zevenentwintig

18 4 0
                                    

"Dea, yang diomongin sama murid lain itu benar?"

"Apa?"

"Tentang kak Aksa."

"Gue ga tau," Dea melengos, malas menyahuti pertanyaan Dina tentang hal yang sedang viral itu.

"Serius De, itu benar apa nggak?"

"Gue ga tau Din! Udahlah, bukan urusan kita juga."
Dina merasa ada yang tidak beres dengan Dea, tidak mungkin Dea tidak tahu sedangkan selama beberapa bulan ini Dea sangat dekat dengan Aksa, si pangeran sepeda putih nya itu.

"Gue pulang duluan, agak ga enak badan. Kalian ga pa-pa kan?"
Dina dan Sofi otomatis mengangguk, mereka tau keadaan temanya saat ini.

"Kita juga lagi ada tugas mading kok," Sofi memberi alasan yang dapat dipercaya oleh Dea, Dea mengangguk dan langsung pergi meninggalkan kedua sahabatnya pulang.

"Parah banget Dea mah, kalo ada pikiran suka gampang sakit. Apalagi kalau bahas yang lagi viral sekarang, langsung serem banget dah tu mukanya."

"Tapi gue juga masih ga percaya sih Sof, anak pembunuh. Kayak film kan? Aneh aja, bahkan si Junaedi sendiri yang saudaraan sama Aksa ga pernah tuh cerita tentang hal ini."

"Justru karena dia saudara gue, jadi dia nutupin aib gue."

Suara serak itu berasal dari ambang pintu kelas yang sudah kosong itu. Aksa, tengah berjalan menuju Dina dan Sofi yang terkejut.

"Dea udah pulang?" tanya Aksa yang mengedarkan pandanganya pad akelas yang kosong.
Mereka mengangguk.

"Kak, berita tentang lo itu benar?"

"Kalau iya?"
Dina dan Sofi menggeleng tak percaya, semua itu benar adanya.

"Gue minta tolong, kasih tau ke Dea buat nemuin gue pulang sekolah besok, di gudang belakang, makasih," ucap Aksa dan langsung berlalu.

"Ga bisa kak! mau lo apain Dea? Ga ada yang tau kan, kalau tiba-tiba lo jadi ayah lo dan nyakitin Dea?!"
Karena terkejut akan perkataan Dina, Aksa sampai berhenti dan berbalik.

"Lo benar, tapi kayaknya, gue ga bisa bunuh kehidupan gue yang satu itu."

***

Dea menaruh ponselnya setelah permainan cacing itu mati. Pikiranya kalang kabut entah kemana, merasa ada sebuah beban yang mengganjal namun ini lebih dari sekedar beban. Ini seperti sebuah meteor yang dihantamkan keras menuju nya, sangat sakit.

"Dek, ada Dina sama Sofi tuh di depan."

"Iya mak, suruh ke kamar aja. Dea lagi malas keluar."

Akhirnya masuklah kedua sahabatnya itu ke dalam kamar Dea yang sangat gelap. Dina dan Sofi sudah mengetahui kondisi temanya, jadi ia tidak akan bertanya aneh-aneh untuk tidak memperburuk situasi.

"De, lo ga pa-pa?"

"Nggak, sini tidur," dipersilahkan begitu, kedua temanya pun mengambil sisi kanan dan kiri Dea. Mengapit Dea di tengah-tengah mereka dengan selimut hingga leher.

"Di luar hujan loh, tapi ac lo dingin banget," protes Sofi yang mulai kedinginan walaupun menggunakan selimut.

"Gue lagi malas matiin, lo aja kalau mau."

"Lo kenapa sih De? Lo kan bisa cerita ke kita. Emang kita siapa lo sih de? Kayak ga ada harga nya banget kita di mata lo."

Fiets PrinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang