36 | Epilog

9 1 8
                                    

Empat Tahun berlalu, waktu terasa begitu cepat.

Aku kini melanjutkan pekerjaan dad sebagai direktur bagian di perusahaannya. Banyak lika-liku yang aku alami selama bekerja. Namanya juga dunia kerja, aku tak akan percaya kalau akan lancar-lancar saja.

Walaupun pekerjaan ini sulit, namun begitu banyak yang bisa aku syukuri dari hari-hari yang sudah aku lewati. Juga kabar dari kawan yang lama aku rindukan.

Athena kini sedang berbulan madu di Paris, bersama suaminya, Marshall. Ternyata mereka benar-benar serius dengan hubungan mereka. Aku senang melihat Athena bahagia.

Dan pasangan lain yang aku sudah menduga mereka akan melangkah ke jenjang selanjutnya,

"Varrel!" Panggilku.

Pria yang sedang tertawa dengan teman-temannya itu menoleh. Wajahnya terlihat bahagia sekali melihat kehadiranku. Juga tetap terlihat bodoh.

"Ares!! Gila!! Gue kangen banget sama lu, brad!!" Varrel merangkulku erat sekali. Dasar, dia tidak berubah sama sekali.

"Padahal lu lagi sibuk, tapi bisa nyempetin ke Indo buat dateng ke nikahan gue. Lu emang sobat terbaik, Res." Varrel mengusap-usap matanya yang berkaca-kaca itu.

"Haha gila kali gue gak dateng ke nikahan kedua sobat gue. Tapi gila ya, akhirnya lu bener-bener nikahin dia. Gak sangka lu beneran laki."

"Jahat lu, anjir. Awalnya gue kira dia emang deket ke semua cowok gitu. Dani aja dia rangkul-rangkul."

"Makannya peka."

"Gak mau denger dari orang brengsek kayak lu."

"Ah! Ares!!" Teriak seseorang dengan suara melengkingnya, "Gila, orang tajir dan super sibuk ini beneran dateng!"

Aku tertawa dengan ucapan Rene. Dia terlihat berbeda sekali. Begitu cantik, dari penampilan yang biasa aku lihat. Dia memakai gaun putih dan make up yang membuatnya terlihat indah. Ya, Varrel dan Rene menikah.

"Akhirnya si goblok ini peka sama perasaan lu ya." Candaku pada Rene.

"Iya nih, walaupun udah gue kodein masih aja tolol. Gak disangka akhirnya beneran nikah." Rene tertawa sedangkan Varrel jengkel mendengar ejekan kami.

"Apa kabar, Res? Lu makin tinggi, ganteng pula. Beneran rawat diri walaupun sibuk banget, ya?" Komentar Rene yang kagum dengan penampilanku.

"Ehem." Varrel berdeham.

"Apasi, gue lagi kangen sama Ares juga." Jengkel Rene.

"Iya nih, lagian gue gak bakal rebut istri orang."

"Terserah." Varrel menegak sampanye.

"Siapa lagi yang dateng selain gue?" Tanyaku melirik sekitar.

"Dani tadi ke sini, tapi dia pergi lagi, buru-buru gitu sama kakaknya. Kayaknya urusan kerjaan." Jawab Rene, "Mochi juga dateng, baru pulang."

"Gitu ya? Wah gue beneran gak dapet kabar dari mereka gara-gara kerjaan. Kecuali di-spam kayak sama kalian gini, makanya bisa dateng." Candaku.

"Dasar orang sok sibuk." Jengkel Varrel.

"Ohiya, kalau—"

Belum selesai aku bicara, seorang anak kecil menabrak kakiku dan menumpahkan es krimnya ke celanaku.

"Ah!" Aku terkejut. Sedangkan anak itu menangis setelah menatapku. Entah takut atau kesakitan, atau mungkin karena es krimnya.

"Ya ampun, oliver! Dibilangin kan jangan lari-lari!" Teriak seorang wanita yang menghampiri anak itu. Aku mengerutkan dahi, rasanya aku kenal dengan suara itu.

"Maaf ya, celana anda jadi kotor, biar aku yang—" Wanita itu menghentikan ucapannya ketika melihat wajahku.

"Ah," Ucap Rene, "Dan yang datang hari ini juga, Delyn"

"Ares?" Tanya Delyn. Aku masih tertegun tanpa memalingkan pandangan. Delyn yang aku kenal kini benar-benar berubah penampilan. Rambutnya yang di gerai panjang dengan tubuh yang sudah lebih tinggi dari sebelumnya yang membuatku pangling.

"Hai, apa kabar?" Ucapku pelan sambil tersenyum.

"Baik." Delyn balas tersenyum.

"Yah, sayang, sepertinya kita harus bertemu tamu yang lain yang baru datang!" Celetuk Rene sambil merangkul lengan Varrel.

"Ah benar! Kalau begitu kalian mengobrol lah dulu, ya!" Varrel paham, dua pasangan bodoh itu pun pergi meninggalkan kami berdua. Tidak, bertiga dengan anak ini.

Kami duduk di dekat jendela gedung hotel tersebut. Menyeka celanaku yang kotor dengan tissue yang Delyn bawa.

"Kau terlihat berbeda." Ucap Delyn sambil tertawa kecil.

"Oh ya? Padahal kamu yang benar-benar merubah penampilan."

Kami terkekeh, Delyn tersipu dengan ucapanku tadi.

"Sudah kuduga kau akan sibuk dengan pekerjaanmu. Pesanku sampai tidak ada yang dibalas."

"A-ah, iya maaf. Haha, aku selalu pakai ponsel untuk kerjaan. Jarang buka ponsel yang dulu."

Kami kembali terdiam, canggung lebih merajalela. Mungkin ini pertama kalinya kita bertemu lagi setelah sekian tahun berpisah.

Membuatku yakin akan sesuatu.

"Anak itu—" Aku menatap pria kecil yang duduk disebelah Delyn sambil menikmati es krim.

"Ah, iya, namanya Oliver. Anak pertamaku."

Rasanya aneh. Dadaku seperti tertusuk duri setelah mendengar itu. Sudah kuduga, Delyn akan lebih bahagia tanpa diriku. Bahkan sudah memiliki anak yang lucu.

Jujur, niatan aku kemari, aku ingin kembali bertanya kabar perasaannya padaku. Ternyata hanya aku yang belum move on.

"Dia imut." Jawabku sambil tersenyum.

Delyn juga tersenyum, "Aku sudah mengirim undangan pernikahanku padamu. Tapi kau tidak membalas dan tidak datang. Aku khawatir, tapi syukurlah kalau karena sibuk dengan pekerjaanmu. Aku senang kamu bekerja keras."

"Syukurlah, kamu bahagia, Delyn."

"Kau juga harus bahagia, Ares. Aku tidak ingin bahagia sendirian."

Aku mengangguk, "Aku baik-baik saja."

"Oh iya, bagaimana keadaan kak Athena? Aku dengar dia sudah menikah dengan kak Marshall?"

Aku tersenyum, kami pun mengobrol bersama untuk mengobati rindu. Ini keputusan yang aku buat. Aku tidak bisa merengek untuk kembali pada Delyn. Bahkan Delyn sudah menemukan kebahagiaannya dengan pria yang dicintainya sekarang. Seorang pria keturunan Jepang yang mampu membahagiakan Delyn, lebih dari siapapun.

Life moves on. Aku juga harus terus berjalan tanpa melihat ke belakang dan diselimuti rasa penyesalan.

And i Still love you, Delyn. Aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri sebagai rasa cintaku padamu yang tak sedikitpun padam.

.

.

Fin.

Still xx You (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang