Cemburu

1K 35 0
                                    

Hari-hari yang kulalui begitu hampa, semangat kerjaku menurun drastis. Tak terasa dua bulan sudah pasca perpisahanku dengan kak Andri. Selama itu pula kulihat hubungannya dengan kak Imay semakin instens, jujur aku cemburu. Tapi aku tak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada kakakku sendiri, kulihat ia menjadi baik dan ramah pada siapa pun.

***

Mencoba mencari kesibukan dengan mengasah hobby baruku, ya sejak berpisah dari kak Andri. Banyak dukungan menghampiriku, Bu Indri mengajarkan aku cara bermain biliar di saat sengang dan tak ada customer.

Terkadang juga kak Ranto yang senantiasa menemaniku saat belajar bermain biliar, aku beruntung semua temanku di sini sangat baik. Meski aku adalah karyawan termuda, mereka semua seakan menjaga dan mengkhawatirkanku selayaknya anak bungsu.

***

Beberapa saat yang lalu, kulihat kak Imay pulang kerja dengan membawa bungkusan di tangannya.

"Apa tuh kak?"

"Oh ini, album fhoto yang minggu lalu jalan-jalan, baru saja selesai dicetak."

"Liat dong kak!"

"Nih ... nanti kalau  sudah selesai, letakan di meja kamar saja ya, Ken!"

"Oke, kakak mau ke mana?"

"Aku mau mandi."

"Pantes ...."

"Kenapa? Bau ya?"

"Nah itu tau ... hehehe"

"Masa sich?"

Snip, snip ... tampak ia mengendus-endus kedua ketiaknya. Aku tertawa melihatnya.

"Ah engga bau koq!"

"Yee, lagian yang bilang bau kakak sendiri kok" jawabku sambil terkekeh.

"Dasar kamu ngerjain kakak ya? Yaudah ya kakak mau mandi dulu."

"Iya"

Sepeninggalan kak Imay mandi, kubuka bungkusan yang ia bawa. Benar ternyata album fhoto, kubuka halaman demi halaman. Tampak di sana fhoto kak Imay yang tengah jalan-jalan ke pantai berdua dengan kak Andri. Ada juga fhoto saat mereka naik perahu layar. Mesranya mereka ... tak terasa air mataku pun jatuh juga. Belum selesai kulihat album fhoto itu, segera kututup dan kuletakan di meja kamar kak Imay.

"Bahagialah kau kak bersamanya!
Aku ikhlas, aku mendoakan yang terbaik untuk kalian.
Semoga kalian berjodoh dan senantiasa diberi kebahagiaan ...."

Aku tak bisa terus-terusan seperti ini, meski pun aku ikhlas melepas kak Andri bersama kak Imay. Tapi ... hatiku tak cukup kuat menyaksikan kemesraan mereka.

Sudah saatnya mungkin aku yang harus menjauh!

***

Di tengah kalutnya aku, datanglah kak Dila kembali pulang ke rumah orang tuaku. Ia cukup banyak tahu tentangku dan kak Andri. Kak Dila turut prihatin dengan apa yang tengah menimpaku, entah inisiatifnya sendiri atau memang perintah Emak, kak Dila jadi rajin mengunjungi tempatku bekerja.

Ia senantiasa menemani hari-hariku dalam bekerja, bahkan tak segan ia membantu pekerjaanku. Aku dan Kak Dila memiliki hobby baru saat itu, sama-sama menyukai bermain biliar, entah karena kami butuh hiburan atau entah apa, rasanya setiap memiliki uang selalu habis begitu saja dihambur-hamburkan hanya untuk bermain biliar.

Selalu  kuajak kak Dila ke mana pun aku pergi, kami berdua berpetualang dari biliar satu ke biliar yang lain, hanya untuk menuntaskan hobby kami.

Emak dan Bapakku mengetahui ada yang tak beres denganku juga kak Dila. Suatu malam ketika aku dan kak Dila baru pulang ... tampak Emak sama Bapak masih duduk di ruang depan, padahal saat itu waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.

"Assalamu'alaikum ... eh Emak, Bapak koq belum tidur?"

"Waalaikum salam, Niken, Dila sini duduk!" Jawab Bapakku, tampak ada raut kesal di wajahnya.

Aku menunduk tak berani menatap Bapak dan Emak.

"Dari mana kalian jam segini baru pulang?"

"A ... aku habis main, Pak" jawab kak Dila gugup.

"Main apa? Main biliar? Habis-habiskan uang lagi?"

"Maaf pak, Niken yang salah. Niken yang ajak kak Dila."

"Kamu juga ... mentang-mentang sudah bisa cari uang sendiri, sekarang mau gaya-gaya'an ya? Bapak ga minta gaji yang kamu peroleh, tapi apa pantas anak gadis pulang ke rumah tengah malam? Kamu juga Dila, pamitnya tiap hari untuk temani sekaligus jagain Niken kerja. Kenapa malah ikut-ikutan dukung Niken pulang malam? Seharusnya sebagai kakak, kamu bisa menjaga adikmu supaya bisa terarah. Ini malah ngikutin arus ...," hardik Bapak penuh penekanan. Tampaknya Bapak begitu serius, kali ini sangat marah.

Aku beringsut menghampiri Bapak, serta merta kucium telapak tangannya.

"Pak, maafin Niken dan kak Dila,  Niken yang salah ... Niken Khilaf pak! Niken janji ga akan ulangi hal ini lagi. Niken mohon, jangan marahi kak Dila!"

Bapak menghela nafas berat,tapi pada akhirnya tangan rentanya mengusap kepalaku jua.

"Bapak marah karena Bapak khawatir, begitu besar rasa khawatir Bapak ketika anak-anak Bapak belum juga pulang. Niken ... kamu anak gadis, apa kata orang kalau tau kamu baru pulang ke rumah jam segini? Dila, kamu juga seorang janda. Tak baik keluyuran sampai larut malam, Bapak ga malu kalau diomongin orang, tapi Bapak ga terima kalau kalian yang dicap buruk sama orang-orang. Ditambah lagi, Bapak khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada kalian."

"Iya pak, Dila juga minta maaf. Dila janji akan menjaga Niken dan ga akan membiarkan hal ini terjadi lagi."

"Oke Bapak maafkan, bapak pegang janji kalian. Ya sudah sekarang sana kalian istirahat! Sudah malam."

"Baik, Pak" jawabku bersama'an dengan kak Dila.

Ketika sampai kamar ...

"Kak maafin aku ya! Gara-gara aku, Kakak jadi kena marah Bapak"

"Enggak apa-apa, Ken. Lagian salah kakak, seharusnya kak Dila bisa mengontrol kamu, tapi kak Dila juga malah ikut asik sendiri."

"Kak ..."

"Iya, kenapa?"

"Kayaknya aku mesti pindah kerja deh, aku mulai ga nyaman kerja di sana. Ditambah lagi udah dua kali kak Andri mengingkari janjinya. Ia datang ke biliar saat jam kerjaku berlangsung, bersama kak Imay lagi ... kalau saja tak ada kak Dila, rasanya ingin kutimpuk kak Andri dengan bola biliar. Memuakan melihat mereka pamer kemesraan di hadapanku."

"Terus kamu mau pindah ke mana?"

"Entahlah, yang pasti besok aku akan ijin ke Bu Indri untuk libur tak kerja. Kakak mau bantu aku ga?"

"Apa tuh?"

"Kakak telponin tempat kerjaku,  bilang aku sakit, jadi tak bisa masuk kerja!"

"Kamu nyuruh kakak bohong gitu?"

"Ya maaf, tapi ga bohong-bohong amat kok! Aku kan memang sedang sakit ... sakit hati"

Aku dan kak Dila akhirnya tertawa bersama. Merebahkan tubuh lelah kami, setelah berpetualang tadi mengunjungi biliar di tempat yang baru kami kunjungi di kota.

Kuingat banyak mata terpana dengan permainan biliarku, ada beberapa menawarkan aku unutk taruhan. Hihihi ... kutolak secara halus, kukatakan pada mereka bahwa aku bermain biliar hanya sekedar hobby.

Gara-gara hobby baruku itulah, gajiku selama sebulan abis dalam beberapa hari. Miris ...

Semua terjadi bukan sepenuhnya salahku, kulakukan itu hanya untuk pelarian saja dari rasa sedih dan sakit hatiku, atas kegagalan cintaku dengan kak Andri.

Hobby baruku hanya sekedar pelampiasan, atas rasa cemburuku melihat kemesraan kak Andri dengan kak Imay ....

"Aku Terlalu Polos" (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang