Dea dan teman-temannya lengkap dengan Juna sedang bersenang-senang di malam hari yang dingin ini. Tapi saat api unggun tadi, Dea hanya merasakan bosan karena lagu galau yang dinyanyikan oleh siswa lain. Dan pikiranya pun mengingat ke Aksa, membuatnya semakin suntuk dan ingin membubarkan api unggun itu segera."Ayo keluar, Juna udah ada di gerbang. Anak-anak juga udah pada mulai tidur."
Jam sudah menunjukkan pukul 23.15 mereka bertiga keluar dengan berhati-hati agar tidak ketahuan. Dengan pakaian piyama yang masih melekat pada tubuh mereka, membuat Dea berpikir bahwa mereka akan party piyama di alam bebas.
"Mau kemana malam-malam begini?"
"Mencari kehangatan," ujar Dina yang langsung memeluk Juna dan jalan mendahului kedua sahabatnya.
Dea memandang dua sejoli itu dengan tatapan jengah, dan menarik Sofi untuk segera menyusul. "Cari makan aja yuk!" dan dibalas anggukan oleh Sofi.
Malam semakin gelap, bahkan toko makanan pun sudah banyak yang tutup. Dina dan Juna sudah pergi entah kemana, meninggalkan dua orang yang jarang keluar selain ke sekolah.
"Gelap De."
"Gue tau."
"Gue takut."
"Gue nggak."
"Balik aja yuk."
"Udah, jalan aja."
Mereka melanjutkan jalanya walaupun merasa takut dengan gelapnya jalan sekitar. Sampai Dea berhenti dan Sofi pun menubruk Dea yang berhenti mendadak.
"Aduh. Kenapa sih de?"
"Kak Aksa?" matanya terpaku melihat Aksa dengan sepeda di sampingnya. Begitu pun dengan Aksa yang terkejut bertemu dengan Dea.
***
"Di sekolah lagi ada kemah ya?"
Dea mengangguk.
"Terus lo kabur?"
Dea menggeleng.
"Terus kenapa malam-malam keluar? Bahaya Dea," suara Aksa yang rendah dan lembut itu membuat Dea yang sedari tadi menunduk menahan tangis menjatuhkan air matanya.
"Lo sakit?"
Dea menggeleng lagi.
"Terus kenapa nunduk?" tanya Aksa yang memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Dea.
Dengan sigap Dea mengelap air matanya dan duduk tegak menatap Aksa."Kak, lo kenapa ga ke sekolah?"
"Itu, gue lagi ada urusan," berapa banyak lagi kebohongan yang akan terlontar dari Aksa, pikiranya sudah amburadul.
"Urusan sama Sheryl?"
"Lo tau-"
"Cewek yang dateng tiba-tiba di kebun belakang. Dan lo ninggalin gue disitu lengkap sama sarung lo."
Aksa ingat, ia memutar kembali ingatanya. Ia benar-benar lupa jika Dea bersamanya saat itu, semuanya begitu kacau.
"Maaf, gue ga inget-"
"Ga apa-apa. Lo kenapa malam-malam di mini market?"
"Gue.., lagi laper," Dea mengangguk, tak lama kemudian sosok Sheryl keluar dari mini market tersebut dan menghampiri Aksa.
"Nih," ucap Sheryl dan memberi sebuah rompi staff mini market itu. Dea dan Aksa saling bertatap mata, banyak pertanyaan di kepala Dea, kenapa selalu ada Sheryl di setiap ia bersama Aksa, siapa itu Sheryl dan rompi mini market? Itu semua membuatnya semakin muak.
Tak ingin berlama-lama, Dea berdiri dan membuat Sofi yang sedari tadi duduk di sebrang pun ikut berdiri.
"Gue balik kak, udah malam," ucapnya dan segera berjalan meninggalkan Aksa.
Aksa berdiri dan berteriak dengan suara sedikit lantang "Dea, Senin gue sekolah!"
Dea berhenti namun tak berbalik. Ia malah menggandeng tangan Sofi dan kembali berjalan membiarkan Aksa dengan segala keresahanya.
"Gue datang di waktu ga tepat ya?" tanya Sheryl yang peka akan keadaan itu.
.
.
.
Hari Senin, Dea masih mengingat perkataan Aksa malam itu. Dea yang sedang mengikat sepatu nya, mendongak melihat ayahnya mengklakson motor dan sudah siap berangkat.Sepanjang jalan menuju sekolah, ia hanya memikirkan bagaimana saat ia bertemu dengan Aksa nanti, atau apakah dia tidak akan bertemu dengan Aksa lagi. Apa ia akan berbicara biasa dengan Aksa atau malah hanya bertukar pandangan dan berlalu begitu saja.
"Kamu ga apa-apa de?"
"Iya yah?"
"Kamu sakit?"
"Nggak kok yah, lagi banyak tugas aja, jadi kepikiran."
Setelah sampai, ia langsung masuk tanpa menunggu sahabatnya, karena ia tahu jika kedua sahabatnya itu telah sampai terlebih dahulu darinya untuk menjadi petugas upacara. Ia berjalan santai menuju kelas yang sangat jauh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiets Prins
Teen FictionTentang gadis yang bertemu kembali dengan seseorang yang selama ini ia kenal dengan nama pangeran sepeda putih. Bukan cool boy, bukan pula bad boy. Hanya pangeran sepeda putih yang melekat pada dirinya. "Mingkem" "Ha?" seketika itu juga aku menutu...