#Chapter 26

20.2K 523 2
                                    

Happy Reading

Sebuah kendaraan beroda empat berhenti tepat di depan gerbang utama SMA Brawjiaya School. Tak lama kemudian, tampak seorang gadis dengan rambut poninya keluar dari mobil tersebut menjinjing tote bag serta plastik hitam.

Anatasha berjalan menyusuri koridor sekolah sambil bersenandung kecil. Sesekali dia tersenyum ketika ada yang menyapanya. Dia dikenal sebagai gadis yang ramah pada siapapun, termasuk pada musuh-musuhnya.

Langkah kakinya terhenti ketika melihat sosok manusia yang memiliki postur tinggi tengah mengintip seseorang dari balik jendela dengan tas ransel miliknya yang dibiarkan menggantung di sebelah kanan.

Dia mendekat kearah gadis itu dengan langkah yang mengendap-endap agar tidak ketahuan. Baru saja dia akan mengejutkan temannya, namun sangat di sayangkan, karena Bulan lebih dulu menyadari kehadiran dirinya.

"Bawa apaan tuh?" tanya Bulan sambil menunjuk sesuatu yang dijinjingnya.

"Oh ini?" Anatasha mengangkat tote bag dan plastik. "Nyokap baru pulang dari Yogya, terus nitipin oleh-oleh buat teman-teman sekelas."

Anatasha mengernyitkan dahi bingung ketika temannya ini tertawa tanpa penyebab. Dia meletakkan punggung tangannya di kening Bulan, mengecek apakah suhu tubuhnya panas atau tidak. Jikalau iya, dia akan membawanya ke rumah sakit jiwa.

"Gue kira plastik itu dagangan lo," kata Bulan.

"Sumpah gak lucu," kata Anatasha, savage.

Mereka melanjutkan langkahnya untuk tiba di kelas.

"Kok ramai banget ya, Na?" kata Bulan.

"Ih iya, tumben banget. Kira-kira ada apa ya. Lihat yuk, Lan," balas Anatasha.

Hanya ada satu kemungkinan saat melihat situasi dan kondisi saat ini, yaitu Lea tengah berkelahi dengan kakak kelas atau pun teman seangkatannya. Dengan wajah yang panik, mereka menerobos orang-orang yang berada disana. Namun, ketika dilihat? Mereka berbanyak mengucapkan istigfar.

Bagaimana tidak, Percuma saja mereka mendorong orang-orang untuk menyingkir, toh keramaian ini bukan disebabkan oleh perkelahian, melainkan Anji, si ketua kelas sedang bermain catur bersama Bobby.

"Gusti nu agung, simkuring nebak aya naon!" Perkataan Anatasha membuat Bulan melongo tak mengerti.

"Lo ngomong apa sih, Na? Pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar aja, kenapa sih," kata Bulan kesal, karena kejadian ini bukan sekali dua kali.

"Diam aja kalau gak tahu tempe mah," kata Anatasha.

"Maaf-maaf aja ya, hari ini gue gak bawa bekal tempe ataupun tau. Jadi lo jangan bikin gue ngiler," kata Bulan.

"Eits, nih gue bawa banyak tahu, tempe, ayam, lalapan, sama sambalnya, cukup lah buat lima orang. Jadi nanti siang kita makan barang. Ocre?"

"Lo sekarang udah ganti profesi?"

"Iya, hehe. Soalnya kemarin gue bawa belut goreng pada gak mau. Padahal enak banget."

Bulan menepuk dahinya.

...

Lea mencari keberadaan suaminya yang hilang bagai ditelan bumi. Lima menit yang lalu dia mendapat telepon dari mama mertuanya, beliau mengatakan ingin menitipkan Agatha pada mereka dikarena ada urusan mendadak dan tidak bisa membawa anak kecil.

Dia merasa sama sekali tidak terbebani dengan kehadiran gadis kecil nan manis itu. Walaupun wajahnya kelihatan tak peduli, terutama pada teman-temannya, namun jika berurusan dengan anak kecil wajahnya akan berubah dalam seperkian detik.

"Mil, kita disuruh mama buat ke rumahnya. Jagain Agatha," kata Lea mengikuti langkah suaminya memasuki kamar.

"Gue gak bisa udah ada janji sama orang lain, lo pergi aja sendiri. Nanti gue antar lo," balas Milo sambil membuka lemari berukuran besar.

"Tapi, ini perintah dari mama, lo mau jadi anak durhaka?" Lea masih berusaha, dia tidak akan menyerah sebelum janur kuning melengkung. Lagi pula Agatha itu adik Milo, masa iya dia tidak bisa menemani gadis kecil itu hanya sebentar saja bersamanya.

Milo memakai kaos polos ke tubuhnya, lalu menatap mata Lea lekat-lekat. "Ada urusan gue dan tolong sampaikan permintaan maaf gue karena gak bisa jagain Agatha," katanya.

"Ada yang lebih pentingkah dari adik lo itu?" kata Lea bertanya.

"Le, sebenarnya gue mau nemenin Agatha, tapi urusannya lebih penting dari apapun termasuk-"

"Termasuk keluarga lo?" kata Lea yang menyela perkataan suaminya.

"Kenapa ya, semua cowok itu sama. Sama-sama nyebelin!" Setelah berkata seperti itu, dia mengambil sling bag, lalu melangkahkan kaki keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Bisa-bisanya Milo lebih mementingkan urusan yang lain dibandingkan orang terdekatnya.

Lea menghembuskan nafasnya. Percuma saja dia berusaha sekeras apapun. Toh, dia bukan siapa-siapa bagi Milo. Hanya saja status yang mengikat mereka ke dalam hubungan ini. Hubungan yang tak pernah diinginkan keduanya.

Begitu sebuah taksi akan melintas di depannya, buru-buru Lea melambai-lambaikan tangannya supaya kendaraan itu berhenti. Kemudian, dia masuk ke mobil tersebut dan mengarahkan supir untuk tiba di rumah mertuanya.

Tak butuh waktu lama, mobil yang ditumpangi Lea telah sampai di rumah besar. Pintu pagar yang menjulang tinggi dibuka dari dalam. Dia menundukkan kepalanya seraya tersenyum pada pembantu yang bekerja disana.

"Dari tadi nyonya udah nunggu," kata pembantu itu.

"Baiklah," balas Lea.

Pintu baru saja terbuka, Agatha sudah berlari kecil ke arahnya. Entah mengapa hatinya terasa lebih nyaman berdekatan dengan gadis itu. Dia merasa Agatha adalah teman hidupnya walaupun mereka kenal tidak terlalu lama.

"Mau minum apa?" tanya pembantu.

"Apa aja yang penting bukan air keran, air kencing, air sumur, air got, air kali, air-"

"Lucu, pantes aja nyonya milih eneng jadi menantunya. Udah cantik, baik, ah idaman banget," kata pembantu yang menurut Lea berlebihan.

"Bi, saya itu udah lucu dari kecil. Bahkan ya, bi, dulu teman saya pernah nyuruh untuk masuk stand up comedy. Parah banget kan," kata Lea.

Pembantu itu hanya terkekeh, lalu mengambil air minum untuknya. Kebetulan dari tadi dia menahan haus.

"Mama kamu kemana?"

"Di kamar. Lagi pakai yang merah-merah disini." Agatha menunjuk bibirnya.

"Atha gak mau pakai? Cantik loh," kata Lea menggoda gadis itu.

"Kata mama, Atha gak boleh pakai yang kayak gitu. Nanti mati," kata Agatha dengan wajah polosnya.

Tangannya terulur untuk mencubit pipi Agatha yang cabi. "Ah tambah sayang," kata Lea.

Agatha memoyongkan bibirnya berniat untuk mencium pipinya. "Kata mama kalau ada yang yang bilang sayang sama Atha harus dicium."

"Eh anak mama udah datang," kata Resa, "Milo mana?"

"Ada urusan penting dan Milo juga minta maaf gak bisa nemenin Agatha," jawab Lea.

"Anak itu!" geram Resa. "Kadang mama pusing tau kenapa punya anak kayak dia. Dia tuh lebih mentingin usahanya."

"Usaha?"

"Ah, lupakan. Oh iya, nanti kalau mau makan minta bibi aja dan ini uang untuk jajan kalian. Mama pergi dulu ya, buru-buru udah telat." Lea belum sempat menolak uang pemberian, namun mama mertuanya udah menghilang dari balik pintu.

Arranged Marriage With My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang