Malam berikutnya, selesai makan malam, mereka berdua kembali berkutat dengan buku di depannya. Malam-malam sebelumnya, Rayyan pulang dari rumah Laura selalu lewat dari jam 11 malam, Laura jadi takut laki-laki itu ada apa-apa di jalan. Tapi Rayyan juga keras kepala dan kembali ke sini malam ini.
Tentang Gama, Laura menghindar dari laki-laki itu. Setiap mendapati Gama di koridor yang akan Laura lewati, Laura lebih memilih lewat koridor lain walaupun harus memutari sekolah. Alasannya, Laura takut perasaannya yang dulu kembali, sedangkan dia sedang berusaha membuka hatinya untuk Rayyan. Selama ini Gama juga sama sekali tidak mencoba menghubunginya, bahkan Laura sampai rela menunggu Gama menghubunginya.
Laura bangkit dari duduknya, menghampiri Rayyan yang duduk di kursi teras depan. Laura duduk di samping Rayyan, memeluk pinggang laki-laki itu erat. Rayyan sendiri tersenyum, melingkarkan tangan kanannya pada bahu Laura dan sesekali mengusap rambut perempuan itu.
"Aku mau ketemu keluarga kamu dong."
"Kamu bisanya kapan? Bunda udah nanyain kamu."
Laura membulatkan matanya. "Serius? Kok Bunda kamu bisa tau aku?"
"Setiap hari topik pembicaraan sarapan kita kamu, Ra."
Laura tersenyum lebar. "Besok boleh nggak?"
"Boleh."
Ke-esokan harinya selesai Ujian, Laura benar-benar dibawa ke rumah Rayyan oleh laki-laki itu. Laura menatap rumah mewah di depannya dengan jantung yang berdetak tidak normal. Rayyan turun dari motornya, menaruh helmnya di motor lalu mengacak rambutnya lembut sembari menatap Laura. Laura menelan salivanya pelan, rumah mewah seperti ini, hasil apa? Benar-benar, seharusnya Rayyan mencari perempuan yang lebih darinya.
Laura takut, kedua orang tua Rayyan tidak memandangnya karna berbeda kasta. Laura yang tinggal di kontrakan dan Rayyan yang tinggal di rumah mewah bak istana. Rayyan bagaikan Pangeran dan Laura pembantu di istana tersebut.
"Ayo," Rayyan mengenggam tangan Laura.
Tapi Laura langsung menarik kembali tangannya. "Yan, aku mau pulang aja."
"Kenapa?"
"Aku takut," jawab Laura dengan suara kecilnya.
Rayyan tertawa kecil. "Orang tua aku nggak gigit kok Ra."
"Ih, bukan itu! Ayo kita pulang aja—"
"Eh, Rayyan udah pulang? Dan ini? Pasti Laura. Sini sayang."
Dari arah pintu rumah Rayyan, berdiri wanita paruh baya yang sangat cantik. Tubuhnya terbentuk dan kulit wajahnya sangat terawat, rambutnya disanggul ke belakang. Apalagi pakaiannya, di rumah saja Bunda Rayyan pakai gaun, bagaimana jika ada acara besar. Benar-benar seperti Ratu kerajaan.
Laura menelan salivanya dengan susah payah, menatap Rayyan ragu. Rayyan tersenyum lebar sembari mengangguk. Laura berdecak, mencubit perut Rayyan sebelum mendekati Bunda Rayyan dan tersenyum, menyalimi Ratu kerajaan sopan.
"Oh ini yang namanya Laura, benar kata Rayyan, orangnya cantik."
Laura ditarik tangannya oleh Bunda Rayyan menuju ruang keluarga. Bunda Rayyan menceritakan tentang apa saja. Semuanya, perempuan itu mengatakannya pada Laura. Entah karna tidak enak atau bagaimana, Bunda Rayyan sama sekali tidak bertanya tentang kehidupan Laura. Malahan, Laura yang tidak enak karna menceritakan kehidupannya pada Bunda Rayyan sedangkan Bunda Rayyan sudah menceritakan segala-galanya pada Laura.
Di akhir cerita, Bunda Rayyan mengusap air matanya lalu mendekap erat Laura. Yang Laura dapat dari kejadian barusan adalah, Bunda Rayyan tidak seperti yang Laura pikir, bahkan Laura bisa merasakan Bunda Rayyan kesepian karna kedua anaknya laki-laki dan suaminya sibuk berkeliling negara membawa banyak orang. Apalagi Rayyan yang lebih mementingkan dirinya daripada berada di rumah. Kalau sudah seperti ini, Laura jadi tidak enak meminta Rayyan untuk menemaninya di rumah.
"Bun, udahan dong. Rayyan juga mau nge-date sama Laura."
Bunda Rayyan tertawa kecil, mencubit perut Rayyan sebelum meninggalkan mereka berdua di ruang keluarga. Rayyan duduk di samping Laura, tersenyum lebar menatap Laura. Sedangkan yang ditatap menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Segitu groginya," ujar Rayyan dengan senyuman gelinya.
"Sepanjang Bunda kamu cerita, aku susah nafas Yan."
"Tapi seneng nggak?"
"Seneng banget!"
Rayyan tertawa kecil mendengar jawaban Laura. Ia berdiri dan berjalan ke kamarnya, di belakang, Laura mengikuti langkah Rayyan hingga di ambang pintu kamar Rayyan, Laura menghentikan langkahnya, menatap kamar yang dua kali lebih luas daripada ruang tamu kontrakannya. Perlahan, Laura masuk ke dalam, mengitari kamar Rayyan dari sisi ke sisi. Langkahnya berhenti pada lemari yang berisi semua tokoh figuran Marvel.
Tapi ada yang lebih menarik daripada itu semua, foto Laura sedang tersenyum sembari mengangkat piala terpajang di sana. Tangan Laura mengambil bingkai foto itu, mengusapnya dengan ibu jarinya. Foto 2 tahun yang lalu sebelum kehidupan Laura benar-benar hancur. Piala ketika ia menjuarai lomba Volly se-Ibukota.
"Kok bisa?" Laura menunjukkan bingkai foto itu pada Rayyan.
Rayyan tersenyum sembari mengambil alih bingkai itu dari tangan Laura, mengusap foto itu dengan ibu jarinya. "Dua tahun yang lalu, nggak kerasa ya? Sekarang aku sama kamu bisa sedekat ini."
Laura tersenyum geli, ia beralih pada meja belajar Rayyan, duduk di kursi putar dan mulai membongkar apa saja yang berada di sana. Mulai dari laci palinh atas dan palinh bawah. Beberapa foto Rayyan sembari menunjukkan piala dan piagam dilihatnya.
Ah ya, dari semuanya, apa kekurangan yang bisa kalian liat dari sosok Rayyan? Jawabannya satu, tidak ada. Itu yang membuat Laura semakin minder bila berada di sisi Rayyan. Setelah selesai, ia menaruh semua foto itu ke dalam laci dan menutupnya. Laura memutar-mutarkan kursi itu hingga membuat Rayyan menegurnya.
"Ra, nanti kamu pusing."
Laura tidak mendengar, malah Laura mengencangkan putaran kursinya yang membuat Rayyan menghentikan kursi itu dengan kedua tangannya. Laura tersenyum ketika Rayyan mendekati wajahnya.
"Yan, Bunda udah—" Bunda Rayyan langsung menjauhi kamar Rayyan ketika melihat apa yang sedang terjadi di dalam, "sorry!"
Rayyan tertawa. "Ketauan deh kita."
Laura memukul bahu Rayyan pelan. "Itu Bunda kamu—"
Ucapan Laura terpotong karna ada sesuatu yang membungkam mulutnya sekilas. Laura tersenyum malu lalu mengikuti langkah Rayyan. Mereka berdua menuju dapur, Laura membantu Bunda Rayyan memasak dan Rayyan sendiri duduk di kursi meja makan melihat kedua wanita yang paling ia sayangi di dunia sibuk memasak. Makan malam selesai, Laura pamit pada Bunda Rayyan untuk pulang ke rumah.
"Sebentar, Tante panggilin Rayyan."
"Nggak usah Tante, Laura bisa pulang sendiri, lagian Rayyan kemarin-kemarin pulang malam terus dari rumah Laura."
"Nggak. Cowok mana yang biarin ceweknya pulang sendiri malam-malam?"
Laura terkekeh. Ternyata sikap Rayyan diturunkan langsung oleh Bundanya. Rayyan berlari kecil menuruni tangga dengan tas yang tersampir di bahunya.
"Bun, Rayyan anterin Laura dulu, sekalian belajar di sana."
Bunda Rayyan mengangguk. "Hati-hati sayang. Pakai mobil aja, kasian Lauranya udah malam."
"Baru juga Rayyan mau minta izin. Yaudah Rayyan pergi dulu Bun."
"Iya sayang."
Di perjalanan, Laura memeluk lengan Rayyan sembari tersenyum senang. "I'm so lucky to have you."
- 24 Juli 2019 -
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.