Gama turun dari motornya sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya. Matanya melirik sekilas jendela kamar Laura. Rumah itu memang selalu terlihat sepi, tapi belakangan ini, rumah itu benar-benar sepi, seperti tak ada kehidupan di dalamnya.
Gama melangkahkan kakinya menuju kamarnya, setelah membersihkan diri dan berpakaian, ia menuruni tangga dengan berlari kecil melewati kedua orang tuanya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
Entah apa yang terjadi, malam ini Gama merasa sangat lelah, ia perlu rumahnya. Seperti biasa, Gama masuk melalui jendela dan betapa terkejutnya Gama ketika melihat barang-barang di sana tidak ada. Kamar Laura kosong. "Laura?"
Gama keluar dari kamar itu menuju ruangan lain yang berada di rumah itu. Kosong.
Dengan cepat, Gama berlari masuk ke dalam rumahnya, berdiri di hadapan kedua orang tuanya. "Bun, Laura pindah?"
"Iya Gam," jawab Ayahnya karna Bunda Gama sama sekali tidak ingin bersuara, takut emosinya naik.
"Kenapa nggak bilang sama Gama? Kenapa selama ini Bunda sama Ayah diam-diam aja?!"
Bunda Gama yang sedari tadi hanya diam kini berdiri, menampar pipi Anaknya keras. "Kemana aja kamu Gam? Laura pindah rumah, Mamanya meninggal, dan sekarang dia sakit! Kemana aja kamu?!"
Gama mundur satu langkah, tak percaya dengan apa yang Bundanya katakan. Jadi selama ini, dirinya kemana saja?
Ayah Gama berdiri, mengusap bahu istrinya lembut. Padahal seumur-umur Bunda Gama tidak pernah menampar Gama seperti ini, bahkan untuk memarahi Gama karna kesalahan yang anaknya perbuat, tidak pernah. Baru kali ini, Bunda Gama menangis di depan anaknya, membuka mata Gama bahwa anaknya memang ketinggalan jauh tentang kondisi Laura.
"Bahkan saat Laura berada di masa sulitnya, kamu dimana?" Bunda Gama kembali bertanya dengan suara yang bergetar, "di sana, di pemakaman Mama Laura, bahkan Laura natap Bunda canggung Gam! Betapa sakitnya hati Bunda ditatap seperti itu. Seakan-akan kita bukan siapa-siapanya Laura."
"Tapi Bunda sedikit tenang, setidaknya Laura menemukan laki-laki yang lebih baik daripada kamu," Bunda Gama meninggalkan ruang keluarga.
Sedangkan Ayah Gama hanya diam, ia menghembuskan nafasnya kasar sembari menatap Anaknya. "Kamu terlambat Gam, kamu sudah kehilangan Laura."
Gama terdiam, tak terasa, air mengalir di pipinya. Ia benar-benar sudah kehilangan Laura.
• • •
Rayyan membuka pintu Laura setelah berhasil membuka kuncinya. Ia berjalan menuju dapur, menaruh bubur ayam yang sudah ia beli sebelum ke sini. Tadi pagi juga Rayyan sempat berbincang kecil dengan kedua orang tuanya terkait Laura dan pengumunan hasil pendaftarannya.
Tentang pengumunan hasil pendaftarannya, kedua orang tuanya tersenyum lebar sembari menyelamati Rayyan. Dan tentang Laura, Bunda Rayyan sampai memarahinya ketika Rayyan mengatakan Laura sendirian di rumah. Padahal ia takut kedua orang tuanya marah karna menginap di kontrakan Laura.
Bunda Rayyan malah menyuruh Rayyan untuk membawa Laura ke rumah, agar perempuan itu sedikit tenang.
Rayyan masuk ke dalam kamar itu, di dalam, Laura masih terlelap dalam mimpinya. Matanya yang kemarin bengkak, hari ini sudah mulai membaik. "Ra, bangun."
Mata Laura mengerjap pelan. "Kamu bukannya pulang?"
"Ini udah pagi Ra."
"Cepet banget?" tanya Laura balik yang membuat Rayyan tertawa kecil.
"Ngigo kamu ya?"
Laura bangkit dari tidurnya sembari mengusap matanya lembut. "Nggak ada morning kiss nih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Подростковая литератураBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.