10 | Awal

8 1 0
                                    

-⚠️-

"Dulu kamu suka sama aku juga dengan alasan itu, kan? Orang-orang bisa berubah-"

"-makannya, sama sesuatu jangan terlalu sayang. Nanti kalo ujung-ujungnya kayak gini juga memangnya kamu mau? Lagipula kamu harusnya sadar kalau perasaan kamu ke dia sekarang tuh cuma selewat, percaya deh sama aku."

Aku mendengus kesal mengingat perkataan Ares sebelumnya itu. Dasar sok tahu, Verza berbeda dengan orang gila macam dia.

Tapi jika kuingat kembali, ketika pertama kali aku dan Ares bertemu, mungkin aku akan bungkam untuk sementara.

Kala itu, SMP kelas 2. Aku hanya siswi biasa yang tidak menarik. Aku hanya punya satu teman, namanya Ratih. Kami sama-sama pecundang yang terasingkan di SMP. Apalagi jika di bandingkan dengan Galuh, cewek terpopuler di SMPku.

Lalu siswa baru yang datang dari Australia menjadi teman sekelas kami. Keberadaannya menjadi berita hangat di SMP itu. Bagaimana tidak? Seorang bule menjadi siswa baru di sekolah yang tidak terlalu bagus.

Barulah aku sadar kalau siswa baru itu adalah orang yang baru saja pindah ke rumah di sebelahku. Itu artinya kami tetangga.

"Aku Aresta Riazki, dari Australia. Kalian gak perlu repot memakai bahasa inggris denganku karena aku sudah fasih berbahasa Indonesia. Salam kenal." Ucapnya di perkenalan pertama.

Semua wanita berbisik kagum. Sedangkan yang pria menggoda para wanita atas kedatangan siswa bernama Aresta itu. Beberapa juga merasa tersaingi.

"Hebat ya, Del. Kelas kita bisa punya siswa baru kayak Aresta." Ucap Ratih di jam istirahat. Aku yang sedang mengunyah roti bekalku itu mengangguk sambil memperhatikan pria tinggi yang sedang bermain basket dengan pria yang lain, termasuk teman sekelas.

Diam-diam aku juga menyukainya karena selama sebulan kedatangannya, aku masuk ke dalam list orang-orang yang mendapat keramahan hati Ares.

Beberapa kali Ares menyapaku dengan senyumannya. Ia juga menolongku ketika aku kerepotan dengan kecerobohanku. Ia bilang kalau kami harus berhubungan baik karena kami tetangga. Sebuah alasan yang masuk akal.

Hingga hal itu membuat seseorang risih. Merasa kalau aku tidak pantas mendapat senyuman Ares. Itulah kenapa, suatu hari Galuh memanggilku untuk menemuinya di toilet wanita.

"Ini nih, yang kegatelan dan centil di depan pangeran kita." Ucap salah satu teman Galuh. Sedangkan Galuh sendiri hanya menatapku rendah sambil mengunyah permen karet.

"Aku gak ngapa-ngapain..." Ucapku pelan.

"Berani ngelawan?!!" Bentaknya. Sedangkan Galuh tertawa dan berjalan mendekatiku.

"Hei, gembel. Kalau kamu berani kecentilan lagi sama Aresta, jangan harap kamu lulus dengan rambut dan kacamata tololmu itu. Nih, sebagai peringatan."

Galuh menempelkan permen karetnya itu di rambutku. Mau tidak mau, aku harus memotong rambutku. Ia lalu pergi bersama kelompoknya. Sedangkan aku menetap untuk menangis seorang diri.

Setelah hari itu, aku mulai menjauhi Ares yang tetap ramah padaku. Aku masih menyukainya, tapi aku lebih mencari aman.

"Kamu potong rambut Delyn?" Tanya Ares yang melihat rambut pendekku.

"I-iya." Jawabku canggung, lalu cepat pergi menjauh, takut Galuh melihatnya.

"Mau kemana?" Tanya Ares heran.

"P-perpus."

Ares terdiam menatapku semakin heran dengan kerutan di dahi. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan jika harus menjauhi orang yang aku kagumi. Tapi itulah satu-satunya jalan agar aku tetap hidup. Aku tidak ingin lulus dengan rambut botak dan kehilangan kacamataku karena akan sangat merepotkan.

Still xx You (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang