa lama, ia mendekat dan menghilangkan jarak diantara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY KING MY ENEMY (TAMAT) ✓
FantasyRAJA KU MUSUH KU "Jangan berharap lebih pada ku. Aku menjadikan mu permaisuri ku, karena aku ingin menyiksa mu lebih leluasa." "Perintah ku adalah mutlak. Melanggar, tidak akan ada ampunan." "Aku tidak suka berbagi. Jika kau berani menatap pria lain...