Eenentwintig

34 6 9
                                    

Hari ini pelajaran fisika sangatlah membuat mereka pening. Seharusnya hari ini mereka mengoreksi pr yang numpuk sejak seminggu lalu, tapi tergantikan oleh ulangan mendadak dan itu mengakibatkan semua murid remidi satu kelas.

Mereka sangat ricuh hingga banyak dari mereka yang tidak pergi ke kantin dan lebih memilih mengecek materi tadi.

"Anjir parah gila!! Udah susah, ulangan mendadak, gua nya goblok lagi. Gimana mau ga remidi tu fisika."

"Guru-guru jahannam!"
Setidaknya itulah kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Sementara Dea, ia hanya menutupi wajahnya dengan jaket milik Shofi. Malas berkomentar karena maupun ulangan mendadak atau tidak, nilai fisika nya tetap sama, jelek.

"Dea, dipanggil sama Bu Eka," Dina membuka jaket yang ada di wajah Dea, dan mendapati Dea dengan mata tertutup. Perlahan Dea membuka matanya lalu berdiri dengan malas.

"Bu Eka siapa?"

"Anjir lo, mentang-mentang tu guru baru ngasi remidi satu kelas udah dendam aja lo,"

"Ck, disuruh kemana gue?"

"Bawa buku tulis pr tadi ke perpustakaan. Mau gue bantuin kaga? Tapi gue mau makan si, cari temen lain sono," Dina berlalu meninggalkan Dea yang sudah menatapnya malas. Dea pun berjalan ke depan meja guru dan mengambil setengah dari tumpukan buku tersebut.

"Dea, gue bantuin ya?" Dea menoleh mendapati salah satu teman nya yang sangat cantik berbaik hati menawarkan bantuan, Dinda.

"Ok, itu lagi dikit."

Mereka berjalan menuju perpustakaan, Dea ingat jika perpustakaan melewati kelas Aksa. Tepat di depan kelas Aksa, Dea sedikit memelankan langkahnya dan menengok ke arah kelas itu. Kelasnya sangat sepi, tidak ada orang sama sekali. Apa karena saat ini sedang istirahat, jadi mereka pergi ke kantin?

"Ini mau dibawa kemana?"

"Ha?"

"Buku nya mau dibawa kemana?" sekali lagi Dinda bertanya dan Dea menjawab dengan singkat.

"Perpus."

Setelah sampai ke perpus, mereka menaruh buku di meja yang sudah terlihat tas meching Bu Eka.

Kembali mereka akan melewati kelas Aksa, ada dua orang yang duduk di kursi panjang depan kelas. Dea sudah menduga dari jauh, jika salah satu dari dua orang itu adalah Aksa. Namun Dea tak ada niat untuk memanggil atau menyapa nya, sakit perut sudah melandanya sejak tadi.

"Sst, sst."

Sebuah suara panggilan membuat Dea dan Dinda yang tadinya berjalan menjadi berhenti dan menoleh ke belakang.

"Eh Dinda disukain temen gua nih," ucap siswa laki-laki itu sambil menyikut lengan Aksa yang ada di sampingnya. Dea terpaku, ia menoleh ke arah Dinda yang sedang tersipu malu. Kemudian melihat lagi ke arah Aksa yang tepat sedang menaik turunkan alis pada Dinda dan selanjutnya memukul kepala teman di sampingnya.

Setelah ijin berjalan duluan, Dea meninggalkan Dinda yang masih berbincang disana menuju kamar mandi untuk setoran kedua setelah setoran pertama pagi tadi sebelum mandi.

Dinda dan Aksa masih berbincang sampai teman Aksa meninggalkan mereka berdua dan setelahnya mereka berdua pergi entah kemana.

Bel masuk berbunyi.
Dan Dea baru saja keluar dari kamar mandi, karena keasikan berbincang dengan gayung dan bak mandi ia sampai lupa dan menghabiskan jam istirahatnya di kamar mandi.

"Aduh anjir, kenapa perut gue masih mules sih," Dea mengaduh sambil memegangi perutnya. Berjalan turun melewati tangga menuju kelasnya.

Tapi sampai ujung anak tangga, Dea berjongkok menekuk lutut dan menenggelamkan wajahnya diantara tangan yang tak memegangi perut."Gila, makan apa sih gue, perut gua sakit banget.." rengeknya.
Rasanya ia ingin menangis dan berguling guling di tangga ini.

