"Ra, lo nggak pa-pa kan?"
Laura mengernyit. "Emang gue kenapa?"
"Lo aneh aja. Biasanya jam begini udah kayak orang kesetanan, kok sekarang jadi kalem?"
Laura tertawa. "Lagi nggak mood aja Yo."
"Lo ada masalah ya sama Gama? Kok gue perhatiin Gama jadi sering ke kelas sebelah? Biasanya dia jemput lo buat ke kantin bareng."
Laura hanya tersenyum tipis menanggapi. Benar yang dikatakan oleh Yogi, belakangan ini Gama jadi lebih sering pergi ke kelas di samping kelas Laura untuk mengajak Tessa ke kantin bersama. Dan di rumah, sikap Gama berubah entah mengapa. Gama jadi suka pulang malam dengan seragam sekolahnya dan marah-marah tidak jelas bila Laura menanyakan laki-laki itu darimana saja. Bahkan Laura sampai menjaga jarak dari Rayyan karna takut Gama salah paham lagi.
Semakin ke sini, Laura semakin takut Gama kembali menjadi Gama yang dulu. Walaupun Laura sudah melakukan berbagai cara untuk menjaga jarak dari Rayyan, laki-laki itu masih saja perhatian pada Laura. Bahkan tak jarang Rayyan menawarkan diri untuk mengantar Laura pulang ketika mengetahui bahwa motor Gama sudah tidak ada di parkiran sekolahnya.
Sepulang sekolah, entah kenapa, kepala Laura seperti ditusuk ribuan pisau, perutnya tidak enak dan sesekali ia cemas takut darah segar kembali mengalir dari hidungnya. Untuk berjaga-jaga, Laura hanya bisa duduk di salah satu bilik toilet. Tak terasa, sudah setengah jam ia berada di sana. Perempuan itu juga sudah berkali-kali mengeluarkan isi perutnya, wajahnya pucat seperti mayat berjalan sekarang.
Satu jam yang lalu, sekolah sudah sepi karna memang bel pulang sudah berbunyi, tapi Laura tetap saja takut ada yang melihatnya dengan wajah pucat seperti ini. Laura keluar dari toilet dan mendapati Rayyan dengan tas disampirkan di bahunya dan tas Laura di genggamannya.
"Ayo gue anter pulang."
Laura tersenyum tipis sembari mengambil alih tasnya. "Gue ngerepotin lo ya?"
"Nggak kok," Rayyan mengenggam tangan Laura, "ayo."
Di parkiran, Laura bingung karna motor Rayyan tidak terlihat di sana. Dan yang membuatnya tambah bingung, Rayyan mendekati salah satu mobil yang terparkir di sana dan membukakan pintu untuknya.
"Mobilnya siapa?"
"Mobilnya Bu Erika."
Laura tertawa. "Lo minjem? Kok bisa?"
"Bisalah, Rayyan," Rayyan mulai melajukan mobil itu keluar dari pekarangan sekolah, "gue bilang kalo lo pingsan di toilet."
Laura berdecak. "Kenapa sampe bohong gitu sih? Padahal gue nggak pa-pa."
"Ya kali gue nganterin lo pulang pake motor. Bisa-bisa lo jatuh di jalan."
Laura tersenyum sebagai jawaban. Ketika ia sadar bahwa ini bukan jalanan ke rumahnya, Laura mengernyit dan bertanya pada Rayyan. Laki-laki itu mengatakan bahwa mereka akan ke rumah sakit sebelum mengantar Laura pulang. Padahal Laura sudah keras kepala ingin pulang ke rumah saja, tapi Rayyan tetap saja melajukan motornya menuju rumah sakit. Rayyan membukakan pintu untuk Laura, sedangkan Laura hanya mencebik sembari mengatakan terima kasih.
Sepanjang koridor rumah sakit, Rayyan tak henti-hentinya tersenyum geli melihat raut wajah Laura yang ditekuk. Untung saja antriannya tidak terlalu panjang, jadi mereka tak harus menunggu lama. Masuk ke dalam ruang pemeriksaan, Laura menyuruh Rayyan menemaninya. Hingga keluar dari ruangan itu, mereka berdua terdiam. Tadi, dokter mengatakan kondisi Laura bertambah parah dan menyarankan untuk kemoteraphi. Dokter bilang Laura bisa memutuskan untuk kemoteraphi kapan saja, tapi usahakan dalam waktu dekat ini karna gejala yang tubuh Laura tunjukkan bertambah parah.
Mereka berdua berjalan lambat menuju toilet rumah sakit. Rayyan menemani Laura, takut perempuan itu tiba-tiba ambruk. Langkah kaki Laura berhenti sebelum ia sampai di toilet rumah sakit. Matanya menatap dua tubuh yang sangat ia kenali di depannya. Dengan jarak yang cukup jauh, Laura bisa melihat jelas Tessa memeluk Gama. Seperti ditimpa batu besar, dada Laura sesak. Apalagi ketika mata Tessa dan matanya bertemu, Tessa semakin mengeratkan pelukannya pada Gama.
Rayyan melirik Laura sekilas dan mengikuti apa yang perempuan itu tatap. Kedua tangan Rayyan mengepal kuat, kakinya melangkah mendekati Gama dan Tessa. Tapi tangan Laura bergerak lebih cepat menahan tubuh Rayyan.
"Yan, jangan."
"Lepasin Ra."
Dengan sisa kekuatan yang Laura miliki, ia masih bisa menahan tubuh Rayyan walaupun tubuhnya sangat lemas. Air mata sudah mengalir di pipinya sedari tadi.
"Rayyan, kita pulang aja."
"Laura—" tatapan Rayyan melembut ketika sadar air mata sudah mengalir di pipi perempuan itu.
Rayyan menghembuskan nafasnya kasar, ia mengenggam tangan mungil Laura dan membawa perempuan itu keluar dari rumah sakit. Di dalam mobil, Laura mencoba menghentikan air mata yang selalu ingin mengalir di pipinya. Sedangkan Rayyan tidak akan melajukan mobilnya sebelum Laura tenang. Rayyan mengusap bahu Laura lembut, berusaha menenangkan perempuan itu.
"Udah ya? Lo jelek kalo nangis gini."
Laura tertawa kecil, mengusap air matanya. "Makasih, Yan."
Rayyan ikut tersenyum sembari melajukan mobilnya. "Langsung pulang aja?"
"Iya."
Hening selama perjalanan. Jari Laura memainkan obatnya yang berada di dalam bungkusannya. Ia berbalik, menatap Rayyan dari samping. "Lo nggak akan ninggalin gue kan, Yan?"
"Menurut lo?"
Laura menatap keluar jendela tersenyum geli mendengar ucapan Rayyan. Kedua pipinya bersemu, detak jantungnya berdetak tidak normal.
Sesampainya di rumah Laura, Laura langsung turun dari mobil itu, memutari mobil agar Rayyan tidak turun. Ia melipat kedua tangannya, menjadikan pintu mobil Rayyan sebagai tumpuannya. Rayyan mengambil tas Laura yang ia simpan di kursi belakang dan memberinya pada sang pemilik.
"Makasih, Yayan. Eh, Rayyan."
Rayyan mengangguk. "Besok mau berangkat bareng?"
"Nggak usah," Laura tersenyum geli, "buruan balikin mobilnya Bu Erika."
"Astaga, gue lupa kalo ini mobilnya Bu Erika," Rayyan menyalakan mesin mobilnya, "doain gue, semoga gue nggak dicincang sama dia."
Laura tertawa kecil. "Hati-hati Yan."
Laura melambaikan tangannya hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Laura masuk ke kamarnya, membersihkan tubuhnya dan berpakaian. Ketika mendengar suara motor berhenti, buru-buru Laura keluar dari kamarnya, berlari kecil menuju rumah Gama. Baru saja ia ingin masuk ke dalam, Gama sudah kembali keluar dan menaiki motornya. Laura berdiri di depan motor Gama, menghalangi jalan laki-laki itu.
"Mau kemana? Baru juga sampe."
"Awas Ra."
"Gama temenin Laura—"
Belum sempat Laura menyelesaikan kalimatnya, tangan Gama sudah menarik lengan Laura, memindahkan tubuh perempuan itu supaya motornya bisa keluar. Laura yang terkejut karna Gama kasar padanya, hanya bisa diam sembari menatap motor Gama yang melaju dengan kecepatan diatas rata-rata.
"Beli susu."
- 9 Juli 2019 -
KAMU SEDANG MEMBACA
-L
Teen FictionBukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019 by hip-po.