Kata Syukur Dibalik Istighfar

33 8 0
                                    

Jangan tiba-tiba pergi tanpa kabar, kau pikir menanggung rindu sendirian itu menyenangkan?

🥀🥀🥀
•••

Kian menit Matahari mulai bergerak dari arah timur kearah barat, walaupun belum tenggelam. Langit jingga menyuguhkan keindahan bagi penikmatnya. Jalanan kota masih dipenuhi keramaian orang dan suara-suara kendaraan bermotor. Cuaca yang sangat panas lebih diatas 36°C.

Diatas sejadah mesjid, pemuda itu sedang bercengkrama penuh kekhusyuan dengan tasbihnya sebagai perantara mengingat Rabb-nya. Setiap bulir tasbih lisannya melantunkan puja-puji kepada Allah bersama dengan shalawat kepada Nabi-nya. Dzikir di sore hari selalu ia amalkan ketika hendak menunggu adzan magrib untuk melaksanakan sholat berjamaah bersama minoritas kaum muslimin.

Ucapan kedua salam mengakhiri sholatnya. Ia berdoa agar Tuhannya selalu menjaga keluarganya, termasuk seseorang yang sering ia bicarakan ketika dirinya berdialog dengan Rabb-nya. Satu kata aamiin menjadi penanda berakhirnya sebuah doa.

"Langsung balik?" Tanya seseorang kepada pemuda itu saat dirinya mencari sandal untuk pulang.

"Hans?" Pemuda itu mengernyit. "Sejak kapan Lo disini?"

Tinggal di negeri orang sangat menyulitkan pemuda itu. Dirinya harus sering beradaptasi dengan lingkungan. Bahasa Inggris menjadi bahasa sehari-hari untuknya. Apalagi lingkungannya yang mayoritas penduduk non muslim membuat dirinya sulit untuk mendapatkan makanan halal. Untunglah ada seorang teman yang sama-sama berasal dari Indonesia, dan sama-sama mendapatkan beasiswa untuk menyandang gelar dokter di Amerika, tepatnya di New York university. Dirinya bernama Hans. Hans memang seorang non muslim, tapi ia sangat menghargai perbedaan dan saling mendukung.

"Gue tau, kalo tiap jam segini lo pasti ada di mesjid, makanya gue kesini." Kata Hans. Hans melihat-lihat seisi mesjid dari arah luar. "Wah, desainnya bagus banget. Pantesan Lo betah disini." Matanya takjub dengan tawa diakhir kalimat.

"Udah ah ayo pulang."

"Kalo gue masuk kesini, Tuhan lo marah gak?" Tanyanya dengan polos.

Semenjak bergaul dengan pemuda itu, Hans sering bertanya-tanya soal Islam, bagaikan anak kecil yang bertanya dengan keponya.

"Ah udahlah ayo, udah malem Hans!" Pemuda itu menarik tangannya Hans.

Mereka berjalan untuk sampai ke tempat tinggal mereka.

"Besok kelasnya profesor grath, gue belum belajar sama sekali, bisa mampus gue kalo ditanya soalan materi anatomi." Ujar pemuda itu panik.

"Tenang Napa sih, nyantai aja." Kata Hans dengan santai.

"Lo apa-apa santai." Pemuda itu mendengus.

Hans memang tipikal laki-laki yang santai, tapi hans juga tipikal laki-laki yang berpikir kritis. Setiap dia ingin melakukan sesuatu atau berhadapan dengan sesuatu, pasti dia harus cari tahu dulu kenapa bisa terjadi seperti itu, lebih tepatnya menganalisis sebelum bertindak. Untungnya Hans tidak sebobrok temannya di SMA.

"Enjoy your life. Lo mah ribet, apa-apa jadi beban. Mending kaya gue, gue santai. Tapi gue selalu bisa ngadepin semuanya."

"Gue gak bisa sesantai lo kali!"

Pemuda itu berjalan lebih cepat meninggalkan Hans untuk masuk kedalam rumah lalu segera ia mengambil buku tentang ilmu kedokteran untuk dibaca.

Tempat tinggal mereka seperti rusun tidak terlalu besar tapi Lumayan luas untuk mahasiswa seperti mereka. satu rusun terdiri dari lima tingkat rumah. Mereka menempati rumah paling atas, di lantai lima. Rusun disini khusus anak-anak yang mendapatkan beasiswa dari negara lain.

Cinta Yang Tak SeharusnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang