"Obatin luka gue."
Setelah kejadian tadi, Bunda Gama hanya mendengar penjelasan dari Laura tanpa mau menghakimi. Ia tersenyum sembari mengusap punggung Laura, menyemangati Laura bahwa di dunia ini bukan hanya dia laki-laki. Dan di sinilah mereka sekarang. Di kamar Gama yang gelap dengan cahaya televisi yang menyinari. Sedangkan Bunda Gama sudah tertidur karna lelah setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam tadi dan Ayah Gama lusa baru bisa pulang. Laura memangku toples berisi makanan, matanya menatap televisi di depannya.
Laura melirik kotak P3K yang Gama sodorkan lalu kembali menonton televisi. "Gue nggak bisa."
Gama terkekeh, mengambil toples yang Laura peluk dan menggantikannya dengan kotak itu. "Sejak kapan mantan anak PMI nggak bisa ngobatin?"
Laura hanya menghembuskan nafasnya kasar lalu beralih pada kotak tersebut, mengeluarkan kapas dan menetesinya dengan obat merah. Perlahan Laura mengarahkan kapas itu pada luka di ujung bibir Gama. Pergerakannya sangat lembut, seakan-akan takut Gama tambah terluka. Bahkan Gama hanya memejamkan sedikit matanya sebagai respon lukanya yang sedang diobati tanpa mau meringgis. Luka memarnya, Laura beri salep dan buku-buku tangan Gama, Laura rendam di mangkuk yang berisi air dan es batu.
"Maaf Ra, padahal gue udah janji nggak akan berantem lagi sama lo."
"Iya."
Gama berdecak. "Jangan kalem gini dong. Ini bukan lo banget."
"Trus lo mau gue ngapain?"
"Marahin gue karna gue udah langgar janji gue sama lo."
"Besok aja, gue nggak mood."
Gama tertawa. "Hebat ya cewek. Masalah ginian aja pake mood-moodan dulu."
Laura tersenyum menanggapi, ia mengangkat tangan Gama dari mangkuk itu dan beralih mengompres tangan itu dengan es batu. Setelah selesai, Laura mengangkat semua alat yang ia pakai dan membawanya keluar dari kamar Gama. Saat kembali, ia duduk di samping Gama yang sedang sibuk dengan playstation-nya. Karna posisinya Laura lebih rendah jadi Gama menaruh kepalanya di bahu Laura. Sedangkan Laura sendiri sibuk dengan ponselnya. Merasa bosan, barulah Laura berhenti menatap layar ponselnya, melihat avatar yang Gama kendalikan di televisi. Inilah yang mereka lakukan.
Kalau bukan di rumah Laura, pasti di rumah Gama, tapi lebih dominan di rumah Gama. Mereka berdua tak pernah lepas, di rumah maupun di sekolah. Kemana-mana selalu berdua, bahkan ke supermarket di depan perumahan saja, Laura meminta Gama untuk menemaninya atau Gama sendiri yang berinisiatif untuk menemani Laura. Apalagi jika Gama atau Laura bosan berada di rumah karna yang dilakukan hanya itu-itu terus, Gama tak pernah mengeluh menemani Laura jalan-jalan walau hanya mengelilingi Mall tanpa tujuan yang jelas, begitupun sebaliknya.
Laura berdiri, membuat kepala Gama yang tadinya menyender jatuh begitu saja. "Mau kemana?"
"Pulang."
"Nanti aja, maleman dikit."
"Yaudah."
Laura mengikuti perintah Gama yang pulang maleman dikit. Malam versi Gama itu jam 2 dinihari sedangkan sekarang sudah jam 12, tapi Laura masih saja mengamati Gama bermain tanpa ada niatan untuk bermain bersama.
"Gama temenin Laura beli susu."
"Ayo!"
Tak ada penolakan, tanpa ada tunggu-tunggu, Gama langsung beranjak dari duduknya tanpa menghiraukan game yang ia mainkan, mau itu kalah atau menang nantinya. Gama memberikan jaket hoodienya pada Laura sedangkan ia memakai jaket dan celana pendek rumahan. Mereka berdua berjalan di tengah-tengah jalanan perumahan yang sepi. Hanya sinar bulan yang dibantu oleh lampu jalanan menerangi mereka malam itu. Gama mengambil tangan kiri Laura, mengenggamnya kemudian memasukkan tangan mereka ke saku jaketnya.
Sesampainya di supermarket, Gama menunggu Laura di luar, duduk sembari mengamati jalanan besar depan perumahan yang masih ramai. Tak lama kemudian, Laura keluar dengan susu coklat di tangan kanannya. Perjalanan pulang, Gama melakukan hal yang sama mengenggam kemudian memasukkan kedua tangan mereka di saku jaket Gama. Sesekali Laura menyodorkan susu coklatnya pada Gama yang dibalas gelengan oleh laki-laki itu. Tapi karna tak mau menyakiti hati Laura saja, Gama pura-pura meminum susu yang Laura sodorkan, padahal ia hanya menyentuh sedotan tanpa mau menghisapnya.
Di depan pagar rumah Laura, mereka berhenti. Gama melihat mobil yang terparkir di halaman rumah Laura lalu menatap perempuan yang masih sibuk meminum susu coklatnya sembari melihat mobil itu dengan tenang.
"Lo nginep aja gimana?"
Tak ada respon, Laura lebih memilih menghabiskan susunya terlebih dahulu lalu menjawab pertanyaan Gama. "Nggak usah Gam."
Laura membuka pagar rumahnya sedangkan Gama cemberut sembari merengek pada Laura. "Ra, nginep di rumah gue aja ya?"
Laura tertawa kecil ia kembali mendekati Gama, berjinjit lalu melingkarkan kedua tangannya di leher laki-laki itu, mengecup garis rahang Gama. "Malam, Gam."
"Laura."
Laura kembali berbalik. "Apa Gama?"
Laura memejamkan matanya sebentar ketika mendengar teriakkan yang diikuti pecahan piring dari dalam rumahnya. Ia mendorong tubuh Gama yang lebih besar dari tubuhnya menuju rumah laki-laki itu. Laura membuka pagar, mendorong Gama memasuki halaman rumah Gama lalu menutup pagar. Tapi lengan Gama kembali menahan pagar yang ingin Laura tutup.
"Gama," tegur Laura dan Gama langsung menyingkirkan tangannya dari pagar itu.
Laura berlari kecil menuju rumahnya, saat menutup pagar rumahnya, ia tersenyum geli ketika melihat Gama masih menatapnya dari sebrang sana. Laura melambaikan tangannya kemudian masuk ke dalam kamarnya lewat jendela yang selalu menjadi pintu dari rumahnya. Sedangkan Gama sendiri masih memperhatikan gerak-gerik Laura bahkan sampai perempuan itu sudah hilang di balik jendela. Gama menghembuskan nafasnya kasar semoga Laura bisa melewati malam ini tanpa luka sedikit pun.
Dan Laura sendiri sedang duduk di sudut kamarnya dengan boneka besar yang melebihi tubuhnya ia jadikan bantalan. Boneka besar itu pemberian Gama sewaktu ia berulang tahun yang ke-17. Saat itu Laura tau Gama susah payah menyisihkan uang jajannya demi membelikan Laura boneka besar ini. Katanya supaya ada yang menggantikannya menjaga Laura saat Gama tak berada di samping perempuan itu. Dan sekarang posisi Gama sudah digantikan oleh boneka besar itu. Laura bersandar di tubuh boneka itu, jemarinya sibuk meletuskan satu-satu bubble wrap yang ia dapatkan dua hari yang lalu saat paketnya datang.
Itu yang ia lakukan sembari mendengar teriakkan dari luar kamarnya yang sesekali diikuti dengan suara dari barang yang pecah. Matanya melirik ponselnya yang bergetar, menandakan ada pesan masuk. Pesan itu dari Gama. Tak lama kemudian Gama menelfonnya tapi yang Laura lakukan hanya menatap ponselnya tanpa mau menjawab panggilan dari Gama.
Setengah jam kemudian, suara itu menghilang dan ia juga sempat mendengar suara mesin mobil menjauh dari rumahnya. Laura beranjak dari posisinya, keluar dari kamar dan membersihkan semua kegaduhan yang terjadi tadi. Untung kali ini barang yang dihancurkan hanya sedikit, jadi ia tidak perlu repot-repot membersihkan hingga mengambil waktu tidurnya.
Laura berdecak. "Yaudah sih Mah nggak usah nangis. Mamah yang salah nggak mau ninggalin orang gila kayak dia."
"Apalagi sih yang Mamah tunggu? Dia nggak akan berubah Mah, sadar."
- 9 Juni 2019 -
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.