Sedari tadi pagi kepala Laura pening, entah kenapa, padahal tadi pagi ia tak melewatkan sarapan seperti yang Dokter sarankan kemarin. Tapi Laura tetep kekeuh ingin mengikuti pelajaran walaupun di sepanjang penjelasan dari guru materinya tidak ada yang masuk. Sudah berkali-kali teman sekelasnya menyuruh Laura untuk beristirahat di UKS saja, perempuan itu tetap menolak. Bukan apanya, jika Gama tau, laki-laki itu akan marah besar padanya. Apalagi tadi pagi Laura berangkat sendiri, lari dari Gama. Entahlah, setiap melihat wajah laki-laki itu, hati Laura seakan teriris-iris.
"Ra, Rayyan nyariin."
Laura mengangguk. Ia berusaha berjalan ke arah pintu tempat Rayyan berdiri. "Kenapa?"
"Obat lo."
Rayyan memberikan sebungkus obat-obatan yang Laura titipkan di tasnya kemarin, Laura takut Gama membongkar isi tasnya dan menemui obat-obatan itu di tasnya. Jadi selembar map dan sebungkus obat itu Laura titip pada Rayyan.
"Makasih Yan."
"Lo udah makan?"
"Udah."
"Yaudah minum dulu obatnya. Muka lo pucet."
"Iya."
"Ada kan airnya?"
Laura tersenyum lebar. "Nggak ada."
"Yaudah tunggu, gue beliin."
"Eh, nggak usah. Gue bisa sendiri."
"Yakin? Dengan jalan sempoyongan gitu?"
Laura tertawa kecil. Rayyan serba tau apa saja yang ia sembunyikan. "Nanti gue ganti duitnya."
Setelah Rayyan pergi, Laura kembali ke mejanya. Ia menidurkan kepalanya di atas meja, persis seperti yang ia lakukan sejak 2 jam yang lalu. Tak lama kemudian, Rayyan datang dengan sebotol air di tangannya. Laura membuka bungkusan obatnya lalu terdiam. Sial, ia lupa urutan obat yang harus ia minum, kapan dan berapa.
Rayyan yang melihat tingkah Laura hanya tertawa kecil kemudian mengambil alih semua obat yang berada di tangan Laura, membaca resep dokter yang tertempel di bungkusnya. Ia mengeluarkan 6 butir obat dari berbagai bungkusan dan memberinya pada Laura. Laura menatap obat yang Rayyan beri dengan tatapan memelas.
"Nggak bisa dikurangin Yan? Banyak banget."
"Nggak bisa, udah minum."
Laura berdecak. Pasalnya, obat yang ia minum ukurannya cukup besar. Laura pernah trauma ia dulu gagal meminum obatnya karna obat itu terlalu besar dan akhirnya ia tersedak.
"Coba pake ini."
Laura menerima buah apel dari tangan Rayyan sembari tersenyum lebar. "Sampe nyiapin apel saking maunya lo liat gue minum obat?"
Rayyan tertawa kecil. "Makan siang nanti bareng gue mau nggak?"
"Tumben ngajakin makan siang bareng?"
"Nggak pa-pa. Gue cuma mau ngawasin lo kalo lo bener-bener makan siang."
"Gue pasti makan siang Yan, gue bukan anak kecil yang harus diawasin."
"Laura, i know you, lo orang yang paling suka nunda-nunda makan."
"Iya, kalah lagi kan gue."
Laura melirik Rayyan sekilas. "Tentang penyakit gue, lo jangan bilang-bilang ya? Terutama Gama."
"Kenapa? Bukannya Gama harus tau?"
"Jangan sampe Gama tau, kalau pun dia akan tau, jadiin dia orang terakhir yang tau tentang penyakit gue."
"Iya, Laura."

KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.