"Astaga! Gue kira siapa."
Laura mengelus dadanya ketika berbalik dan mendapati Gama yang sedang tersenyum ke arahnya. Pasalnya, ia baru saja keluar dari kamar mandi lalu bercermin, dan Gama tiba-tiba muncul di kamarnya, masuk lewat jendela.
"Katanya mau peluk?"
Laura tertawa kecil. "Gue pake baju dulu."
"Oke."
Gama berbaring di kasur Laura, menenggelamkan kepalanya di bantal, menunggu Laura selesai berpakaian. Laura tersenyum geli lalu membuka lemarinya, mengambil selembar kaus oblong dan celana pendeknya. Laura sengaja diam walaupun ia sudah rapih sedari tadi. Ia menunggu Gama kehabisan nafas dan bangun dengan sendirinya. Tak lama setelahnya, Gama mengangkat kepalanya sembari mengambil nafas dalam-dalam.
"Udah belom?"
Laura terkekeh, ia berdiri. "Udah."
Gama tersenyum manis sembari merentangkan kedua tangannya menyambut Laura. Sedangkan Laura benar-benar memeluk Gama, saking rusuhnya, Gama sampai terjatuh ke belakang, untung saja di belakangnya ada kasur jadi tubuhnya tidak menghantam lantai.
"Gam sayang banget gue sama lo. Kalo bukan karna lo nggak tau lagi gue gimana. Cuma lo yang bisa ngertiin gue."
Gama terkekeh, mengusap rambut Laura lembut. "Berat banget lo."
"Sialan."
Gama tertawa senang ketika melihat wajah Laura yang cemberut. Ia mengusap pipi perempuan itu lembut, menarik Laura lebih dekat dengannya.
• • •
"Gama, temenin Laura beli susu."
"Ayo."
"Sebentar, keringin rambut dulu."
Laura berlari kecil menuju meja riasnya, duduk di sana sembari menyalakan pengering rambutnya. Dari belakang, Gama mengambil alih pengering rambut yang Laura pegang, membantu perempuan itu mengeringkan rambutnya. Sembari mengeringkan rambut Laura, mereka berbincang kecil. Dari dulu, yang ada dipikiran Laura adalah; bagaimana jika suatu saat Gama pergi darinya? Apa ia masih bisa menjalani hidupnya yang seperti ini? Sedangkan semangat hidupnya adalah Gama.
Gama yang merasa di tatap dari cermin, melirik Laura sekilas. "Kenapa?"
"Nggak pa-pa."
Setelah selesai, Gama mematikan alat pengering rambut lalu menaruhnya di meja rias Laura. Ia menyisir rambut Laura dengan sisir lalu mengusap rambut itu lembut. Gama menatap Laura dari cermin sembari tersenyum kecil, Laura cantik seperti biasanya. Ibu jari Gama mengusap pipi Laura yang membuat perempuan itu tertawa kecil lalu bangkit dari duduknya.
"Makasih Gam."
"Iya."
Mereka berdua berjalan bersama sembari menggumamkan lagu kesukaan mereka. Matanya menyusuri setiap rumah yang mereka lewati, tangan kanan Gama terulur menarik pinggang Laura saat perempuan itu jauh-jauh darinya. Kedua tangan Gama dimasukkan ke dalam saku, membuat Laura mengalungkan tangannya pada lengan Gama. Tangan kiri Laura tidak diam saja, melainkan menari mengikuti lantunan gumamman Gama. Jika dilihat-lihat mereka seperti sepasang kekasih yang cerita cintanya sangat diidam-idamkan oleh banyak orang. Nyatanya, semua ini hanya cara mereka menutupi semuanya agar terlihat baik-baik saja. Hanya belakangan ini sikap Laura berubah dan manja pada Gama seperti ini, sebelum-sebelumnya Laura malah sangat amat judes pada Gama. Jangankan memeluk Gama seperti tadi, Gama hanya menatap Laura sebentar, perempuan itu sudah marah-marah karna ditatap oleh Gama.
Melihat banyak laki-laki yang duduk di depan supermarket, Gama menyembunyikan Laura di belakang tubuhnya. "Apa lo liat-liat?"
Laura sendiri yang melihat laki-laki tadi pergi dari supermarket tersenyum geli. "Ih, Gama galak."
"Lo juga, kenapa sih pake celana pendek udah tau mau keluar?"
Laura hanya tertawa ketika Gama memarahinya seperti tadi. Ia masuk ke dalam supermarket, tak lama kemudian keluar dengan satu kotak susu coklat di tangan kirinya dan roti coklat di tangan kanannya. Laura duduk di hadapan Gama sembari memakan roti coklatnya, sesekali tangan Laura terulur memberikan Gama potongan roti. Gama sibuk dengan ponselnya sedangkan Laura sibuk memakan roti sembari menatap kendaraan yang melintas di jalanan. Kakinya yang menggantung, ia gerakkan.
"Gama."
Gama menaruh ponselnya di meja, menatap Laura. "Kenapa?"
"Gue mau ke taman."
"Tumben?"
Gama berdiri yang diikuti oleh Laura, Gama benar-benar memenuhi perkataan Laura. Mereka berdua ke taman kecil yang berada di ujung perumahan. Taman yang dulu menjadi tujuan terakhir mereka ketika selesai mengelilingi perumahan dengan sepeda. Dulu di taman itu banyak sekali anak-anak yang bermain, tapi sekarang kondisi taman masih seperti dulu, tanpa anak-anak di dalamnya. Laura tersenyum kecil sembari duduk di rumput, menyeruput susu coklatnya. Matanya menatap langit yang sudah mulai menguning. Gama ikut duduk di samping Laura, lama-lama paha Laura ia jadikan bantalan. Dari bawah sini, Gama mengamati garis wajah Laura dalam-dalam. Sudah lama ia tak menatap Laura dari dekat. Jari telunjuk Gama terulur menyentuh ujung hidung Laura dan berlanjut hingga garis rahang dan berhenti di dahinya, lalu Gama kembali menarik jarinya.
"Berat ya, Ra?"
"Nggak kok, kepala lo—"
"Bukan Ra. Maksud gue, ini semua. Berat ya?"
Laura yang tau arah pembicaraan Gama hanya tersenyum tipis tanpa mau menjawab. Laura memainkan rambut Gama dengan kelima jarinya, matanya masih menatap langit yang tak lama akan gelap. Gama bangkit dari posisinya, membersihkan celananya.
"Ayo Ra."
"Cepet banget? Matahari belum tenggelam."
"Angin malam nggak baik, lo nggak pake jaket."
Laura akhirnya mengalah dan ikut bangkit, Gama membersihkan belakang tubuh Laura lalu mengenggam tangan perempuan itu, berjalan meninggalkan taman. Sesampainya di depan rumah Laura, bukannya masuk, Laura memilih pergi ke rumah Gama tanpa izin dari pemiliknya. Laura membulatkan matanya ketika baru saja membuka pintu utama rumah Gama. Perempuan itu berlari menghampiri laki-laki paruh baya dengan seragam kerja yang masih melekat pada tubuhnya.
"New York bagus ya Om?"
"Bagus banget Ra, kalau nggak ingat kerjaan, Om lebih memilih tinggal di sana."
Laura tersenyum lebar. "Coba waktu itu Laura sama Gama bolos aja, Laura bisa liat deh sebagus apa New York."
Lima hari yang lalu, Laura ditawarkan untuk ikut ke New York oleh Ayah Gama. Tapi Laura menolak karna tidak enak dengan alasan ia sudah kelas 12 jadi tidak bisa mengosongkan absennya begitu saja. Gama juga yang awalnya ingin ikut, menolak karna Laura tidak ikut. Saat itu ia memikirkan siapa yang akan menjaga Laura bila dirinya tidak ada. Laura maupun Gama, di dalam hati kecil mereka, mereka sangat menyesali tidak ikut ke New York.
"Oleh-oleh Laura di koper hitam, oleh-oleh Gama tas biru, Om mandi dulu."
"Ih, kok Laura dapet oleh-oleh? Laura kan nggak minta Om!"
Ayah Gama hanya tertawa kecil sembari memasuki kamarnya. Sedangkan Laura hanya menatap koper hitam yang ukurannya tidak kecil dan juga tidak besar itu. Satu koper itu, isinya oleh-oleh untuknya? Laura tertawa kecil, Ayahnya saja tidak pernah memberinya oleh-oleh sebanyak ini, jangankan oleh-oleh, menyisihkan waktu untuk menemaninya sebentar saja, Ayahnya tidak sempat. Sedangkan Ayah Gama? Ayah Gama masih sempat-sempatnya memikirkan oleh-oleh untuk dirinya ketika berada di New York.
Laura menatap Gama yang baru saja datang dengan wajah sedihnya. "Gam, mimpi apa sih lo sampe punya Ayah kayak dia?"
Gama tertawa kecil, mengusap rambut Laura lembut. "Lo tau Ayah gue nggak suka penolakan."
"Tapi itu banyak banget."
"Ya, bagus dong?"
Tak sadar, Laura sempat meneteskan air matanya sebelum menatap Gama yang baru saja datang dari pintu utama.
- 17 Juni 2019 -
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.