één

126 22 0
                                    


Liburan hari kedelapan, dan kalian tahu betapa bosan nya aku? Ah rasanya aku ingin menjelajahi dunia tapi sayangnya aku tidak punya uang sebanyak itu.

Dan aku masih sama. Memikirkan pangeran sepeda putih. Ini sungguh buruk, semakin aku memikirkannya semakin membuatku menangis. Tapi aku juga tak mau jika melupakannya.

Ting Ting Ting Ting Ting

Notifikasi yang beruntun itu membuat pikiranku buyar.

Khansa: Dea mau makan ga?
Makan kuy
Warung mie
Sekali-kali ketemu
Ada anan loh!!

Pertama, aku minat. Tapi setelahnya minatku berkurang karena ada orang itu. Bukan siapa-siapa hanya orang yang pernah aku sukai dan aku tunggu. Tapi rasanya takdir tidak berpihak padaku, sampai dia berpacaran dengan orang lain.

Tidak apa, ini salah kita berdua dan aku juga tidak cukup peduli pada nya. Hidupku hidupku, hidupnya ya hidupnya. Aku tak peduli.

Akhirnya aku mengiyakan ajakan khansa. Bukan karena aku ingin bertemu dengan anan. Tapi setidaknya aku bisa menghilangkan sedikit rasa bosan ini.

Oke, jam satu kami bertemu.

***

Sedikit lagi aku sampai, dan goesan sepedaku akan berhenti. Tapi sebelum itu aku mampir ke salah satu minimarket dekat Waroeng mie untuk membeli beberapa camilan.

Setelah memilih dan membayar, aku memasukkan beberapa camilan itu kedalam tas ranselku. Dan kembali mengayuh sepeda.

Mungkin heran saja kenapa aku memakai sepeda gayung dan bukannya motor seperti temanku yang lain. Bukan, bukan karena pangeran sepeda putih tapi karena aku tidak bisa mengendarai sepeda motor. Jadinya ayah membelikanku sepeda, itung-itung untuk menambah tinggi badanku yang sama sekali tidak berkembang sejak kelas satu smp.

Aku sampai, tepat di parkiran Waroeng mie. Setelah memberi senyum pada tukang parkir, aku pun masuk dan mencari keberadaan Khansa serta antek-anteknya.

Tempatnya diujung, tempat dimana aku bertemu anan untuk pertama kalinya. Aku menghampiri tempat duduk dan meja yang panjang itu. Aku rasa antek-antek khansa banyak, hingga tersisa tiga bangku kosong saja.

"Hai" sapaku.

Mereka yang duduk disitu dengan wajah masing-masing menghadap kebawah untuk melihat ponsel mereka sendiri seketika mengangkat kepala.

"Dea!!!" teriak khansa yang segera memelukku dengan erat. Aku hanya bisa diam karena tubuh khansa yang tinggi mampu menenggelamkanku di dalam pelukannya.

"Ah iya ud-dah ga-bisa naphaas!!"

Akhirnya khansa melepaskan pelukannya, aku rasa ini lebih baik. Kemudian ia kembali duduk dan aku duduk di bangku ujung tepat di depan seorang perempuan. Aku rasa tidak asing tapi siapa dia?

Oh astaga aku lupa, bukankah dia Vania? Pacar anan itu? Dan kenapa dia ikut kemari?

Sangat banyak pertanyaan di otakku tapi semoga saja wajahku sudah terkontrol dan tidak membuat malu diri sendiri. Aku menggeser pandanganku dan yang pasti jika ada orang yang sedang berpacaran maka duduk mereka akan berhadapan jika bukan maka mereka akan berdampingan. Dan opsi kedua cocok untuk mereka saat ini. Anan berada di sebelahnya.

Ia melihatku lebih tepatnya menatapku, aku memalingkan pandangan dan melihat yang lainnya disana ada adek khansa, khansa. Dan deretan bangku ku hanya ada marhen. Salah satu teman smp ku juga.

"Dea, naik apa kesini?" tanya marhen padaku.

"Sepeda gayung"

"Jaman segini masih naik sepeda? Ga malu?" tanya nya dengan wajah heran.

"Nggak, gua kan naik sepeda nya pake baju" ucapku santai sambil menggeleng.

Mereka tertawa, entah apa yang ditertawakan, aku tak mengerti dimana letak lucunya. Aku mengeluarkan ponselku dan memasang earphone. Tapi sebelum itu, khansa serta adiknya tak lupa marhen telah berdiri. Mereka akan memesan makanan.

"Lu mau beli apa dea?"

"Ha? Gua? Samain aja. Tapi gua taro latte ya minumnya"

"Ok, ok, taro latte. Totalnya dua puluh dua" kata khansa yang mengulurkan tangannya.

Aku membuka ranselku berniat mengabil dompet dan sekalian juga mengeluarkan camilan yang aku beli tadi. Aku memberikan selembar uang dua puluh ribu dan selembar lagi dua ribu pada khansa. Lalu khansa kembali mencatat pesanan yang lain.

Aku juga melihat anan serta vania saat khansa mencatat makanannya.

"Mau beli apa kak?" tanya khansa, ya harusnya aku juga memanggil anan dengan embel-embel 'kak' mengingat dia selangkah lebih tua daripada aku. Tapi setelah aku tau dia berada di bawahku satu bulan, kata kak itu rasanya tidak pantas.

"Vania mau makan apa?" tanya anan pada vania.

"Ada nya apa?"

"Mie" Jawab anan dengan wajah sok polosnya itu. Yaiyalah mie, namanya juga warung mie. Ah bikin orang pingin tobat aja.

"Yaudah apa aja"

"Mau pesen apa? Nanti kalau anan yang pesen, vania ga suka"

"Nggak kok, vania mau. Pesen aja kan vania ga pernah pesen disini, jadi gatau apa-apa"

"Bener ya vania mau? Tapi anan gasuka pedes, jadi mungkin pesennya yang ga terlalu pedes"

"Iya aja, vania mau kok"

Sungguh hawa yang penurut, pantes anan demen. Batinku.

"Jadii mau pesen apa ini?!!" tanya khansa sedikit berteriak, ah khansa menggangguku menonton film saja.

Setelah mereka bertiga pergi, tinggal lah aku dengan dua sejoli yang sangat romantis ini.



Fiets PrinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang