#Chapter 27

19.1K 499 0
                                    

Happy Reading

Lea berjalan mengendap-endap seperti maling yang akan menggasak harta, keluar dari kamar menuju dapur apartemennya. Dia menolehkan kepala ke segala arah untuk memastikan bahwa suaminya tidak terbangun agar aksinya ini tidak diketahui siapapun.

Sampainya di dapur, dia membuka tutup saji yang berada di atas meja dan berharap keburuntungan berpihak kepadanya. Namun, harapannya itu pupus begitu saja. Dia tidak menemukan makanan yang tersisa, bahkan hanya sekadar nasi pun habis.

Pandangannya teralihkan pada sebuah kulkas berwarna merah di samping tubuhnya. Dia membuka barang elektronik tersebut dengan hati-hati. Untung saja kemarin, Lea dan Milo sudah berbelanja ke supermarket untuk keperluan sebulan mendatang.

Lea menarik kursi yang ada di dekatnya, lalu duduk. Dia memoleskan selai kacang pada roti tawarnya. Baru saja dia akan membuka mulutnya untuk menyuapkan roti tersebut, suara baritone mengganggu aktivitasnya. Ini terjadi dengan posisi yang sama seperti tempo yang lalu, dimana saat itu dia ingin menyuapkan bakso.

"Gimana, enak gak?" Milo bertanya tepat di samping telinganya. Hanya mendengar suaranya saja membuat dia memutar bola mata malasnya. Dengan ganas, dia memasukan roti tersebut ke mulutnya tanpa mempedulikan imej buruk yang bisa dilihat suaminya.

"Uh, lahap sekali makannya nona gengsi," kata Milo yang jelas mengejek cewek itu, "udah berapa tahun lo gak makan?"

Ada tiga alasan mengapa dia tidak menyukai sifat suaminya. Pertama, Milo selalu bertindak semaunya tanpa meminta saran pada dirinya. Kedua, Milo sebetulnya bukan tipe orang yang bisa diajak serius saat berbicara empat mata. Dan yang ketiga, Milo akan mengejek siapapun ketika orang itu berbuat salah.

Mati aja lo, musnah sekalian dari dunia ini, kata Lea membantin.

"Misalnya gue mati, lo jadi janda muda dong. Lain kali jangan sumpahin suami lo kayak gitu, gimana kalau sampai terjadi," kata Milo seolah seperti seorang cenayang yang bisa mengetahui isi hati dan pikiran.

Tapi, peduli apa? Mungkin saja Milo berkata macam itu hanya kebetulan saja. Milo kan anaknya memang sok tahu banget. Dia suka sekali mencari perhatian kepada siapapun supaya mendapatkan pujian sesuai dengan harapannya itu.

Lea mengibas-ibaskan tangannya sesekali mendorong punggung suaminya agar menjauh dari tempat yang didudukinya. "Udah sana-sana gue cuma mau makan aja. Emangnya lo mau lihat gue mati, terus gentanyangi lo?" katanya dengan ancamannya.

"Eh-eh, makan roti aja gak cukup loh. Gak akan kenyang meskipun sepuluh roti tawar lo masukin ke mulut," kata Milo.

"Ya, terus ... gue harus mau makan apa tuan Aderald Radmilo Emery yang terhormat." Lea menunduk sembilan puluh derajat.

"Lo itu kan cewek," kata Milo.

"Sorry bang jago, gue terlahir sebagai perempuan," balas Lea.

"Bodoh amat mau itu cewek, perempuan, wanita, gadis, dan lain sebagainya. Seharusnya cewek itu bisa masak apalagi kalau udah berumah tangga. Gitu-gitu suami juga harus di urus loh, memangnya mau suami lo berpaling ke wanita lain?"

"Sesuatu yang tidak bisa dilakukan, tidak usah di paksakan," kata Lea sambil menyilangkan tangan di dada, bermaksud menantang cowok yang dihadapannya untuk berdebat sampai mulut mereka mengeluarkan busa.

Sebelum pergi menuju kamar, Milo mengambil roti dan selainya. Lantas dia berkata, "Ingat, semua yang lo makan pakai uang gue. Lo gak boleh menyentuhnya tanpa seizin dari gue. Paham bosku?" Milo menepuk pucuk kepalanya.

