"Kalau kamu udah capek, kenapa gak bilang?" Tanya Ares.
Aku masih acuh tak acuh dengan obrolan kami ini. Lagi, dari sekian masalah kecil yang membengkak membuat perasaan kami berdua meradang.
Padahal sudah hampir 5 tahun bersama. Kami sudah terbiasa bertengkar. Sudah terbiasa saling memaafkan juga. Namun entah kenapa, hari ini aku sudah muak.
"Kita terus saja begini. Aku juga capek, kita sama-sama capek." Ares melanjutkan ucapannya, "Sekarang pertanyaanku, akhiri? Atau lanjut?"
Aku terdiam. Cukup lama sambil memainkan foam dari cappucino yang kupesan.
"Delyn jawab aku."
Aku menatap sepasang manik bewarna biru milik Ares. Entah bagian diriku yang mana saat ini, namun keputusanku bulat.
"Kita akhiri saja."
--
"Kamu putus sama Ares-?!" Teriak sahabatku, Rene.
Seminggu berlalu setelah akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengan Ares. Aku baru menceritakannya pada Rene karena aku ingin membiarkan diriku menyembuhkan dirinya sendiri dan mulai kembali beradaptasi dengan suasana baru tanpa seorang kekasih.
"-Tapi kenapa? Padahal kalian baik-baik aja, kan?"
"Baik apanya? Kamu kan tau masalah aku sama dia tiap hari." Jawabku malas, seraya membayar secangkir teh hangat di kantin. Kami kembali melanjutkan obrolan sambil berjalan menuju kelas.
"Iya sih, emang masih belum beres? Apa sih? Ares sembunyi-sembunyi ngobrol sama adik tingkat, ya? Atau dia deket sama cewek lain? Wah si bangsat satu itu."
"Ya aku sih gak masalah dia mau ngobrol sama siapapun. Yang jadi masalah kenapa dia gak bilang sama aku. Walaupun bukan itu masalah utamanya sih."
"Aku paham. Tapi aku kira kalian udah selesaikan masalah ini? Sayang banget sih udah 4 tahun lebih, kan? Bahkan selama SMA kalian baik-baik saja kupikir? Oh, kayaknya obrolan kita sampai di sini aja. Gak kusangka Pak Zaidan masuk lebih awal."
Aku duduk di bangkuku dan bersiap dengan mata kuliah pertama hari ini. Bersyukur Pak Zaidan datang lebih awal dan menghentikan keran bocor bernyawa bernama Rene.
Sekilas aku melihat Ares berjalan di lorong di luar kelasku dari lawang pintu.
Ia bercanda dengan teman-temannya, bagaikan tak pernah ada masalah apapun yang membebaninya. Hebat. Andai aku juga bisa.
Namun jika kupikir lagi, dia memang pantas terus berada di kebahagiaan. Karena seorang Aresta Riazki, pria berumur 22 tahun keturunan Australia itu termasuk pria populer di kampus ini.
Ketua himpunan dengan tinggi 189cm, tubuh atletik, mata ocean dan senyumnya yang menawan itu tak pernah ada yang menolak. Kemahirannya dalam segala bidang olahraga dan akademik pun menjadi nilai tambah yang membuatnya mendapat julukan 'Worthy Prince'.
Ya, dia layak di mana pun dia berada.
Tidak terkecuali aku yang juga pernah jatuh cinta mati-matian padanya. Aku yang kenal dengannya kala duduk di bangku SMP merasa sangat beruntung bisa berada dalam ruang lingkupnya.
Kala itu keluarganya memilih untuk menetap di Indonesia, dan tinggal tepat di sebelah rumah keluargaku. Namun setahun kemudian orang tuanya harus kembali ke Aussie untuk sebuah pekerjaan. Diminta untuk hidup mandiri dan terlanjur nyaman di sini, Ares dan kakaknya memilih untuk tinggal.
Mereka berdua secara tidak resmi menjadi anak angkat orang tuaku karena Mama senang sekali merawat mereka. Belum lagi karena aku anak tunggal, keberadaan mereka berdua sangat disyukuri.
Kami begitu dekat hingga akhirnya kami menyadari simpul benang merah yang menyatukan aku dan Ares.
"Baiklah, Delyn, apa kelasku begitu menarik hingga membuatmu melamun menatap papan tulis penuh dengan coretan?" Ucapan Pak Zaidan membuyarkan lamunanku.
Semua orang di kelas tertawa dan aku meminta maaf dengan wajah merah padam.
-
Aku menoleh sedikit ketika melewati kelas Pak Zaidan. Kelasnya Delyn.
Hampir 5 tahun bersama, namun sayang, sebulan sebelum tepat kami bersama di tahun kelima, hubungan ini harus kandas karena satu dari sekian kesalah pahaman.
Kami sudah terbiasa menghadapi masalah dan menyelesaikannya bersama. Namun kali ini, kami menyerah.
"Res, ini dari Mochi, proposal buat event nanti." Temanku memberikan dua lembar surat yang harus kutanda tangani.
"Sankyuu."
"Ngomong-ngomong, lu beneran putus sama pacar lu?"
Aku menoleh, "Tau dari mana?"
"Power of gosipan cewek."
"Parah."
"Jawab hey."
"Iya putus."
"Kenapa?"
"Harus gue kasih tau?"
"Gak sih, tapi kepo gue."
"Makan tu kepo."
Sementara temanku mendumal, aku kembali mengurusi surat di mejaku. Tentu saja, sadar dengan obrolan beberapa cewek kelas sebelah.
"Aresta jomlo, nan."
"Oh iya?! Eh ada orangnya," berbisik, "Wah akhirnya pangeran milik kita."
Aku memutar bola mataku tak acuh. Bosan dengan obrolan wanita yang merebutkan ku. Toh aku juga tidak ingin menjadi milik kalian.
Maaf saja jika ekspektasi kalian jatuh, aku bukan pria baik hati layaknya pangeran berkuda dalam imajinasi kalian. Aku mengakui kalau aku tidak begitu suka dengan orang-orang. Mereka merepotkan dan hanya memandang hal apapun dari fisiknya.
Aku tau semua isi topeng kalian dengan fisikku ini.
"Tapi serius deh, setelah akhirnya lu dapet pacar, kenapa lu putus sama dia? Sayang banget 5 tahun" Varrel kembali bawel.
"Hubungan lama gak menentukan cocok atau engga, rel."
"Iya si, tapi sayang banget. Delyn juga kayaknya cocok buat kamu."
"Tauk. Udah jangan bahas ini lagi napa?"
"Jiwa kepo gue membara."
Aku memang tidak begitu suka dengan beberapa wanita. Namun Delyn berbeda.
Tidak ada alasan khusus aku menyukainya. Dia sama seperti beberapa wanita yang lain, baik hati, pintar, dan menawan. Tapi dia berbeda dan itu alasan aku memilih berpacaran dengannya.
Bahkan setelah kami berpisah,
-Aku masih mengaguminya-
"Apa yang kamu kagumi, Delyn?" Tanya Rene mendengar bisikanku.
Aku menoleh pada Rene kemudian tersenyum. Menggeleng kecil dan kembali fokus pada buku yang ku baca.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still xx You (✓)
Teen FictionPerang berakhir, akhirnya kami berpisah. Namun kami masih terjerat dalam ikatan benang merah yang pernah menyatukan. . Gunting? Atau simpul kembali? Biar waktu yang menjawab.