Bab 24

2.5K 274 24
                                    

Tak terasa sudah hampir 1 bulan Laura di rawat di tempat ini dengan infus yang tidak pernah lepas dari punggung tangan kanannya. Rambutnya perlahan sedikit demi sedikit hilang setiap harinya. Bahkan Egha sampai mengganti seprai brankarnya menjadi warna hitam agar Lauta tidak menangis ketika mendapati rambutnya rontok di brankar.

Setiap hari yang ada di pikiran Laura hanya Rayyan. Bagaimana kabar laki-laki itu, apa yang sedang ia lakukan, apa ia melewatkan makan malamnya lagi. Hal-hal seperti itu yang ada di pikiran Laura. Bahkan hampir setiap hari Laura menangisi Rayyan. Egha yang selalu mendapat giliran menjaga malam hanya bisa diam dan sesekali mendengar cerita Laura tentang Rayyan.

Laura sama sekali tidak ingin menyentuh ponselnya, takut Rayyan menelfon dan mengetahui dimana ia berada sekarang. Padahal impian Laura hanyalah Rayyan menemaninya kemoteraphi. Tapi kali ini, ia harus buang impiannya jauh-jauh hanya karna keputusannya sendiri.

Berkali-kali Laura melakukan segala cara agar pikirannya tidak hanya Rayyan saja. Laura melipat kertas origami menjadi berbagai macam bentuk yang ia akan pajang di kamar rawatnya agar terlihat lebih berwarna.

Sudah ada 3 toples besar yang Laura isi dengan bintang-bintang yang ia buat dari origami, burung-burung dari origami ia gantung di jendela kamarnya, beberapa ia pajang di kamar mandi. Hanya itu yang dapat Laura lakukan, untuk keluar dari kamar rawatnya pun, Laura malu mengingat bahwa rambutnya sudah habis.

Tapi Keira beberapa kali membawanya keluar kamar agar Laura bisa menghirup udara segar dan tidak terlalu khawatir dengan penampilannya. Keira sendiri adalah kekasih kakak sepupunya, Egha. Laura pernah dengar sedikit tentang Keira, perempuan yang sangat Egha sayangi. Pasalnya, Keira pernah jatuh dari gedung tinggi di depan mata Egha sendiri dan koma selama berbulan-bulan.

Jika Keira dan Egha sibuk, Laura sendirian di kamar rawatnya. Tapi Egha selalu menyempatkan waktunya untuk menemani Laura setiap malamnya. Bila pagi hari Laura menyibukkan dirinya agar tidak selalu memikirkan Rayyan, malam harinya Laura malah menangisi laki-laki itu sampai Egha bingung bagaimana cara menenangkan Laura.

"Kenapa sih nggak ngabarin Rayyan kalo lo dirawat di sini?"

"Laura malu, Kak. Laura mau pergi aja dari hidupnya, biar dia nemu orang lain yang setara sama dia. Aku nggak pantas bersanding sama dia, dia terlalu sempurna."

Egha menghembuskan nafasnya kasar. Ia mengusap pipi Laura lembut. "Yaudah sekarang tidur, nangisnya nggak boleh lama-lama."

Setelah memastikan Laura memang benar-benar sudah tertidur, Egha keluar dari kamar itu. Ia mendatangi laki-laki yang sedari tadi duduk di kursi tunggu depan kamar Laura, duduk di sampingnya. Sudah 4 kali laki-laki ini jauh-jauh dari Ibukota dan meninggalkan tugas kuliahnya menumpuk di rumah hanya karna datang ke sini, menjenguk perempuannya yang malu bertemu dengan dirinya sendiri.

Bahkan hatinya seakan teriris-iris mendengar perempuannya mengatakan hal itu, hal yang benar-benar ia tak suka mendengarnya. Biaya transportasi dari Ibukota ke sini tidak bisa dibilang murah, apalagi laki-laki ini selalu menyempatkan dirinya terbang saat itu juga ketika Egha menelfon bahwa Laura menangis dan tidak mau berhenti.

Ia melihat semuanya, Laura menangis dengan isak yang ia redam, membuat dada Rayyan terasa sakit melihatnya dari kaca kecil di samping pintu.

"Laura udah tidur, Yan."

Ia mengangguk, masuk ke dalam kamar itu dan duduk di kursi samping brankar. Matanya menatap perempuannya sendu. Ia mengenggam tangan Laura dan sesekali mengecupnya. Berkali-kali kata maaf keluar dari mulutnya, selalu dengan alasan yang sama.

-LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang