Tak lama setelah kami selesai makan kami pun saling diam. Tidak, bukan kami hanya aku saja yang diam. Aku masih lapar tapi masa iya aku memesan makanan lagi, rasanya tidak mengingat ususku yang harus minum yakult ini."Hai" Suara sapaan itu mengalun lembut di telingaku. Aku mendongak, mencari siapa yang menyapa. Ternyata Vania, aku balik menyapanya "Hai, apa kabar kak?"
"Alhamdulillah baik, kamu?"
"Ya kaya yang kakak liat" jelasku sambil tersenyum. Aku tak tau apa spesialnya dari percakapan pertama kami hingga mereka yang ada disana melihat secara intens.
Yah, aku belum pernah bertemu dengan Kak Vania aka pacar Anan itu. Bahkan bertemu dengan Anan saja baru dua kali sekarang. Setelah saat itu, aku lost contac dengan anan. Tak perlu ditanya saat itu ada apa, karena itu tak cukup menarik untuk dijelaskan.
Dan tentang vania? Aku sempat melihat akun sosial media nya beberapa kali, tapi setelahnya tidak. Pencarianku tentang pangeran sepeda putih lebih penting. Lalu saat ini aku mempunyai kontak vania. Aku tak tau darimana ia mendapatkan nomorku, memang sih beberapa kali kami sering bertelpon bareng, ya karena waktu itu masih ada anan.
Ah sudah lupakan saja.
***
Aku kembali pada goesan sepedaku setelah lampu hijau pada palang sebelah kiri ku menyala. Sambil terus mengayuh sepedaku, untuk yang sekian kali nya aku teringat akan pangeran sepeda putih. Saat ekspresi wajahnya yang serius memandang jalan, dan juga goesan sepeda nya yang sangat kuat.
Aku mencoba menirukan wajah seriusnya dibalik maskerku. Lalu detik selanjutnya aku terkekeh sendiri, untungnya aku memakai masker. Jika tidak, pasti aku sudah dikira orang gila oleh pengendara lain.
Sampailah aku pada lampu merah kedua, hanya sedikit goesan lagi, maka aku akan sampai pada rumahku. Aku mengedarkan pandanganku ke arah para pengendara motor. Ternyata Indonesia banyak banget yang mengendarai motor, aku tak tau kenapa mereka memilih motor? Kenapa tidak dengan sepeda seperti ku? Iya sih, aku tau itu melelahkan tapi setidaknya jika jarak yang mereka tuju tidak jauh kenapa harus buang-buang uang untuk membeli bensin motor kan?
Sampai tatapan wanita yang sedang berboncengan dengan seorang laki-laki itu menarikku untuk menatapnya balik. Ia melihat keseluruhan dari sepedaku dan tentu saja ia melihatku. Lalu ia memeluk si laki-laki itu yang sudah pasti pacarnya. Laki-laki itu juga memegang tangan sang pacar di perutnya, lalu memindahkan tangannya sendiri ke lutut si wanita. Mengelusnya secara perlahan hingga lampu hijau menyala.
Itu cowo tukang pijet kali ya.
Kataku dalam hati dan langsung bersiap-siap menggoes, tapi tidak. Aku tetap diam, rasanya tubuhku menjadi batu saat ini.Aku melihatnya. Benar-benar melihatnya. Percayalah aku tidak bohong. Aku melihatnya, itu benar-benar dia. Pangeran bersepeda putih lewat didepanku?? Sepedahnya masih sama!!
TIIIN!!! TIN! TIIIINN!!!
Dengan cepat aku kembali pada kesadaranku, dan menggoes sepeda dengan kencang. Mencari keberadaan pangeran bersepeda putih yang aku yakin tak jauh dari jalan menuju rumahku.
"Aduuh itu truk ayam ngapain di depan sih ah. Ngalangin aja" gerutuku kesal. Sungguh rasanya aku ingin menyabuni semua ayam-ayam yang tak berdosa itu. Ini bau sekali!!
Aku terus mengayuh dan akhirnya aku bisa menyalip truk ayam itu, sedikit lebih baik karena bau mereka tidak sampai merusak otakku. Tapi, aku kehilangan jejak.
Ah sial, truk ayam!
Aku sampai tepat di depan rumah, gerbang tertutup. Ah rasanya aku ingin menabrak gerbang saja agar aku tak perlu capek-capek turun untuk membukanya. Sayangnya jika itu terjadi maka namaku akan hilang dari kartu keluarga. Saat aku akan turun, aku melihat ibuku datang dari rumah bu niken. Dan langsung saja kupanggil.
"Mak!!!!" teriakku
Ibu yang aku panggil 'mamak' itu pun berlari kecil kearahku."Apasih dek? Kamu tu teriak-teriak kaya di hutan aja. Ada tetangga tau!" omelnya.
"Hehe maaf deh, tolong bukain gerbang dong mak. Mager turun nih" pintaku dengan melas. Akhirnya ibu membuka gerbang untukku, bukankah ibu yang sangat idaman?
Aku memarkir sepedaku di samping sepeda motor ayah. Lalu duduk di salah satu kursi yang ada di teras rumah, ibu mengikutiku dan duduk di kursi lainya.
"Dek"
"Apa?"
"Tadi kan ibu dari rumah bu Niken, trus anaknya baru dateng dari Bandung"
"Trus?"
"Kamu tau ga dia ngapain di Bandung?"
"Nggak, jual somay paling?" jawabku ngawur.
"Heh ngawur aja kamu. Dia itu selesai pelatihan buat olimpiade matematika dek, pinter banget ya dia. Pengen deh punya anak kaya dia, pinter matematika gitu"
Aku malas menanggapi hal seperti ini, selalu saja. Ibu selalu memuji anak tetangga di depanku, karena prestasi matematika lah, karena mereka cantik lah, mereka yang selalu mendapatkan rangking satu dan apalah lagi, aku sudah muak akan hal itu.
Bukan karena aku iri, tapi aku malas saja jika ujung-ujungnya ibu akan bilang "coba kamu kaya dia dek" dan udah dipastiin sebentar lagi ibu bakal bilang itu.
Satu
Dua
Ti-
"Coba kamu kaya dia dek"-Ga. Lanjutan angka sekaligus jawaban buat ibu.
Dan bodohnya aku, aku selalu mengatakan "Iya" dengan anggukan kecil. Kebodohan itu saat ini aku lakukan untuk yang beribu kalinya.
Salam hangat :)
Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir batin.Onlydrpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiets Prins
Teen FictionTentang gadis yang bertemu kembali dengan seseorang yang selama ini ia kenal dengan nama pangeran sepeda putih. Bukan cool boy, bukan pula bad boy. Hanya pangeran sepeda putih yang melekat pada dirinya. "Mingkem" "Ha?" seketika itu juga aku menutu...