"Apa kau tidak ingin menikah dengan putraku, Nak?" Suara itu adalah suara ayah Tin, Tuan Thrai yang dengan cepat di keluarkannya saat melihat Can sudah akan meninggalkan meja makan. Jika tak bicara sekarang, tuan Thrai merasa anaknya akan lebih menderita seumur hidupnya karena Can tak bisa menerima cinta putranya tanpa restu darinya.
Tin melotot tak percaya, begitu juga dengan keluarga Kengkla, serta Techno yang rahangnya sudah hampir lepas dari tempatnya. Nyonya Medthanan tersenyum simpul ketika akhirnya suaminya sanggup untuk mengucapkannya langsung pada calon menantunya.
"Tidak ingin menikah dengan putraku bungsuku, Can?" Tanya Tuan Thrai lagi setelah Can menghadap ke arahnya dengan wajah tak percaya.
"Paman tidak sedang bercanda kan?" Tanya Can memastikan. Tuan Thrai tersenyum lucu, merasa jika ekspresi wajah Can sangatlah lucu dan menggemaskan..
"Bagaimana bisa seseorang sepertiku bercanda mengenai kebahagiaan putraku? Maafkan aku sudah membuatmu takut tadi." Tuan Thrai bertanya dan meminta maaf secara beriringan. Tuan Thrai menatap putranya dan tersenyum dengan sangat hangat pada putranya.
"Nak, berhentilah marah-marah. Kau punya pacar yang baik dan menggemaskan seperti ini, jika kau marah-marah padaku terus bisa-bisa kerutan di wajahmu bertambah dan wajahmu menjadi semakin tua, apa kau tidak takut pacarmu di kejar-kejar pria lain?" Tuan Thrai bertanya pada anaknya dengan nada meledek.
"Yang benar saja!! Lagi pula Can tak akan meninggalkanku!" Tin menghembuskan nafas kasar setelahnya.
"Dia tak akan meninggalkanmu, tapi anak seperti Can banyak yang mengejar di luaran sana." Kata tuan Thrai. "Bagaimana jika orang itu lebih tampan, lebih kaya dan lebih baik dari pada kau, Tin? Kau masih tak takut?" Tanya Ayahnya mengancam.
"Hentikan suamiku! Jangan meledek putramu terus, kau tidak lihat bagaimana ekspresi marahnya tadi?" tanya Nyonya Medthanan pada suaminya. "Tin begitu menakutkan dan dingin, tapi begitu kekasihnya menyuruhnya, Tin langsung merubah ekspresinya." Kata Nyonya Medthanan kesal.
Wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya menuju tempat duduk calon menantunya, menangkupkan tangannya pada kedua pipi Can, mencubitnya gemas dan kemudian tersenyum dengan sangat cantik.
"Can, terimakasih sudah mau menerima putraku yang dingin dan menyebalkan ini." Tunjuknya pada Tin. "Jika dia memarahimu atau mendiamkanmu, katakan padaku na. Biar aku yang akan memberinya pelajaran." Katanya dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat. "Ahh panggil aku mah atau Ibu dan panggil suamiku Ayah, kami sudah menganggapmu menantu keluarga ini jadi jangan sungkan na~"
"Mah, jangan membuatnya takut dengan ekspresimu itu." Sungut Tin.
"Sudah bahagia sekarang, Tin? Ayah tak akan menuruti ego lagi. Ayah dan Ibumu hanya ingin kau bahagia seperti kata Om-mu." Ucap Ayahnya tenang, menatap adiknya yang masih bingung.
Ekspresi lega muncul pada wajahnya yang tadi bersitegang dengan Tin, tersenyum dengan penuh rasa syukur. Pasangan suami istri itu hanya ingin melihat senyum anaknya lagi yang begitu mereka rindukan, dan sudah mengalah dari rasa egoisnya demi kebahagiaan putra mereka.
Setidaknya keduanya ingin menyembuhkan luka di hati Tin yang menganga begitu lebar dan dalam dengan restu yang mereka berikan.
Apapun akan mereka lakukan demi meruntuhkan dinding es yang dibangun Tin, keduanya merindukan senyuman manis putranya dan ekspresi bahagia putranya yang membuat hati mereka tentram. Mereka tak akan tega membuat Tin semakin menderita dengan memisahkan Tin dari orang yang sangat dicintainya.
"Phi, selamat ya akhirnya Phi bisa mendapatkan restu Paman." Kengkla menunjukkan kedua jempol tangannya ke arah Tin, memberikan apresiasi.
Techno yang masih tak mengerti dengan keadaan hanya diam mengamati kekasihnya bicara dengan kakak sepupunya meskipun hanya melalui tatapan mata. Sesekali tersenyum kearah tuan Kla, calon mertuanya karena calon ibu mertuanya menyunggingkan senyum kearahnya.
"Kla, kenapa tidak terkejut juga seperti Ayahmu?" Tanya Tuan Thrai pada keponakannya.
"Karena aku merasa kali ini paman takkan berkeras hati pada P'Tin." Jawab Kengkla dengan nada khasnya.
"Istriku, kau tak berkata apa pada keponakanmu?" Tuan Thrai kini bertanya pada istrinya yang duduk di sebelahnya.
"Tidak!! Bukankah kau mengajakku mengobrol berdua tadi sore? Bagaimana bisa aku mengabari keponakanmu atau bahkan bicara padanya?" Nyonya Medthanan membela diri.
"Bisakah Ayah berhenti menuduh orang sembarangan?" Tin menyela perdebatan orang tuanya.
"Yang tahu apa yang Ayah bicarakan kan hanya Ibumu, tapi ekspresi sepupumu tenang sekali, seperti sudah tahu sebelumnya karena itulah Ayah bertanya pada Ibumu." Tuan Thrai berusaha membela diri.
"Paman, Tante, bisakah berhenti bertengkar?" Kali ini Can memberanikan diri untuk bertanya.
"Can. Bukankah sudah ibu bilang panggil ibu dan ayah, jangan paman dan tante." Protes Nyonya Medthanan.
"Maaf, a-ayah, i-ibu." Can tergagap.
"Bisakah ibu pelankan suara ibu? Tidak lihat Can masih takut?!" Sungut Tin. Nyonya Medthanan memelototi putranya sendiri, pura-pura tersinggung dengan ucapan anaknya sendiri.
"Jadi Phi sebenarnya hanya ingin menguji putramu sendiri dan calon menantumu?" Giliran Nyonya Kla bertanya.
Tuan Thrai dan istrinya saling pandang, kemudian menatap anak dan calon menantunya di akhiri dengan pandangannya pada adik dan suaminya.
"Iya, sebenarnya kami hanya ingin tahu seberapa besar pengorbanan anakku dan juga Can satu sama lainnya jadi aku ingin mengujinya." Tuan Thrai menjelaskan. "Hampir saja kekasih hati Tin pergi tadi, jika aku tak bicara mungkin putraku tak akan mau menemuiku lagi bahkan sampai aku tua nanti." Katanya merenung tiba-tiba.
"Phi, kami pamit pulang. Sudah malam dan ada beberapa hal yang harus segera ku tangani." Tuan Kla ijin pulang.
"Phi, cobalah tahan emosimu itu!" Kla mengingatkan Tin. "Terimakasih atas makan malamnya, Paman." Sapanya pada sang Paman ramah.
"Nong, jangan terlalu kaku pada calon menantumu." Kata Tuan Thrai pada adik iparnya.
"Kau yang jangan terlalu kaku pada Can, Tin sangat mencintainya, Phi." Ucap Nyonya Kla mewakili suaminya.
Tuan Thrai berdecak, diikuti dengan Nyonya Medthanan yang mengarahkan atensinya pada Tin yang sudah tersenyum bahagia di kursinya. Ibunya bahagia ketika senyuman itu dapat dilihatnya untuk pertama kalinya setelah keputusan yang salah yang diambilnya dan suaminya hingga membentuk dinding es di hati Tin.
Tuan Thrai, istrinya, Tin dan juga Can mengantar Keluarga Kengkla dan Techno sampai di teras rumah mereka kemudian kembali ke dalam rumah setelah sang tuan rumah meminta semuanya untuk kembali ke dalam. Kini Tin, Can dan orangtua Tin sudah ada di ruang tengah. Tuan rumah menyalakan televisi guna menonton berita bisnis yang ingin di tontonnya bersama Tin, sementara Can masih diam, bingung bagaimana menyikapi dan berbicara didepan calon mertuanya itu. Can ingin pulang tapi jika dia pamit itu artinya lancang, Tin sendiri yang memintanya untuk menginap tapi Can masih bingung dengan kejadian tadi, baginya mendapat restu dari ayah Tin adalah hal yang mustahil.
TBC........
~DI~
Selasa, 28 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
CAN MEDTHANAN?
FanfictionSemua orang terheran-heran bagaimana Mahasiswa imut si CANTALOUPE bisa memporak-porandakan hidup seorang Tin Medtanan dan menjadikannya seorang pacar yang penurut. Padahal dalam kamus hidupnya tak pernah terpikir untuk mengalah atas apapun dan terha...