Bab 5

3.3K 321 9
                                    

Pukul 10 malam dan kini mereka berada di kamar Gama dengan layar televisi yang menerangi, menampilkan salah satu film kartun kesukaan Laura. Setelah makan malam, tiba-tiba perempuan itu meminta Gama untuk menemaninya menonton film kartun, Gama yang juga sedang bosan, mengiyakan ajakan Laura. Dan di sinilah mereka sekarang, Laura menjadikan lengan Gama sebagai bantalannya, matanya menatap layar televisi serius. Toples yang berisi kue kering, mereka biarkan terbuka di meja depan. Ibu jari Laura memencet tombol berwarna merah pada remote televisi lalu berdiri setelah layar televisi berubah menjadi hitam. Dua menit terakhir, ia sudah mendengar Gama berkali-kali menguap.

Laura yang baru saja ingin pergi, lengannya ditarik oleh Gama, membuat perempuan itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh di pangkuan Gama.

"Kok udahan?"

"Lo udah ngantuk."

"Nggak, gue belom ngantuk."

Laura tertawa kecil. "Besok aja, gue mau pulang."

"Yaudah. Ayo gue anter."

"Nggak usah, rumah gue ke rumah lo cuma 5 langkah."

"Nggak, gue harus tetep nganter lo pulang."

"Yaudah, terserah."

Mereka berdua akhirnya keluar dari kamar Gama, pamit pada Ayah Gama yang masih sibuk dengan acara bolanya. Di depan pagar rumah Laura, Gama menahan lengan perempuan itu, membuat Laura mau tidak mau berbalik.

"Kenapa?"

Gama hanya diam membuat Laura tertawa kecil, ia mengalungkan kedua tangannya pada leher Gama, mengecup rahang Gama sebentar. "Malam, Gam."

"Malam, Ra."

Laura tersenyum lalu masuk ke kamarnya lewat jendela. Sedangkan Gama masih menatap jendela kamar Laura tanpa mau beranjak sedikit pun. 18 tahun berlalu, persahabatan mereka terjalin 18 tahun lamanya, tak ada dari mereka yang ingin melepaskan satu sama lain. Kadang, sesekali Gama takut, bukan, bukan takut Laura pergi meninggalkannya. Tapi ia takut, suatu hari nanti ia yang meninggalkan Laura sendirian dengan semua masalah yang perempuan itu hadapi. Satu permintaannya sebelum ia meniup lilin hingga mati, ia ingin Laura selalu berada di sampingnya hingga akhir.

Gama melirik sekilas rumahnya lalu membuka pagar rumah Laura, memasuki kamar Laura lewat jendela, lalu menguncinya.

Percayalah, Gama melakukan segala cara agar Laura tetap berada di sampingnya. Segala cara.

Seperti malam ini misalnya.

• • •

"Gam, tolong ambilin mangkok."

Gama membuka lemari rak piring dan mencari keberadaan mangkuk, karna tak ada mangkuk di dalam sana, Gama membawakan piring yang agak cekung pada Laura. Perempuan itu sedang sibuk membersihkan cumi. Tadi pagi-pagi sekali Laura bangun dari mimpinya, perempuan itu bilang ingin ke pasar, ia ingin masak untuk sarapan pagi ini. Walaupun lebih nyaman berada di kasur daripada ke pasar, Gama tetap bangun dari tidurnya, menemani Laura ke pasar dan kembali ke rumah dengan beberapa bahan yang akan Laura masak nantinya.

"Kok piring?" belum sempat Gama menjawab, Laura tersenyum tipis, "Mangkuknya abis ya?"

Gama hanya diam, tanpa mau menjawab Laura.

"Lama-lama semuanya abis kalo kayak gini mulu."

Gama berdecak. "Udah Ra, kita beli lagi nanti."

"Nggak usah Gam, percuma. Kalo dia dateng, semuanya bakalan dipecahin lagi sama dia."

Gama hanya menghembuskan nafasnya kasar. Tangannya meraih satu cumi dan mengikuti apa yang Laura lakukan. Setelah selesai, Laura mencuci semua cumi itu dan memasaknya. Gama hanya bisa membantu Laura jika perempuan itu membutuhkan bantuan. Dari arah pintu dapur, perempuan paruh baya muncul. Gama tersenyum lebar sembari mengiring perempuan itu duduk di kursi meja makan, menunggu apa yang Laura masak matang. Laura diam sembari mendengar apa yang mereka berdua bicarakan, sesekali Laura ikut tersenyum tipis mendengar Gama menceletuk aneh. Setelah selesai, Laura menyajikannya di meja makan dan sarapan pagi itu berjalan lancar. Laura jarang sekali makan satu meja bersama Mamanya seperti sekarang ini. Kalau bukan Gama yang mengajak, Laura tidak pernah mau.

Sarapan selesai, Gama membantu Laura mencuci piring dan berakhir duduk di teras belakang. Ponsel Gama berdering, menandakan ada pesan yang masuk. Gama menepuk dahinya pelan, ia lupa bahwa hari ini ia ada janji dengan temannya.

"Kenapa?"

"Gue lupa kalo hari ini Bundanya Jaja ulang tahun."

"Oh yaudah sana."

"Lo nggak mau ikut?"

"Nggak deh."

"Nggak pa-pa gue tinggal?"

"Nggak pa-pa Gama. Gue udah gede."

Gama bangkit dari duduknya, mengacak rambut Laura lembut. "Lo selalu kecil di mata gue."

Laura berdecak sembari memperbaiki rambutnya. "Udah sana."

"Gue nggak lama."

"Lama juga nggak pa-pa kok. Gue udah gede!"

Gama tertawa kecil mendengar jawaban Laura. Ia berlari kecil menuju rumahnya, setelah membersihkan tubuh dan berpakaian rapih, Gama melajukan motornya menuju rumah Reza. Di sana, Gama dan teman-temannya hanya membantu Reza menyiapkan acara. Meja-meja sudah tersusun rapih, lampu yang tergantung di pohon sudah siap dan orkestra yang mengiringi juga sudah siap. Acara dimulai, semua berjalan sesuai rencana, yang datang ke sana juga tidak sedikit. Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di meja paling depan sembari menikmati musik yang dimainkan di atas panggung. Mereka membahas apa saja, dari yang penting hingga yang sama sekali tidak penting. Ponsel Gama bergetar, nama Laura terpampang di sana. Setelah menjauh dari teman-temannya, Gama mengangkat telfonnya.

"Kenapa Ra?"

"Gama, orang itu dateng lagi."

Tanpa pamit, Gama langsung berlari keluar dari restoran itu, melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. "Ra, jangan dimatiin, stay with me."

Gama tambah menambah laju motornya ketika mendengar Laura menjerit di sebrang sana. Sambungan terputus membuat Gama bertambah panik. Sepanjang perjalanan, mulutnya tak berhenti memohon agar Laura baik-baik saja. Dari gerbang perumahan Gama bisa melihat pagar rumah Laura terbuka lebar dan pintu rumahnya terbuka. Ia menghentikan motornya tepat di depan rumah itu, berlari masuk ke dalam. Gama mendapati Bundanya sedang memeluk Bunda Laura.

"Laura mana Bun?"

"Di kamarnya."

Buru-buru Gama pergi ke kamar Laura, membuka pintu itu panik. Ia mendapati Laura sedang duduk di sudut kamar bersama boneka besarnya. Tanpa banyak bicara, Gama menarik perempuan itu ke pelukannya, mendekapnya erat. Sedangkan Laura hanya bisa menangis tanpa suara, menahan sakit di pinggangnya.

"It's okay. Gama di sini."

Setelah menenangkan Laura, Gama sekarang sedang mengobati luka sayat di pinggang Laura. Awalnya Laura tidak ingin ikut campur seperti sebelumnya, namun saat mengetahui orang itu mabuk dan Laura lupa menyembunyikan pisau, orang itu menggunakan pisau. Berkat Laura juga Mamanya tidak ada luka akibat pisau tersebut. Gama mengobati luka itu sangat lembut, takut Laura kembali tersakiti. Dan Laura sendiri hanya diam dan sesekali meringgis. Selesai mengobati luka Laura, Gama menyimpan semua alat tadi dan duduk di hadapan Laura, mengusap pipi perempuan itu.

Laura menunduk, air matanya jatuh lagi. Dan Gama kembali mendekap Laura dalam pelukannya. Ini yang membuat Gama tak mau jauh-jauh dari Laura.

- 25 Juni 2019 -

-LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang