Pagi harinya, Laura bangun dengan tubuh yang rasanya akan remuk. Laura menuruni tangga, menghampiri Bunda Egha dan Eyangnya yang sibuk membuat kue untuk toko kue Bunda Egha di depan perumahan. Laura yang baru saja bangun langsung membantu Bunda Egha dan Eyangnya, sesekali Laura memakan kue kering yang baru saja keluar dari oven.
Dan beberapa kali juga Laura dimarahi oleh Eyangnya. Laura memasukkan seloyang kue kering ke dalam oven, tak lama setelah itu, Irish terbangun dari tidurnya dan duduk di salah satu kursi meja makan. Sudah lama sekali Laura tidak melihat Irish. Terakhir sewaktu hari raya 4 tahun yang lalu dan sekarang Irish sudah banyak berubahnya. Sesekali Laura mengambil kue kering yang berada di toples dan memakannya bersama Irish.
Bel rumah Egha berbunyi, membuat Laura langsung bangkit dari duduknya. "Biar Laura aja."
Saat pintu rumah belum terbuka sepenuhnya, Laura sudah menutupnya kembali ketika melihat siapa yang berada di balik pintu tersebut.
"Ra, buka dulu."
Laura berdecak, ia kembali ke dapur dengan wajah ditekuk. Pagi-pagi begini kenapa sih orang itu harus datang dan merusak moodnya? Lagipula, darimana ia bisa mengetahui rumah Egha?
Ah, Laura baru ingat, karna tadi malam. Pagi ini, memangnya orang itu tidak ke kampus? Kenapa sih harus ke sini dan merusak moodnya? Suara bel kembali terdengar membuat Bunda Egha yang bangkit, walaupun Laura sudah melarangnya, Bunda Egha tetap membukakan pintu untuk orang itu. "Ternyata Rayyan."
Laura menghembuskan nafasnya kasar lalu pergi dari dapur begitu saja. Sedangkan Eyang tersenyum tipis. "Kamu nggak kuliah Yan?"
"Nanti jam 10 Yang."
Eyang mengangguk. "Susulin sana Laura, kamar sebelah kanan, pintu warna putih."
"Makasih Yang."
Rayyan berlari kecil menaiki tangga, mengikuti apa yang Eyang tunjukkan tadi. Rayyan memasuki kamar itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Laura yang sedang berbaring di ranjang sembari memainkan ponselnya langsung menghembuskan nafasnya kasar ketika melihat siapa yang datang.
Rayyan menutup pintu sepelan mungkin lalu mengusap tengkuknya canggung. Ia sudah sadar kesalahannya kemarin. Seharusnya ia mengiyakan saja apa yang Laura katakan. Apalagi Laura mengatakan semuanya sesuai dengan kenyataan, hanya saja Rayyan yang tidak mau terima. Padahal kemarin Rayyan ingin memeluk Laura sangat lama, tapi keinginannya ia redam karna ego-nya sendiri.
"Maaf Ra. Iya, aku yang salah. Yang kamu bilang itu kenyataan, aku aja yang nggak mau disalahin."
Mendengar suara lembut Rayyan, hati Laura jadi luluh. Apalagi ketika Zion tadi malam mengantarnya pulang memakai mobil, Rayyan mengikuti dari belakang menggunakan motor, rela menembus angin malam demi memastikan Laura pulang dengan selamat.
Laura bangkit dari posisinya, duduk di pinggir ranjang lalu merentangkan kedua tangannya. "Aku juga minta maaf, aku terlalu kasar kemarin."
Rayyan tersenyum kecil, mengecup kening Laura.
Laura tersenyum tipis. "Kamu nggak ke kampus, Yan?"
"Nanti jam 10."
"Kamu udah makan?"
"Udah. Nanti malam, kita jalan-jalan mau nggak?"
Laura mendonggak sembari mengangguk cepat. "Mau!"
Sesuai apa yang Rayyan katakan tadi pagi, sebelum matahari tenggelam, Rayyan sudah siap dan kini sedang menunggu Laura di ruang keluarga rumah Egha, berbincang dengan Bunda Egha dan Eyang. Laura berlari kecil menuruni tangga lalu duduk di samping Rayyan, lalu pamit pada Bunda Egha dan Eyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.