Kalistha's side
Hari ke hari pun terlewati. Waktu yang terus berjalan, menertawakan aku yang masih saja tak bisa berdamai dengan masa lalu.
Bagaimana bisa aku melupakannya jika sosoknya saja masih terus berusaha mengejarku. Meyakinkan aku untuk terus bertahan walaupun aku tau seberapa besar usaha ku dan dia hasilnya akan selalu sama.
Aku dengan keimanan ku dan dia dengan keimanan nya.
Perlahan aku mengacak rambutku lalu menutup muka ku. Menghela nafas berat. Kenapa hidup menjadi serumit ini?
Disela kekacauan pikiranku itu, tiba-tiba saja seseorang dibalik pintu mengetok.
Tok! Tok! Tok!
Membangunkanku dari berbagai macam masalah yang memenuhi pikiran.
"Masuk!" Perintahku.
Kemudian muncul lah sosok laki-laki berperawakan tinggi, agak kurus dan wajah pucat tapi-- tampan.
Segera aku menepis pikiran ku itu kemudian berusaha tersenyum padanya.
"Siang dok," sapa lelaki itu yang kemudian berjalan ke arahku.
Aku pun membalasnya. "Siang, silahkan duduk."
Dari data yang ku peroleh, lelaki bernama Choi Eunwoo itu duduk dihadapan ku dan menatap ku lesu.
"Choi--eunwoo ya?" Tanyaku. Sebagai jawaban dia hanya mengangguk. "Baiklah, kenapa eunwoo? Apa keluhan kamu?"
"Udah sekitar empat hari, saya mimisan terus. Nafsu makan saya juga berkurang. Bahkan berat badan saya turun 7 kilo. Malam hari juga saya selalu muncul keringat dok. Dan kepala saya sangat sakit."
Mendengar keluhan yang Eunwoo alami. Aku menulisnya lalu setelah aku analisis, aku terkejut. Lalu menanyakan lagi padanya.
"Persendian belakang sakit?"
Ia mengangguk pelan. Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Rasanya setiap kali mendiagnosa aku tak pernah tega jika mengetahui penyakit tiap-tiap yang diderita.
Untuk lebih pastinya, aku masih melanjutkan pertanyaan.
"Kamu punya anemia?" Tanyaku dan parahnya lagi dia menganggukkan kepalanya.
"Yakin? Udah cek darah?"
"Udah dok."
"Kapan?"
"Sekitar-- seminggu yang lalu."
Aku menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. Semoga dugaan ku salah. Aku begitu iba padanya.
"Baik, ayo diperiksa dulu." Aku beralih dari duduk ku dan mempersilahkan Eunwoo untuk tiduran diatas kasur pasien.
Pertama, aku mengecek matanya, kemudian aku melihat bibirnya yang begitu pucat. Kedua aku akan mengecek bagian badannya.
Namun sebelumnya aku meminta maaf terlebih dahulu. "Maaf, saya buka ya."
Eunwoo mengangguk dan akupun menyibak ke atas kaosnya itu. Sehingga memperlihatkan bagian perutnya. Tidak bertele-tele, aku langsung menuju ke bagian letak hati. Saat dilihat memang agak menonjol namun belum begitu terlihat.
Saat aku tekat menggunakan stetoskop, rasanya agak keras dan Eunwoo tampak kesakitan.
"Maaf, sakit?" Tanyaku yang kemudian menatapnya.
"Iya sakit," jawabnya.
Baiklah, pemeriksaan fisik pun selesai. Aku menutup kaosnya kembali lalu kembali duduk. Pertanyaan yang ia katakan tentang anemia benar. Karna kulitnya yang pucat dapat dilihat secara langsung. Kemudian aku kembali menuliskan gejala yang baru saat aku mendiagnosa.
Tahap berikutnya aku segera mengatakan padanya. "Saat ini, saya belum bisa benar-benar memastikan penyakit apa yang kamu alami tapi dari hasil diagnosa barusan dan juga keluhan yang kamu katakan, kamu-- mengidap penyakit leukimia atau kanker darah."
Bahkan aku yang mengatakannya saja tak sanggup. Rasanya malah ingin menangis. Tapi melihat reaksi lelaki dihadapanku itu, ia malah seperti sudah mengetahuinya. Ekspresinya biasa saja. Malahan ia tersenyum tipis sembari mengangguk.
"Tapi sebelumnya, alangkah baiknya untuk tes darah terlebih dulu. Agar bisa lebih akurat lagi."
Aku kembali menatapnya namun aku mendapati pemandangan menyedihkan. Eunwoo menunduk kemudian menutup wajahnya. Menyembunyikan rasa sedihnya.Sangat jelas aku tak tega padanya. Aku begitu yakin ia pasti akan sulit menerima kenyataannya. Bahkan ini terbilang berat.
Segera aku memegang pundaknya tanpa segan kemudian mengusapnya. Menyalurkan rasa tenang padanya. Sebagai seorang dokter, aku harus memberikan dukungan padanya untuk berjuang.
"It's okay to be crying. But then you have to fight for your life. Okay Eunwoo?"
Tanpa di duga-duga, Eunwoo bangkit dari duduknya kemudian menghampiri ku dan memelukku begitu erat.
Aku sangat kaget karna-- dia memelukku secara tiba-tiba. Padahal niat ku hanya untuk menyalurkan rasa tenang padanya. Apa aku terlalu berlebihan sehingga dia terbawa perasaan? Ya Allah bukan seperti itu maksud ku.
Tadinya aku hanya terdiam tetapi saat Eunwoo menangis kuat dipundakku, akupun berusaha menenangkannya dengan menepuk-nepuk pelan punggungnya.
Disela-sela tangisnya, Eunwoo pun berbicara. "But I have no one."
Seketika aku semakin iba dibuatnya. Karna bagaimana bisa dia tidak memiliki siapapun? Bahkan keluarganya sekalipun?
"Where's your family?"
"They gone. My father died, my mother married again and leave me. I don't have sister and brother. I feel so lonely."
Hatiku langsung terenyuh saat tau betapa sedihnya dia harus menghadapi semuanya sendiri. Bahkan aku tak bisa membayangkan jika aku diposisi seperti dia yang tidak memiliki siapapun untuk dijadikan senderan.
Lalu dengan spontan, mulutku mengatakan sesuatu yang mungkin akan aku sesali setelahnya. "I will help you whenever you needs me."
Eunwoo melepaskan pelukannya kemudian menatap ku sendu. "Are you sure?"
Sudah terlanjur mengatakan, aku pun mengangguk sambil tersenyum. Semoga apa yang lakukan tidak salah.
"Thank you so much," Eunwoo kembali memelukku begitu erat.
Tetapi tiba-tiba saja, pintu ruangan ku terbuka kemudian menampilkan sosok yang sama sekali tidak pernah aku duga kehadirannya disini.
"Maaf udah menganggu."
Tbc
Yaudah kai sama aku aja yu?
KAMU SEDANG MEMBACA
La Differénce - Kim Jongin ✔
Fanfiction[Completed.] Perbedaan bukan perihal tak bisa bersatu, Tapi perihal seberapa besar keinginan mereka untuk bersatu.