[Flashback on]

Milo sedang menonton film di salah satu siaran televise. Detik kemudian, seorang gadis yang merupakan istrinya menghampiri dia lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan yang sulit diartikan dan dipahami makhluk hidup lainnya.

Namun, dia merasa jika Lea mendekatinya karena memiliki niat yang terselubung di hatinya. Dia masih mengingat betul perkataan papa mertuanya, dimana beliau berkata, "Nak, kalau Lea tiba-tiba berubah sifat dan sikapnya, kamu haris hati-hati."

"Milo," panggil istrinya, Lea, dengan suara yang begitu lembut untuk didengar.

"Milo," panggilnya sekali lagi.

Dia menolehkan kepala.

"Ya Tuhan, kenapa gue baru sadar kalau suami gue ganteng banget. Penampilan lo juga keren banget meskipun pakai kaos aja," puji Lea.

"Dari lahir," kata Milo dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.

"Hehe iya, maafin gue ya yang sempat rabun," balas Lea yang dibalas dehaman oleh Milo.

"Bagi uang dong," kata Lea sambil menadahkan kedua tangannya.

Milo, cowok itu langsung mengubah posisi duduknya hingga mereka berhadapan. Mereka berpandangan tidak lebih dari sepuluh detik. Mereka sama-sama canggung berada di posisi sekarang, tapi mau bagaimana lagi.

"Coba ngomong sekali lagi, telinga gue tiba-tiba bermasalah malam ini," kata Milo.

"Minta uang buat jajan," balas Lea menampilkan wajah yang sok imut. Bahkan rasanya dia ingin mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

"Gak akan gue kasih. Tiga ratus ribu emangnya gak cukup buat seminggu. Bahkan jatah gue lebih kecil dari pada lo."

Lea kecewa mendengar penolakan dari suaminya. Hatinya sakit karena besok tidak akan bisa jajan lagi di kantin sekolahnya.

"Mil, ayolah kasih uangnya sama gue."

"No way!"

"Okay, kalau emang lo gak mau kasih gue uang. Gue bakal mogok makan dan gak masuk sekolah sampai gue dikasih uang sama my suami."

"Terserah," kata Milo yang cuek bebek.

Dua puluh menit kemudian, Milo berjalan menuju pintu apartemennya setelah bel berbunyi. Dia sedikit mengintip kearah pintu yang sedang terbuka. Terlihat milo menyerahkan beberapa lembar uang pada orang tersebut.

Milo kembali menutup pintu tersebut dengan menenteng beberapa plastik. Lea meyakinkan diri bahwa plastik tersebut berisi makanan, udah jelas dari aromanya yang sangat menyengat di indera penciumannya.

Milo menaruh plastik tersebut diatas meja, lalu membukanya.

Ya ampun, mengapa Lea jadi menginginkan makanan itu. Lea menggeleng-gelengkan kepala. "Gak-gak-gak tetap fokus pada pendirian lo. Tahan Lea. Jangan mudah tergoda," gumam Lea yang masih bisa didengar Milo.

Suaminya terkekeh. "Benar nih gak mau? Enak tau, lo cium deh harusmnya," kata Milo sambil melayang-layangkan kotak kue di depan hidungnya.

[Flashback off]

Ah, kalau dia mengingat-ingat kejadian satu jam yang lalu, rasanya dia ingin menangis. Menangis diperlakukan begitu buruk oleh suaminya. Dia merasa tidak adil karena tidak diberikan uang jajan, lantas besok bagaimana.

Lea melanjutkan acara makannya dengan roti yang masih tersisa di tangannya. Sebenarnya di kulkas masih banyak bahan yang masih bisa digunakan untuk memasak, namun Lea tidak bisa melakukannya. Bahkan sekadar untuk menggoreng sosis pun, dia ketakutan karena minyak panas yang nantinya bisa saja mengenai kulitnya.

"Intinya, kalau gue punya restoran, gue bakal pamer ke orang-orang," kata Lea dengan mulut yang penuh dengan makanan.

Uhuk ... uhuk ... uhuk

"MAKANNYA KALAU MAKAN DIAM! GAK USAH BANYAK OMONG!"

Meskipun ucapan suaminya itu benar, tetap saja dia merasa jengkel. Lagi pula, mengapa Milo mendengar perkataannya, sedangkan cowok itu sedang berada di kamar. Indera pendengaran cowok itu memang tajam seperti silet.

Arranged Marriage With My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang