Vier

72 17 0
                                    


Malam harinya kakak ku serta suami dan anaknya datang ke rumah. Mereka selalu berkunjung seminggu sekali, sebenarnya jarak rumah kami tidak cukup jauh tapi ya mungkin saja mereka sibuk.

"Woi!" aku mendongak, menatap makhluk besar yang berharap jika aku kaget dengan teriakannya tadi.

"Ha?"

"Ngapain sih diem di kamar terus? Menggerami telur?" candanya sambil menutup pintu kamar.

"Hibernasi gua, ganggu aja lu badak" jawabku malas.

"Oh gitu sama kakaknya sendiri. Yaudah, martabak manis di meja tadi gua bawa pulang lagi aja" aku melotot dan buru-buru keluar kamar menuju ruang tamu. Dengan sigap aku mengambil satu bungkus martabak manis tersebut lalu membawanya masuk kedalam kamar tanpa sepengetahuan siapapun.

"Eh kok diambil semua?"

"Udah biarin, gaada yang suka"

"Rakus banget si ni babi ih" aku tak mempedulikannya yang sedang berbacot ria. Aku tentu saja sibuk dengan martabak manis keju susu kesukaan ku.

"Jangan banyak-banyak, nanti lu gendut. Gak laku mampus, hahaha" ejeknya.

"Diem deh dugong, jangan sentuh!!" teriakku padanya yang tangannya sudah merambat ke kotak martabak manis itu. Aku segera memeluk kotak itu.

"Pelit amat lo! Itu gua yang bawa woi!"

"Trus lu kasi gua kan? Yaudah kalo udah dikasi, gabole diambil lagi. Pamali! Tau ga lu Pamali, hah?!" jelasku.

"Taulah, suami bu mali kan?"
Kali ini aku dan dia tertawa, yah sungguh receh hidup kami.

"Mana angel?" tanyaku disela-sela Kunyahan.

"Sama mamak"

"Oh"

"Mana doi?" tanya dia balik.

"Hilang ditelan bumi" jawabku melas.
Ia terkekeh lalu menyodorkan sesuatu untukku. Sebuah lip tint? Lip stick? Lip balm? Apalah itu lip lip apa aku tak tahu, yang pasti bukan bunga tulip. Aku menerimanya dengan kerutan dahi.

"Pake, gua malu ya punya adek yang prawan kumel begini. Sedangkan gua kakaknya cantik bagai princes"
Ok, ini sedikit membuatku ingin memuntahkan semua organku. Jijik.

"Ga ah, gue ga bisa pakai" tolakku.

"Iih tinggal lu mangap trus oles aja tu liptint di bibir lu, jangan dimakan tapi. Oiya pakainya juga jangan banyak-banyak"

"Kaga ih, gue ga suka bau bau make up. Aneh baunya, gasuka"

"Astaga tobat gua punya adek kumel kaya lu. Udah kumel goblok lagi, nih ya dengerin gua, lu sekarang udah mau SMA dan sekarang gua tanya, lu udah punya pacar?" Aku menggeleng, memang benar aku tidak punya pacar. Aku tidak minat berpacaran tapi jika itu pangeran bersepeda putih, aku mau.

"Nah itu!! Gaada yang mau sama lu! Karena liat aja ni, lu kumel begini dan astaga dea!!! Baju lu ini lebih cocok dijadiin keset depan kamar mandi noh. Ini baju lu bolong bolong kenapa?"

"Oh ini, digigit tikus" jawabku.

"Terserah ya dea, mau yang gigit tikus kek, badak kek, bahkan amuba sekalipun gua ga peduli. Yang gua tanyain kenapa baju bolong-bolong begini masi lu pake? Lu ga malu dea?!" kali ini pertanyaannya menyudutkanku.

"Jugaan gua pakai di rumah doang, kenapa sih ah repot amat lu" Kak Nur menghela nafas berat, mungkin ia sudah muak dan ingin memakanku saat ini.

"Haduh serah deh. Pusing gua kalo nasehatin lu, gaada hasilnya. Mendingan juga gua makan"

"Gua bilang jangan sentuh dodol!!"

Dan berakhir dengan kami berdua berebut martabak manis.

***

Semakin hari libur berjalan, semakin juga otak ku tak bekerja. Rasanya hidupku seperti tak ada guna. Yang aku lakukan hanya tidur, bangun, makan, main hp sebentar, dan tak lupa mendengarkan omelan ibu. Hanya itu saja, kalian bisa memutar atau membolak-balik hal itu. Tapi tetap saja tak ada gunanya.

Seperti saat ini aku hanya duduk diam di kursi teras, menghitung bintang.

Ini sudah malam, bahkan orang rumah juga sudah tidur. Kakak dan suaminya menginap dan yang pasti mereka juga melakukan hal yang sama dengan ayah dan ibu.

Kepalaku mengadah untuk melihat bintang dan sesekali menunduk melihat jariku yang aku tekuk secara bergantian untuk menghitung bintang-bintang tersebut. Tak ada faedahnya memang, tapi aku menyukainya.

Mungkin jika ibu disini, ia akan bilang "Setiap hari ngitung bintang tapi matematika 40. Ga guna dek, dek"

Dan jika ayah,
"Udah malem, masuk" hanya itu, ayah terlalu mengirit kata. Aku saja sebagai anaknya bisa menghitung berapa kata yang ia keluarkan untuk satu bulan. Aku tidak terlalu dekat dengan ayah, karena ia jarang dirumah. Berangkat pagi pulang pagi juga, hanya sekali dalam seminggu ia dapat dirumah dan itu digunakannya untuk tidur.

Tapi saat ini tak ada siapa-siapa, ini lebih baik. Aku bisa leluasa menghitung bintang dengan tenang. Kembali pikiranku teringat pada laki-laki yang ada di lampu merah tadi. Apa dia bener-bener pangeran sepeda putih? Tapi jika iya, kenapa baru sekarang ia menampakkan wajah.

Aku ingat beberapa kali bertemu dengannya saat aku berangkat pergi ke sekolah smp ku dulu dan aku bertemu dijalan dekat sekolah ku, mungkin saja rumahnya sekitar sana? Ah kenapa memikirkan ini lagi sih.

"Tadi bintangnya berapa ya? 73? Apa 43? Kan lupaa.. Ah kenapa pangeran sepeda putih dipikirin terus sih Dea?!! Fokus Dea fokus!!"

Rasanya aku kesal dengan diriku sendiri. Tak pernah bisa fokus terhadap suatu hal. Sekalinya fokus hanya pada makanan dan pangeran sepeda putih saja. Benar-benar tidak berguna.

Aku membuka pintu dan masuk rumah. Melihat jam, tepat jam sebelas. Ah untungnya masih jam sebelas, aku tidak tahu lagi jika sampai jam dua belas aku diluar sana. Pasti kolong wewe akan membawaku ke dunianya.

Salam hangat :)

Onlydrpa.

Fiets PrinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang