Bab 14

2.4K 261 22
                                    

Tak terasa masa-masa SMA akan terlewati, perjuangan mereka selama 3 tahun terakhir akan terlihat hasilnya minggu depan. Malam ini, Laura belajar mati-matian walaupun darah segar mengalir di bawah hidungnya. Ia tidak mau mengecewakan Mamanya, walaupun tidak bisa mencari uang untuk kehidupan mereka berdua, setidaknya Laura tidak menambah beban Mamanya dengan cara masuk kampus Negeri. Hanya itu yang bisa Laura lakukan saat ini, entah bagaimana kedepannya.

Laura berkali-kali menghitung, mencoret, lalu menghitung lagi. Pulpennya ia hantamkan ke kepalanya, kali saja ia kerasukan Albert Einstein. Laura menghembuskan nafasnya kasar menidurkan kepalanya di meja, menatap Rayyan yang cara belajarnya beda jauh dengannya. Laura yang tidak bisa tenang dan Rayyan yang sangat amat tenang. Bahkan hanya suara nafasnya saja yang terdengar.

"Dapet jawabannya?"

Laura mengeluarkan bibir bawahnya. "Nggak."

"Hasilnya 40."

Laura melempar pulpennya yang ia pakai tadi. "Ih kok gue nggak pernah dapet jawaban 40? Dapetnya 41!"

Rayyan tertawa kecil, menutup buku yang membuat Laura kesal setengah mati. "Kita lanjut besok."

"Nggak, gue harus ngerti materi ini malam ini."

"Besok aja Ra, lo nggak liat tisu bekas darah lo dimana-mana?"

Laura menghembuskan nafasnya kasar lagi. "Yaudah deh."

"Ayo, cari makan malam di luar."

Laura mengangguk menyetujui. Mereka berdua keluar dari kontrakan setelah izin pada Mama Laura. Letak kontrakan Laura cukup strategis karna dekat dengan jalan besar yang sepanjang jalan isinya warung makanan yang hanya buka saat malam hari dan dekat juga dengan pasar. Laura tak salah pilih Rayyan untuk menemaninya mencari kontrakan saat itu.

Laura mengenggam tangan Rayyan saat ingin menyebrang jalan. Setelah bingung ingin makan malam dengan apa, akhirnya mereka berdua mengantri di warung nasi goreng. Laura memainkan ponselnya, sebenarnya dari kemarin-kemarin setelah ia pindah rumah, Laura sangat berharap Gama menelfonnya, menanyakan dimana keberadaannya lalu datang dan memeluknya. Tapi nyatanya, sama sekali tidak ada.

Benar kata orang banyak, jangan terlalu banyak berharap jika tidak mau sakit nantinya. Dan ya, Laura benar-benar sakit.

Laura mengambil 2 piring dari dapur dan menaruh 2 porsi nasi goreng itu di piring. Laura bilang ia ingin makan berdua dengan Rayyan saja, takut tidak bisa menghabiskannya. Daripada buang-buang makanan, lebih baik seperti ini.

Laura menyendokkan sepotong bakso pada Rayyan. "Cobain dulu, enak."

Mau tak mau Rayyan membuka mulutnya, membiarkan bakso itu masuk ke dalam mulutnya. Mama Laura yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. Semenjak tragedi pindah rumah kemarin-kemarin, Laura jadi lebih dekat dengan Mamanya. Mungkin karna rumah ini lebih kecil dari rumah mereka sebelumnya? Jadi mereka lebih sering bertemu.

Setelah makan malam, Rayyan pamit pada Mama Laura, takut menganggu mereka beristirahat. Laura mengantar Rayyan hingga ke depan rumahnya, ia melambaikan tangannya. "Hati-hati Yan."

Rayyan tertawa kecil. Bahkan disaat seperti ini Laura masih bisa tersenyum lebar seperti saat ini. "Jangan lupa minum obat," ujar Rayyan sembari memakai helm fullface-nya.

"Iya."

"Jangan begadang!"

"Iya Rayyan."

"Yaudah, gue pamit."

"Hati-hati, kabarin kalo udah nyampe."

"Tumben?"

"Ih! Kabarin aja kek!"

-LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang