Suara Kabur

43 6 0
                                    

Seusai melaksanakan sholat malam, Abyan menatap langit malam di halaman rumahnya dengan perasaan bimbang. Semua keputusan memang ada di tangannya. Dan jawaban dari Allah sudah ia ketahui, tapi Abyan tidak bisa membayangkan ekspresi mamanya ketika mengetahui jika dirinya akan pergi ke luar negeri.

"Yan, belum tidur?" Tanya Leni, mamanya Abyan. Mamanya membawakan teh manis hangat untuk Abyan, kemudian selangkah-selangkah mulai mendekat kearah Abyan berdiri, hingga Abyan menengok karena merasa dirinya terpanggil.

"Mama, belum ma." Ujarnya menggeleng.

Leni sang mama mendaratkan tubuhnya di kursi teras kemudian teh tersebut diletakkan di atas meja. "Mama bawain kamu teh. Oh ya, Gimana ujian kamu hari ini?"

Abyan menyusul mamanya duduk pula.
"Alhamdulillah, hari tadi ujian biologi. Ya mudah sih, karena Iyan suka biologi." Tuturnya seusai menyeruput teh hangat tersebut.

Mamanya mengangguk "hhh." kemudian meraih majalah yang tergeletak di meja, dan mulai membacanya. Abyan memperhatikan mamanya, sesekali ia melirik kearah depan.

Apa ini saatnya? Aku harus bicara sama mama?

"Hm, mah?"

Mamanya mendongak setelah itu kembali membaca majalah.

Abyan terdiam, mengatur nafasnya. Semua harus ia terima jika mamanya tidak akan mengizinkan dirinya ke Amerika.

"Kenapa? Kok diem." Mamanya menatap wajah Abyan dari arah samping.

"Eum... " Abyan menghela nafas dan mengeluarkannya perlahan. "Setelah lulus SMA, Iyan mau ke luar negeri ma."

Mamanya yang sedari tadi menatap wajahnya Abyan langsung mengernyitkan dahinya menambah kerutan di dahi mamanya.

"Mau ngapain?"

"Mama ingat. dulu, saat Iyan masih kecil, Ketika tetangga kita meninggal karena telat mendapatkan pertolongan dari pihak rumah sakit karena mereka tidak sanggup membayar semua biayanya, dan akhirnya beliau meninggal. Mama tau gimana perasaan Biyan waktu itu?" Mamanya hanya menggeleng pelan.

"Biyan sedih mah, Biyan ngerasa dokter itu gak adil. Mereka hanya membantu orang yang mampu aja. Pada saat ada orang yang gak mampu sedang memperjuangkan hidupnya, cuma karena masalah biaya, seolah semua harga nyawa bisa selamat cuma karena uang." Mama Abyan hanya mendengarkan semua cerita dari putranya itu.

"Saat itu yang tahu Abyan sedih hanya papa." Abyan mengingat kejadian sebelas tahun yang lalu.  "Papa selalu berkata sama Abyan 'kamu harus menjadi seorang dokter yang tidak membedakan pasiennya. Apalagi pasien itu orang yang kurang mampu, walaupun kamu tidak dibayar ada Allah yang selalu membayar semua pekerjaan kamu, dengan pahala.' dari situ Iyan selalu termotivasi sama kata-kata papa. Dari situ Iyan sangat ingin menjadi seorang dokter. Dua Minggu yang lalu Alhamdulillah Iyan dapet beasiswa kedokteran di Amerika ma."

"kamu gak lagi bercanda kan nak?" Tanya Mamanya tak percaya.

"Iya ma, Alhamdulillah tanpa biaya Biyan bisa sekolah kedokteran di Amerika. Biyan udah istikharah ma, dan jawaban dari mimpi Abyan, Biyan jadi dokter."

"Memang menjadi seorang dokter itu keinginan terbesar kamu sejak kecil dulu." Mama Abyan beranjak dari duduknya dan berdiri menatap kearah depan. Abyan terus memperhatikan mamanya itu, dan menunggu sebuah keputusan dari mamanya.

"Sebenarnya mama sedih kalo harus ditinggal sama kamu."

Abyan beranjak, "kalo mama gak izinkan Abyan pergi, gak papa ko ma. Iyan bisa kuliah di Indonesia aja, tanpa harus ninggalin mama, Syifa, sama kak Alwi."

Cinta Yang Tak SeharusnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang