Bagian 55

2.2K 238 17
                                    

Keesokan harinya.

Can duduk seorang diri di teras rumah besar Medthanan. Mengamati pohon-pohon kecil yang di tanam diatas vas bunga yang berjejer rapi di halaman rumah. Memainkan game di ponselnya dan berhenti setelah merasa bosan. Di meja kecil di teras rumah itu sudah tersedia segelas susu coklat yang menemani Can menikmati pagi harinya.

Sesekali Can tersenyum setelah memenangkan game yang dimainkannya, dia bahkan sanggup tertawa seorang diri. Beberapa kali maid di rumah itu yang bertugas membersihkan halaman juga menyiram tanaman menegur tuan mudanya yang terkenal sangat ceria itu.

Can menyapa mereka dengan riang, sesekali bahkan menawari untuk duduk bersama. Tapi mereka semua menolak dengan sopan dengan alasan pekerjaan mereka yang belum selesai. Dan Can mencoba memahaminya meskipun sebenarnya tidak berpengaruh juga dengan otaknya. Dia pikir karena maid di rumah Tin sangat sibuk dan bekerja setiap hari jadi Can mengangguk saja saat mendengar alasan mereka.

Layar ponsel Can menyala, menampilkan nama seorang sahabat lamanya semenjak kuliah. Pete menelponnya. Can merasa tak ada janji mereka akan bertelpon, karena Can pikir Pete pasti menelpon karena ada suatu hal jadi Can mengangkatnya tanpa banyak berpikir lagi.

Tangannya dengan cekatan menekan tombol hijau di ponselnya dan menempelkan benda persegi empat canggihnya di telinga kanannya, diam sebelum si penelpon yang mengeluarkan suara. Pete menyapanya dengan ceria, seperti ada sesuatu yang menyenangkan.

"Pete, ada apa menelponku?" tanya Can, karena Pete tak segera bicara setelah menyapanya.

Tampaknya Pete juga memastikan jika Can-lah yang mengangkat teleponnya.

"Makan siang bersama, bagaimana?" Pete mengajak dan bertanya dengan hati-hati.

Pasalnya Pete tahu, semenjak kejadian sakit beberapa waktu lalu Tin semakin posesif pada kekasih mungilnya itu. Can bahkan tak dibiarkan ikut membantu para maid di rumahnya untuk membersihkan rumah, bahkan menyapu saja tidak diperbolehkan. Beberapa kali Pete mengirim pesan pada Can dan berakhir dengan Tin yang membalasnya dan melarang Can untuk pergi karena alasan kesehatannya belum sepenuhnya pulih.

Yah, Pete tadi diam setelah menyapa karena takut jika ponsel Can di pegang oleh si tuan muda dingin Medthanan. Takut-takut dia yang kena semprot karena mengajak Cantaloupe yang imut itu untuk bertemu dan makan bersama, Pete mengerti kekhawatiran Tin tentu saja dan berusaha memakluminya.

"Boleh, ayok.." ucapnya riang, "Dimana?" Can bertanya dengan antusias.

Seketika senyum Pete di seberang telpon mengembang, Can bahkan tak mencoba menghindari ajakannya. Memang, Can masihlah Can. Benar kata Ae, mengajak Can makan pasti dengan senang hati anak itu menyetujui.

"Di Café D'Luna," kata Pete dengan mantap, "Bagaimana?" Pete mencoba memastikan pilihan tempatnya tak membuat Can susah mencarinya karena dulu diam-diam dia pernah pergi dengan Can juga tanpa sepengetahuan suami mereka.

Pete tentu saja bercerita pada Ae tentang hal itu dan Ae memaklumi, jika bertemu Can maka tak masalah, katanya. Berbeda dengan Tin dan Can, Tin sempat marah karena Can tak meminta ijinnya, tapi lagi-lagi Can hanya mendiaminya dan berakhir tertidur dengan saling memunggungi. Can tidur dengan nyenyak bahkan pagi harinya sangat segar tanpa ada bekas merah keunguan di lehernya, sedangkan Tin, wajahnya sangat suntuk, tak enak di pandang dengan lingkar hitam di bawah matanya. Mata pandanya benar-benar seperti orang tidak tidur dan berakhir dengan dialah yang terkena omelan dari ibunya sendiri, Nyonya Medthanan. Tin tak bisa tidur karena tak memeluk si mungil dalam tidurnya.

Can tak pernah takut Tin marah, jika Tin marah Can bahkan tak mempedulikannya. Dia bisa pulang ke rumahnya dan mengobrol dengan Ley atau bermain dengan Gucci. Akhirnya, Tin tak mampu menahan rindunya dan memberanikan diri untuk menjemput kekasihnya di rumahnya. Ibu Can memahami jika anak dan calon menantunya sering bertengkar, sifat kedua anak itu sangat berbeda jadi jika beberapa kali bertengkar rasanya wajar.

"Okke...Baiklah!" Can menyetujui dengan riang.

Can dan Pete akhirnya menentukan waktu tepatnya mereka bertemu, dan setelahnya telpon di matikan. Can masuk ke rumahnya dan menaiki tangga lalu masuk ke kamar dan mengganti pakaiannya. Kepala pelayan yang sedang berkeliling melihat tuan mudanya itu masuk kamar dan memutuskan turun ke lantai satu untuk menunggu si tuan muda keluar.

Beberapa waktu kemudian, Can keluar dari kamar dan menuruni tangga setelah tadi menelpon supir untuk mengantarnya. Yah, apapun yang Can lakukan pasti harus berhubungan dengan semua bawahan dari keluarga Medthanan ini. Jika Can tak mau maka tak boleh pergi kemanapun, ancam Tin. Ya sudah, toh semuanya enak. Can mencoba menikmatinya meskipun semua pemberian Tin merubah sedikit kebiasaannya. Ralat, tidak sedikit.

Bibi kepala maid yang sedari tadi berdiri di tengah ruang tamu bertanya setelah Can menuruni tangga, Can menjawabnya dengan riang, dia akan makan dengan Pete. Tentu saja bibi kepala tak menanyakan lebih jauh lagi, pasalnya beliau sudah tahu siapa itu Pete. Si tuan muda teman tuan Tin satu-satunya dulu, bahkan alasan tuan mudanya bertemu dengan seorang Can Kirakorn karena hubungan Pete dengan Ae kala itu.

Can berjalan dengan santai, memunggungi bibi kepala maid di rumah besar Medthanan itu. Seiring langkahnya menjauh, bibi kepala semakin paham dengan kebiasaan tuan mudanya itu kala jenuh, bertemu dengan teman dekat ketika ada waktu jauh lebih menyenangkan. Memahami betapa bosannya Can seorang diri di rumah besar itu, bahkan para maid tak berani banyak berinteraksi dengannya.

Mobil yang disediakan khusus untuk Can sudah berada di depan rumah, pintu sampingnya sudah terbuka seolah siap sedia membawa Can kemanapun tempat yang ingin Can datangi. Tin pasti akan menelponnya nanti ketika Can sudah menjauh dari rumah, tunggu saja setengah jam paling lama dan seorang Tin Medthanan akan menelpon tunangannya lalu bertanya apa yang sedang dilakukan. Tahu kenapa begitu? Karena Tin memasang GPS pada ponsel Can, ponsel mereka sama dan tentu saja memudahkannya untuk menyambungkan GPS-nya dengan ponsel Can. Karena itulah kemanapun Can pergi, Tin akan tahu. Bibi Kepala tak perlu bersusah payah memberi laporan pada tuan mudanya itu tentang kepergian Can dari rumah.

Lima belas menit setelah memasuki mobil, dalam perjalanan menuju Café D'Luna, ponsel Can berdering. Tanpa melihat ke layar ponselnya, Can menghiraukannya. Membiarkan si penelpon dengan tidak sabarannya terus mengulang panggilannya. Hingga akhirnya ponsel Can berhenti berdering. Tergantikan dengan pesan dari line yang berulang kali dan berujung dengan Can yang merasa terganggu, dengan segera meraih ponselnya dan melihat isi pesan yang masuk.


From : Tin

"Mau kemana?"

"Sudah ku bilang istirahat di rumah,"

"Mau sakit lagi?"

"Can~"


Isi pesan Tin semuanya mengandung kekhawatiran, Can mencoba mengerti tapi bukan berarti Tin bisa mengekangnya. Dia butuh bertemu teman juga, Can bosah setengah mati sendirian di rumah besar milik calon suaminya itu.

"Mau bertemu teman."

"Jangan marah tuan muda, nanti aku akan mengabarimu lagi."

Hanya dua baris pesan, dan tidak ada notif yang masuk di ponsel Can lagi setelahnya. Can yakin Tin sudah membacanya. Nanti, Can berniat menelpon calon suaminya itu saat sudah berada di tempat tujuan. Takut-takut, Tin justru menyusulnya di tengah-tengah rapat pentingnya. Lucu sekali jika nanti karyawannya bergunjing tentang CEO-nya yang kabur menyusul calon istrinya karena terlalu khawatir. Padahal hanya makan siang di luar dan Tin Medthanan sudah takut setengah mati.

TBC.....



~ DI ~

Selasa, 10 September 2019


CAN MEDTHANAN?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang