Negenentwintig

35 6 6
                                    

Dea yang masih lengkap dengan pakaian wisudanya berjalan sambil menenteng sendal hak tingginya itu. Yap, ia nyeker dari ujung gang dimana ia diturunkan oleh supir grab.

Rasanya ia seperti gadis yang akan kawin lari, pakaian seperti ini dan kondisi yang sangat mendukung membuatnya ingin berguling-guling di gang yang sepi ini.

Sedikit ngos-ngosan, Dea mengatur napasnya ketika sampai di gerbang rumahnya. Sungguh, katakanlah ia sangat berdosa karena semenjak tadi ia menyumpah serapahi seluruh keluarganya.

"Hahh... Capek banget gila."
Ia membuka gerbang dan masuk ke dalam rumah. Melempar sendal sialan itu di halaman rumah dan masuk ke kamar mandi untuk mencuci kakinya.

Setelah selesai, ia masuk ke dalam kamar dan duduk di ranjang untuk menghapus semua make up nya yang sangat ia benci ini.

"Make up, make up sialan. Gimana jerawat gue ga mau tumbuh lagi kalo ada beginian di muka gue? Yang kemarin aja belum sembuh ini nambah dempul lagi, ish!"
Ia terus mengomel sembari membersihkan semua make up tersebut. Ia juga membuka sanggulan rambutnya yang membuatnya pusing.

Membiarkan rambutnya terurai. Entah, tapi hari perpisahannya ini hari buruk baginya.

"Ga boleh Dea, ga boleh gitu. Ini hari baik, semua orang lagi bahagia, ini bukan hari buruk, nyebut Dea nyebut. Astagfirullahaladzim..." seakan ia menyadarkan dirinya sendiri.

Ia duduk di ranjang menghadap jendela yang terbuka lebar, dan pandanganya menjuru pada kaktus-kaktus yang berjeher disana.

Ya, semenjak ada kaktus pemberian Aksa ada di rumahnya, ia membeli kaktus lagi "biar ada temenya" alasanya. Hingga ia mempunyai lima kaktus dengan bentuk berbeda-beda.

"Uwaw! Bunga nya mekar!!" Dea teriak histeris melihat bunga kaktus yang jarang sekali ia lihat, bahkan tidak pernah jika bukan di tivi ataupun internet.

"Wah ini kaktus yang mana ya? Kaktus gue yang..., bukan, ini kaktus, kak Aksa? Masa? Kok lama banget tumbuh bunganya?! Punya gue aja baru beli dua minggu udah tumbuh kemarin, ya walaupun belum mekar udah mati, tapi, ih Kak Aksa bukan bibit unggul nih." ia terus mengocehi kaktus itu sambil memutar - mutar potnya.

Ia terus mengamati bunga kaktus itu dan seketika ingat kata-kata Aksa di surat itu.
"jaga sampai kaktusnya tumbuh bunga, karena katanya ada keajaiban disana."

Dea mengulum bibirnya yang tersenyum, entah, tapi itu membuatnya geli sendiri.

"Kita liat, emang apa keajaiban bunga kaktus?" tanya nya sambil meletakkan kembali kaktus itu.

Kring kring

Sebuah bel sepeda membuat Dea mendongak dan menatap lurus pada luar jendela.

Aksa dengan sepeda berwarna putih miliknya yang tak pernah berubah tengah berdiri di luar gerbang rumah Dea.

Dea yang masih tak percaya hanya diam dan masih terus menatap ke luar jendela. Sedetik kemudian ia kembali menunduk melihat bunga kaktus yang mekar itu.

Segera ia berjalan keluar kamar dan membuka pintu rumahnya, ia berjalan dengan cepat hingga ia membuka gerbang rumahnya. Berhadapan langsung dengan orang yang ia panggil dengan sebutan pangeran, ia tunggu selama bertahun-tahun dan orang yang kaktusnya selalu ia rawat.

"Kak Aksa?"

"Hm," dengan cepat Dea memeluk Aksa yang ada di depan nya. Aksa membalas pelukan itu, ia melirik jendela kamar Dea dan mendapati kaktusnya berbunga.

"Kaktus gue udah berbunga ya?" Dea mengangguk. "Lama! Kaktus lo bukan bibit unggul!" ucapnya sambil terus memeluk Aksa.

"Yang penting kan ada keajaiban, gue kangen banget sama lo." Aksa semakin mengeratkan pelukanya.
Dea tak mampu menjawab, air matanya sudah membasahi baju Aksa.

Fiets PrinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang