Bab 7

2.9K 280 4
                                    

"Jangan cemberut gitu dong."

"Gue takut Gam."

"Gue juga takut Ra, Tuhan maha membolak balikkan hati manusia."

Laura berdecak kembali sibuk dengan baksonya. Sedari pulang sekolah Laura hanya diam saja, itu yang membuat Gama merasa aneh. Tidak biasanya Laura diam-diam seperti ini kecuali di rumah. Biasanya satu mangkuk bakso dengan setengah botol sambal bisa mengembalikan mood Laura yang sedang rusak. Tapi kali ini bakso saja tidak cukup, perempuan itu masih saja diam-diam hingga di depan rumahnya. Laura yang kemarin-kemarin lebih memilih pergi ke rumah Gama, kali ini ia langsung masuk ke kamarnya lewat jendela setelah mengucapkan terima kasih. Gama mengetuk jendela Laura yang dikunci dari dalam.

"Ra, come on."

Air mata Laura turun setelah mengunci rapat-rapat jendelanya. Ia benar-benar takut akan kehadiran Tessa di sekolahnya. Perempuan itu, bisa melakukan segala cara agar mendapatkan apa yang ia mau, terutama Gama. Semenjak Tessa mengenal Laura, satu yang menjadi incaran Tessa dari hidup Laura, Gama. Dan Ayah Laura, itu adalah bonus untuknya. Setelah membersihkan tubuhnya dan mengganti bajunya, Laura duduk di sudut kamar, meletuskan bubble wrap yang selalu ada di kamarnya. Bukan hanya memikirkan tentang Tessa, pikiran Laura terbagi, ia juga memikirkan ucapan Rayyan tadi. Apa yang Rayyan lakukan hingga laki-laki itu bisa melihatnya bolak-balik toilet? Bahkan Rayyan sampai hapal berapa kali ia pergi ke toilet hari ini.

Dan tentang besok, entah apa yang akan ia lakukan. Lari dari Rayyan atau mengikuti mau laki-laki itu dan lari dari Gama.

Kali ini pintunya diketuk. Laura mengernyit bingung. Sepenting apapun itu, Mamanya sama sekali tidak pernah mengetuk pintu kamar Laura. Namun kali ini pintu itu diketuk. Ada apa? Pikiran Laura langsung ia buang jauh-jauh ketika mendapati wajah Gama setelah membuka pintu. Gerakan tangan Laura kalah cepat dengan kaki Gama yang sudah menahan pintu agar Laura tidak menutupnya. Gama masuk ke dalam kamar dan menaruh sekardus susu coklat di meja belajar Laura.

"Masih ngambek? Gue udah nyogok padahal."

Laura buru-buru pergi ke ranjangnya, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Sedangkan Gama tertawa kecil melihat tingkah laku Laura. Ia duduk di samping Laura, menusuk-nusuk pundak perempuan itu yang dilapisi oleh selimut.

"Udahan dong marahnya. Nggak enak tau," tak ada jawaban membuat Gama menghembuskan nafasnya kasar, "yaudah lo mau apa?"

"Laura mau Gama."

Gama tertawa kecil. "Iya, Gama milik Laura sepenuhnya."

Laura membuka selimut yang menutupi wajahnya, ia menatap Gama dengan mata yang memicing. "Tuhan maha membolak balikkan hati manusia, Gam."

Gama tersenyum, ikut masuk ke dalam selimut yang Laura bentangkan. "Tapi bukan sekarang."

• • •

Laura membulatkan matanya sempurna ketika mendapati Rayyan sedang berdiri di depan kelasnya, menunggunya keluar dari sana. Pasalnya, seluruh teman kelasnya sudah pulang dan sisa Laura yang berada di dalam sana. Jika Gama melihat, bisa panjang urusannya. Laura buru-buru menarik lengan Rayyan menuruni tangga setelah melirik kelas Gama yang pintunya masih tertutup rapat. Laura melepaskan lengan Rayyan ketika sudah di tempat yang menurutnya aman.

"Lo ngapain di depan kelas gue? Kalo Gama liat, bisa ribet urusannya."

"Kan gue mau nemenin lo ke rumah sakit."

Kalau sudah begini, Laura tidak bisa menolak.

"Yaudah, ayo."

Laura kira Rayyan kalem dan sedikit dingin. Tapi sepanjang perjalanan tadi Rayyan tak henti-hentinya berbincang dengannya. Rayyan selalu mencari topik baru ketika percakapan mereka akan selesai. Hingga sekarang, mereka sedang mengantri menunggu giliran di kursi tunggu, Rayyan masih berusaha lebih dekat dengan Laura. Nama Laura dipanggil membuat Laura bangkit dari posisinya. Rayyan yang tadinya ingin menemani Laura kembali duduk di kursinya ketika Laura keras kepala bisa sendiri. Setelah mengajukan gejala-gejala yang ia rasakan dalam 2 bulan terakhir ini, ia disuruh menunggu lagi.

"Apa kata dokter?"

Laura mengangkat bahunya. "Nggak tau, dokter nyuruh tes darah sama biopsi sumsum tulang. Buat apa?"

Rayyan hanya diam. Tak lama kemudian nama Laura dipanggil. Setelah melakukan tes darah dan biopsis sumsum tulang. Laura tau apa penyakitnya saat itu juga. Ia juga tau mengapa ia sering mimisan, kepalanya pening dan berat badannya turun. Semua seperti mimpi baginya. Tentang Tessa dan tentang penyakitnya ini. Laura keluar dari ruang pemeriksaan dengan selembar map di tangan kanannya. Ia mendekati Rayyan tanpa mengatakan apapun. Dan Rayyan sendiri hanya diam tanpa mau bertanya, tanpa bertanya pun, Rayyan sudah tau jawabannya, gejalanya memang sudah terlihat dari jauh-jauh hari, itu yang membuat Rayyan ngotot menyuruh Laura periksa ke rumah sakit.

Di parkiran, Rayyan memberikan helmnya pada Laura. Laura menerima helm itu dengan senyuman tipisnya. Mengingat perkataan dokter tadi, kedua kaki Laura seakan lemas. Tubuh Laura ambruk di parkiran rumah sakit, air matanya jatuh begitu saja. Sedangkan Rayyan berjongkok di hadapan Laura, mengusap bahu perempuan itu lembut.

"Semuanya cuma mimpi, kan?" Laura menatap mata Rayyan, "cuma mimpi kan, Yan?"

"Ra gue—"

Isakan Laura semakin terdengar membuat Rayyan bingung harus melakukan apa. Jauh di dalam hati kecil Rayyan, jujur, Rayyan ingin sekali memeluk perempuan ini dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tapi semua orang tau bahwa Laura milik Gama dan begitu pula dengan sebaliknya.

Setelah berhasil menenangkan Laura dengan sekotak susu coklat, akhirnya Rayyan mengantar Laura pulang. Di depan rumah Gama, laki-laki itu sedang menunggu Laura pulang sembari bermain basket. Bolanya ia biarkan melantang begitu saja saat mendengar suara motor berhenti di depan rumah perempuan itu. Buru-buru Gama mendekati Laura yang baru saja turun dari motor.

"Tumben nganterin Laura pulang, Yan?"

Rayyan tersenyum tipis. "Iya, tadi ada urusan bentar sama Laura. Gue duluan, Gam."

"Iya, hati-hati."

"Makasih Yan, hati-hati," ucap Laura setelah mengembalikan helm laki-laki itu.

Laura masuk ke kamarnya melewati jendela, Gama mengikut di belakang. "Darimana aja sama Rayyan?"

"Kumpul sama anak OSIS, bahas acara perpisahan."

"Kok Jihan nggak tau? Padahal Jihan juga anak OSIS."

Laura terdiam. Ia baru ingat Jihan, teman sekelas Gama adalah anak OSIS.

"Jihan ada kok tadi."

"Tumbenan mau dianter pulang sama Rayyan?"

Laura berdecak, ia berbalik menatap Gama. "Gam, gue capek. Nanti aja ya nanya-nanyanya?"

"Nggak ada yang lo sembunyiin dari gue kan, Ra?"

Laura terdiam, sesaat kemudian ia terkekeh. "Nggak ada Gam, gue cuma capek."

Gama mengangguk lalu tersenyum. "Iya, lo pasti cerita kalo ada apa-apa. Yaudah, lo istirahat."

Laura mengangguk, ia mendekati Gama, mengalungkan kedua tangannya pada leher laki-laki itu dan mengecup rahang Gama sebentar. "Selamat malam, Gama."

"Malam, Laura."

Setelah Gama keluar dari kamar itu, tubuh Laura langsung ambruk, air matanya kembali keluar tanpa izin darinya.

- 4 Juli 2019 -

-LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang