"Sadar, anjir. Bukan gue yang harusnya lu tanya. Tapi hati lu, dan Delyn sendiri. Tanya sama hati lu sendiri, apa yang harus lu lakuin. Lima tahun punya hubungan sama Delyn, harusnya lu tau bagaimana hati Delyn. Paham?"
Sambil menunggu Mochi yang ingin bertemu denganku, aku mengecap lollipop rasa mangga yang baru aku beli di kantin tadi pagi. Dan tiba-tiba teringat ucapan Varrel kemarin.
Aku mendengus panjang, "Memangnya perasaanku sekarang ini belum meyakinkan, ya?"
Aku kembali mengulum lollipop dan mengamati jalan, di mana lalu lintas sedang ramai lancar. Juga melihat mahasiswa baru, adik tingkatku yang sedang bergurau senda mengobrol perihal Osma yang sudah mereka lakukan.
Lagi-lagi teringat masa lalu, ketika pertama masuk kampus ini bersama Delyn. Karena berbeda grup Osma dengan Delyn, kami berangkat bersama dan bertemu lagi ketika acara per harinya telah selesai. Menyiapkan kebutuhan untuk esok hari kemudian terlelap. Terus seperti itu selama seminggu.
Dari situ, kami bertiga dengan Rene, bertemu dengan Dani dan Varrel yang akhirnya berteman baik hingga sekarang.
Mereka bertiga juga mengenal baik hubungan antara aku dan Delyn. Mengetahui suka dan duka kami tanpa merasa terbebani. Ketika masing-masing memiliki cerita, kami pasti menjadi pendengar yang baik.
Bahkan ketika kami berdua mulai renggang dan akhirnya memutuskan untuk berakhir, mereka tetap ada di sekelilingku.
Aku penasaran, setelah mereka menerima berakhirnya hubungan ini, apa mereka juga akan menerima kami yang mungkin akan bersatu kembali?
"Kak Ares? Nunggu lama?"
Seseorang membuyarkan lamunanku. Ternyata Mochi sudah datang dengan napas terengah-engah.
"Kamu buru-buru ke sini?" Tanyaku.
"Iya, soalnya takut Kak Ares nunggu lama dan bakal ada kelas gitu."
Aku tertawa, "Dasar. Ya udah sini duduk, mau ngobrol perihal apa?"
Mochi mengangguk sambil tersenyum. Setelah mengatur napasnya, ia mulai berkeluh kesah padaku perihal kepemimpinan di himpunan. Ia meminta beberapa saran dariku yang dia sebut berpengalaman ini —kalaupun aku tidak banyak kerja— untuk membantunya.
Walaupun begitu, aku tahu betul bagaimana hal yang seharusnya di lakukan pada semua keluhannya itu. Karena aku pernah berada di posisi yang sama dengannya.
"—jangan dibawa pusing, kamu punya wakil dan semua koordinator yang siap bantu kamu." Ucapku mengakhiri ceramah.
"Iya sih kak. Aku masih gak enak buat ngasih-ngasih tugas gitu. Tapi aku bakal coba buat lakuin apa yang Kak Ares bilang."
"Nah, gitu dong. Ngeluh tapi pinter. Bagus, bagus." Aku menepuk punggungnya.
"Haha makasih banyak Kak Ares."
"Santai. Kalau memang butuh saran, tanya aja lagi."
"Iya kak. Ya udah aku mau kelas. Makasih kak!"
"Dadah." Aku melambai pada Mochi yang mulai pergi meninggalkanku. Kembali terdiam dan menatap jalanan yang mulai sepi.
"Ah, tiba-tiba kangen." Ucapku pelan.
"Kangen siapa?"
Aku tersentak kaget ketika seseorang tiba-tiba berbisik di telingaku. Apalagi mendengar ucapanku tadi.
"D-Delyn!? Kamu k-kenapa ada di sini?!"
"Emangnya ini kampus punya kakekmu apa? Aku kan kuliah di sini juga. Nih." Delyn duduk di sebelahku sambil menyodorkan susu kotak rasa coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still xx You (✓)
Novela JuvenilPerang berakhir, akhirnya kami berpisah. Namun kami masih terjerat dalam ikatan benang merah yang pernah menyatukan. . Gunting? Atau simpul kembali? Biar waktu yang menjawab.