Bagian 53

2.2K 246 15
                                    

Can sudah pulang beberapa hari yang lalu, jam sembilan pagi baru turun dari kamarnya. Bangun jam delapan dan tidak mendapati Tin disekitarnya, dia pikir Tin berangkat bekerja tanpa membangunkannya. Langkah kakinya langsung menuju dapur dan di ruang tengah mendapati para maid melihat kearahnya dengan senyum yang merekah dibibir mereka.

"Bibi, kenapa semua maid menatapku dan tersenyum seperti itu?" Can menunjuk para maid yang sudah bekerja kembali, berperilaku seperti biasa.

"Tuan muda ingin makan sesuatu?"

Bukannya menjawab, bibi kepala justru menanyakan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan apa yang ditanyakan Can.

"Iya lapar!" Suara Can nyaring, "Uh tapi dimana Tin, Bi? Apa sudah berangkat kerja tanpa membangunkanku?" tanyanya dengan wajah yang menggemaskan.

Bibi kepala tersenyum, sebenernya semua maid tertawa bukan karena Can lucu atau semacamnya, tapi karena dileher Can banyak tanda merah, ditengkuk dan di perpotongan leher dengan dada. Can sepertinya tak memperhatikan badannya pada cermin besar di kamar Tin, dia bertingkah seolah biasa saja dengan apa yang ada pada tubuhnya dan karena para maid biasa tersenyum padanya jadi dia tak mempermasalahkan para maid itu.

Sebenarnya mereka sudah biasa dengan hal itu, hampir setiap waktu tanda merah itu terekspos seusai Tin dan Can tidur diranjang yang sama. Hanya saat Can sibuk dan Tin sedang perjalanan luar negeri lah Can tak memiliki tanda merah. Selebihnya hampir setiap waktu Tin tak membiarkan kekasih mungilnya itu berkeliaran di rumahnya tanpa tanda merah, bahkan saat Can pergi pun tanda merah itu masih cukup terlihat meskipun sudah ditutupi foundation.

Asal tahu saja, sejak pulang dari rumah sakit, Can jadi lebih suka berlari-lari kecil didalam rumah keluarga Medthanan. Satu-satunya penghuni rumah yang sangat menghibur bagi para maid dan juga koki di rumah besar itu. Seorang pria mungil dengan tingkah seperti anak kecil dan satu-satunya yang dengan leluasa bahkan menghampiri kedua mertuanya yang sedang menikmati hidangan pagi dengan tingkah bocahnya.

"Tuan muda sudah berangkat ke kantor dari setengah tujuh, dan tadi tuan muda memberi perintah supaya tidak membangunkan tuan muda Can yang sedang beristirahat." Bibi Kepala menjawab seadanya.

"Tin! Aku kan sudah bilang bangunkan aku di pagi hari, kenapa tidak membangunkanku huh? Melarang bibi pula! Apa-apaan dia itu, seenaknya saja!" Can menggerutu dengan nada kesal yang dikeluarkan karena sudah sampai di ubun-ubun.

Kakinya dihentak-hentakkan dengan kesal, tapi menuju dapur dan bertatap muka dengan sang koki. Seperti biasa, Can jika sudah bertemu orang yang dia sukai dan teman mengobrolnya maka akan lupa dengan kekesalannya tadi.

"Bisakah aku minta nasi goreng?" tanyanya saat sudah sampai di meja tepat didepan sang koki menyiapkan makanannya.

"Maaf tuan muda, tapi tidak boleh," jawab sang koki singkat, "Anda masih pemulihan dan juga harus minum obat jadi tidak boleh makan nasi goreng, lebih baik nasi putih dan beberapa tumis sayur bagaimana?" tanya sang koki setelah melihat wajah tuan mudanya cemberut karena dilarang makan sesuatu yang diinginkannya.

Can menekuk kedua lengannya didepan dadanya dan berpose dengan bibir yang dipoutkan, kesal pada sang koki karena melarangnya. Dia baru saja merasa bebas karena Tin si dominan itu sedang pergi bekerja tapi ternyata semua maid dan bahkan kokinya sudah diberi tahu tentang apapun yang tidak boleh Can lakukan dan Can makan.

"Can....ada apa nak? Kenapa wajahmu cemberut seperti itu hum?" seorang wanita paruh baya menyapa Can karena mendengar suara Can dari arah dapur.

Nyonya Medthanan akhirnya menghampiri sang menantu yang sedang menekuk tangannya dengan wajah yang kesal dan bermaksud untuk menyapa.

"Tidak apa-apa bu, hanya ingin makan tapi Tin melarangku!" rengeknya dengan bibir yang dicebikkan.

"Bukan melarang, tapi Dokter yang memperingatkan. Berhenti marah pada putraku ya nak?" tanyanya dengan suara tenang.

Can memasang pose berpikir diatas meja yang tadi dijadikan sandaran kedua tangannya, seperti menimbang-nimbang apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya. Wajahnya berubah menjadi penuh senyum seolah mengingat, didetik selanjutnya rona merah tercetak jelas pada pipinya.

"Baiklah... tapi Can bosan di rumah, boleh jalan-jalan?" tanyanya dengan hati-hati, nadanya jadi formal.

"Tentu saja boleh, mau ibu temani?" tawarnya setelah memberi ijin.

"Can hanya ingin ke kampus, melihat lapangan luas yang dulu menjadi tempat berlatih sepakbola bersama teman-teman." Jawabnya sesingkat mungkin.

Nyonya Medthanan tersenyum simpul, entah kenapa perempuan paruh baya itu sekarang jadi murah senyum, sejak hubungannya dengan anak bungsunya membaik, dirinya jadi lebih bahagia merasa bahwa kebahagiannya telah lengkap. Meskipun calon menantunya bukanlah seorang gadis tapi Nyonya Medthanan mencoba menerimanya dengan lapang dada mengingat bagaimana Can merubah Tin menjadi pribadi yang baik dan terbuka. Sifat Can yang menurutnya sangat menggemaskan dan juga terkadang bertingkah seperti Can yang diceritakan oleh putra bungsunya, ceria dan juga pemberani, jadi Nyonya Medthanan menguatkan hatinya untuk menerima seperti apapun tingkah laku Can. Dengan Can yang hampir setiap hari berada di rumah besarnya, kebahagiaan datang silih berganti seolah anak itu seperti sihir yang mampu merubah sifat banyak orang tanpa disadarinya.

Hubungannya dengan sang putra yang kian membaik, hubungan kedua putranya yang semakin akur, juga hubungannya dengan suaminya, Tuan Medthanan menjadi lebih harmonis dari sebelum Can memasuki kehidupan mereka. Tin menjadi penurut sejak sang ayah merestui hubungan Tin dan Can, Ayahnya mengerti ketika sang putra bersikeras memilih Can dari pada kedua orangtuanya ketika diminta untuk memilih. Kini, dirinya tak menyesal pada pilihan putranya. Can bukanlah orang biasa, pria dengan sejuta kebaikan yang telah melekat pada dirinya, pria dengan tingkah manis dan tak tahu malu, pria yang paling berani memperingkatkan Tin ketika Tin salah dan juga menegurnya, bahkan didepan orangtua Tin.

"Jadi tidak boleh ikut ya?" Nyonya Medthanan memasang wajah sedihnya. Berlagak seperti orang yang baru saja mendapat penolakan dari putra kecilnya.

"Bu-bukan begitu ibu....." Can tergagap, "Boleh ikut, tapi aku merasa tidak pantas datang dengan ibu, aku hanya pria biasa." Katanya dengan kepala tertunduk.

"Siapa bilang? Tin menganggapmu terbaik, begitu juga dengan ibu dan ayah," Nyonya Medthanan tak ingin Can terus bersedih karena ucapan 'pria biasa' dan 'tidak pantas' yang selalu terucap ketika dirinya atau suaminya mengajak Can ke suatu tempat tanpa Tin disisinya. Perempuan paruh baya itu tak ingin mendengar kata-kata seperti itu.

Kata-kata seperti itu tak boleh keluar dari mulut calon menantunya sendiri, Tin yang memilih Can menjadi tempat terakhir hatinya berlabuh jadi sang ibu takkan mau mendengar kalimat merendahkan seperti itu lagi.

"Jangan berkata seolah kau tak pantas bersanding dengan keluarga kami Can, adikmu selalu membanggakan kakaknya yang manis dan baik hati. Kau itu lebih dari segalanya untuk Tin, jadi jangan berkata seperti itu! Ibu tidak suka mendengarnya."

Can mengangguk lemah, merasa bersalah pada ibu mertuanya karena mengatakan hal tersebut. Lalu dengan ceria mengatakan bahwa ibu mertuanya boleh ikut bersamanya, tanpa ada kata-kata yang merendahkan dirinya sendiri. Juga ibunya mengangguk dengan bahagia.

TBC......

Sekalian sama episode satu FF baruku, gimana?

Mungkin ada yang kurang suka genre fantasi, tapi udah ku usahakan kok kalian biar nyaman bacanya. Dan tetep 2Wish dong castnya.

Jangan lupa mampir ya, pokoknya kalau kalian udah paham tulisanku sama gimana aku gambarin karakternya pasti bakal nyaman ajja ngikutinnya meskipun beda genre.

Duhh,....malah jadi bawel....


~ DI ~

Rabu, 04 September 2019

CAN MEDTHANAN?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang