Pagi harinya, Laura keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam sekolahnya. Tanpa sarapan dan pamit, Laura menaiki motor Gama tanpa banyak bicara. Di sekolah, sikapnya berubah 360 derajat. Ia kembali menjadi ceria seperti orang yang sama sekali tidak memiliki masalah dan tidak mau diam. Seperti sekarang, Laura sedang berada di atas meja guru sembari mengangkat gagang skop sampah tinggi-tinggi. Ia mendekatkan ujung gagang skop sampah itu ke mulutnya, menjadikannya microphone.
"Baiklah teman-teman, hari ini saya akan membawakan lagu dengan judul Astuti!"
Seakan kegilaan Laura tertular, teman sekelasnya pada meneriaki Laura seakan-akan Laura adalah penyanyi populer yang diagung-agungkan dikalangan mereka. Bagi mereka, kelakuan seperti ini sudah biasa jadi mereka tidak kaget sewaktu-waktu Laura yang tubuhnya mungil dan wajahnya imut ini melakukan hal seperti ini. Malah bagi mereka Laura bukan Laura jika perempuan itu tidak melakukan hal-hal gila dalam satu hari mereka bersama Laura. Walaupun bukan kelas unggulan, kelas Laura terkenal dengan ke-solid-annya. Satu susah, semua susah. Satu bahagia semua bahagia. Itulah yang membuat Laura menjadi pribadi yang lain bila berada di lingkungan sekolah dan rumah.
"Tegangan cinta tak dapat dihindar lagi. Kala ku coba menyapamu Astuti," suara Laura menggelegar hingga ke sudut-sudut ruangan.
"Seakan meledak detak jantungku karenamu. Sesaat setelah ku kenal denganmu. Keringat panas dingin mulai menyerang. Ambisi dalam dada—"
Suara Laura terpotong ketika pintu kelasnya terbuka dan menampakkan wajah Gama yang sedang menatap Laura marah. Laura yang ditatap hanya tersenyum tidak bersalah lalu turun dari meja guru. Terdengar sorakan kecewa dari teman kelas Laura karna konser dadakan Laura terpotong akibat datangnya Gama. Gama sangat tidak suka bila Laura sedang konser dadakan seperti tadi. Pasalnya, Laura sangat tidak sadar bahwa dirinya adalah perempuan, dan dia bertingkah seakan laki-laki yang bisa berdiri di atas meja lalu berteriak seperti orang kesetanan.
"Ayo makan."
"Ayo!"
Mereka berdua berjalan beriringan menuju kantin, di perjalanan Laura tak henti-hentinya berceloteh panjang lebar yang hanya dibalas anggukan oleh Gama. Namun itu tidak membuat Laura sakit hati dan menghentikan ceritanya, Laura sudah kebal, ia tetap bercerita hingga Gama mengalihkan perhatian Laura.
"Mau makan dimana?"
Laura mengedarkan pandangannya kemudian kembali berbalik pada Gama. "Meja di pojok ada yang nempatin, kita balik aja."
Gama langsung meninggalkan Laura, menuju meja yang Laura tunjuk tadi. "Minggir."
"Gama, nggak sopan, kita cari meja yang lain aja."
Orang yang menempati meja itu terkekeh kemudian bangkit dari duduknya. "Nggak pa-pa kok Ra, kita juga udah selesai."
"Aduh, maaf ya."
"Nggak pa-pa Ra, santai aja."
Laura hanya tersenyum menanggapi, ia duduk di hadapan Gama, mencubit lengan laki-laki itu. "Aduduh, sakit beb."
"Lain kali nggak boleh gitu! Gue nggak suka ya lo ngusir-ngusir orang kayak tadi."
"Iya nggak lagi."
Gama bangkit dari duduknya, memesankan Laura makanan dan kembali dengan dua mangkuk bakso. Laura bertepuk tangan semangat kemudian menuangkan sambal ke mangkuknya hingga sambal yang berada pada tempatnya sisa setengah. Gama hanya meringgis melihat Laura yang sangat amat ganas jika menyangkut dengan sambal. Laura bisa saja menghabiskan satu tempat sambal kalau mau. Kadang Gama memohon pada Laura agar mengurangi porsi sambal di semua makanan yang akan Laura santap, tapi Laura tetap Laura yang keras kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.