Masih di tempat dan dengan kondisi yang sama, ia merasakan kakinya seperti ditendang- tendang sesuatu. Ia yakin tak ada orang yang lewat, karena sekarang semua murid telah masuk kelas. Tapi jika bukan manusia siapa lagi?

Dea melirik, ia melihat sepatu lengkap dengan kaki seseorang. Lalu matanya mengikuti kaki tersebut, ia menemukan sosok Aksa yang sedang bersender di tembok dengan mata tertutup.

Dea menggeser tubuhnya agar tak ditendang oleh Aksa, namun seperti tau Dea menjauh, Aksa juga menggeser kakinya sampai mengenai tubuh Dea lagi lalu menggoyang-goyangkan kakinya dengan mata masih tertutup.

Merasa kesal, Dea mengerutkan dahinya dan menyentak pada Aksa.
"Kak Aksa!!"

Aksa masih terdiam, seolah tak mendengar sentakan dari Dea yang sudah kesal dibuatnya. "Kak Aksa!!" Dea menyentak untuk yang kedua kalinya.

"Orangnya lagi tidur," ucap Aksa dengan suara parau dan mata masih tertutup.
Dengan kesal Dea mendorong kaki Aksa hingga membuat Aksa sedikit oleng dan hampir jatuh dari tangga.

Aksa sedikit terkejut dan segera membuka matanya. Ditatapnya Dea dengan datar lalu mencoba memperbaiki posisi semula.

Hening sesaat sebelum Dea kembali mengaduh karena perutnya mules kembali. "Kenapa lo?"

Dea menengok, lalu membuang muka kembali. Rasanya kesal jika melihat wajah Aksa sekarang. "Gue nanya woi."

"Gak kenapa-kenapa."

"Yakin?" Dea mengangguk, Aksa menyenderkan tubuhnya kembali dan menutup mata.

Lalu suara deringan ponsel membuat Dea menatap Aksa. Aksa membuka mata, dan mengangkat teleponya.

"Napa?"

"...."

"Gue pulang, Sheryl lo tunggu aja di rumah."

Sheryl? Dea mengerutkan dahi, pacar Aksa kah? Atau saudaranya? Kenapa banyak sekali wanita di sekeliling Aksa.

Dea semakin pusing memikirkan hal ini, setelah Aksa meninggalkanya ia berdiri dan beranjak menuju kelas tapi tertahan saat sebuah tangan menepuk pundaknya.

Dea terkejut dan menoleh ke belakang, Aksa berdiri di belakangnya lengkap dengan tas ranselnya. "Apaan?" tanya Dea sinis.

Aksa menoleh ke kanan dan kiri, lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Dea. "Beli softek gih," Dea menganga dengan apa yang dikatakan Aksa.

"Keluar?" tanya Dea lirih tak percaya, dan diangguki oleh Aksa. Wajah Dea sudah bersiap-siap mau menangis dan itu membuat Aksa bingung.

Dengan cepat Aksa mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah sarung hitam bergaris merah.

"Pake," ujarnya yang membuat Dea menatapnya semakin tak percaya. "Masa sarung?"

"Ya gimana, gue ga punya apa apa. Pake aja kaga ada yang lihat."

"Ya lo pikir orang orang di sekolah ini pada buta? Ya pasti mereka lihat lah!" Dea sangat kesal sekali. Hari ini adalah hari terburuknya.

"Pake, terus lo ikut gue. Gimana?"

"Kemana?"

"Udah pake aja dulu." Aksa menyodorkan sarungnya. Dea masih menatap sarung itu lalu ia melihat lantai yang ia duduki tadi, benar ada bercak darah disana. Seakan peka dengan apa yang dilihat Dea, Aksa dengan wajah yang datar hanya mengucapkan.

"Gue ambilin pel- pel an."

Haloo kami datang lagiii, yuhuuu makin kesini makin lama up nya. Wkwk, mohon maaf pokoknya mohon maaf aja. Ikutin terus ya Aksa sama Dea ok. Kalo ada typo mohon maklumah ya :))

Salam hangat :)

Onlydrpa.

Fiets PrinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang