Jimin menerima susu pisang dan roti gandum itu untuk pertama kalinya tepat sehari setelah ia berpisah dengan Yoongi yang memutuskan untuk pindah sekolah karena masalah yang menimpa mereka. Ketika ia membuka mata di ruangan klub tari usai jatuh tertidur karena kelelahan menangisi kepergian Yoongi, dua benda itulah yang menyambutnya.
Jimin menarik napas sejenak, berusaha mengumpulkan tenaga yang masih tersisa, sebelum akhirnya memaksa tubuhnya yang lemas untuk duduk. Sambil mengusap matanya yang masih terasa perih akibat terlalu banyak menangis, ia meraih susu pisang dan roti gandum yang diletakkan tak jauh darinya itu dengan kening berkerut.
'Siapa yang meletakkan ini di sini?' Ia bertanya-tanya dalam hati. Kerutan di keningnya menjadi semakin dalam ketika ia menemukan secarik catatan kecil yang ditempel di balik kotak susu pisang itu.
Himnae! ^^
Tanpa sadar, Jimin melengkungkan segaris senyum kecil setelah membaca satu buah kata beserta emoji yang tertera pada catatan itu. Meskipun singkat, tetapi sarat dengan makna penyemangat. Jimin bisa merasakan secercah perasaan hangat yang perlahan membanjir di dalam dadanya hanya dengan membayangkan wajah seseorang yang sedang tersenyum padanya sambil mengepalkan kedua tangan sebagai gestur untuk memberi semangat. Ia memandangi catatan itu lekat-lekat, merasa tercekat ketika menyadari wajah seseorang yang ia bayangkan adalah wajah yang tak akan lagi mengisi hari-harinya. Wajah yang menampakkan ekspresi penuh luka ketika ia melihatnya untuk yang terakhir kali tadi malam. Wajah Yoongi … yang belum genap satu hari meninggalkannya, namun sudah menimbulkan kerinduan yang teramat mendalam. Jimin bahkan merasa dirinya mulai berhalusinasi karena suara berat pemuda itu kini turut terngiang-ngiang di dalam telinganya.
“Yoongi-hyung ….” bisiknya lirih, bersamaan dengan air matanya yang kembali meluruh. Didekapnya catatan itu di dadanya dengan erat, membayangkan wajah Yoongi sekali lagi sembari memejamkan mata.
“Jimin-ah?” tegur sebuah suara tiba-tiba. Jimin tersentak kaget, sontak melemparkan pandangan ke arah pintu dan mendapati Hoseok yang menatapnya dengan raut khawatir. Buru-buru ia mengusap sisa air mata yang membekas di pipinya, menyimpan catatan itu ke dalam saku celana panjangnya, sampai akhirnya memberanikan diri menatap Hoseok kembali seraya memaksakan seulas senyum.
“Hoseok-hyung ….” balas Jimin dengan suara serak. Ia berdeham, mencoba memulihkan kembali pita suaranya agar Hoseok tak sampai curiga. “Apa yang kaulakukan di sini pagi-pagi begini?” tanyanya kemudian, merasa bodoh setelahnya karena ia sendiri sebenarnya sudah mengetahui jawabannya. Menjelang hari kompetisi yang semakin dekat, sudah tentu Hoseok akan memanfaatkan semua kesempatan yang ada untuk menyempurnakan lagi koreografi yang akan ditampilkan oleh perwakilan klub mereka nantinya. Apalagi setelah posisi Jimin terpaksa digantikan oleh rekannya—yang meskipun sama-sama berbakat, namun memiliki kemampuan dan ciri khas yang jauh berbeda dengannya.
Hoseok menghela napas berat melihat keadaan Jimin yang jauh dari kata 'baik'. Ia melangkah pelan menghampiri pemuda itu, lalu mendudukkan dirinya di samping Jimin. “Harusnya aku yang bertanya begitu, tahu,” dengusnya seraya menyentil dahi Jimin yang seketika meringis kesakitan sambil mengusap-usap area dahinya yang terkena serangan dari Hoseok. “Apa yang kaulakukan di sini? Apa kau tak pulang semalam dan menginap di sini?” tanya Hoseok, terkekeh kecil melihat ekspresi kesakitan Jimin yang dilebih-lebihkan. “Hentikan itu. Aku bahkan tidak menyentilmu menggunakan tenaga kudaku,” gerutunya sambil menggosok dahi Jimin hingga poni pemuda itu ikut berantakan.
“Ya ya ya! Kau yang harus berhenti, hyung!” protes Jimin dengan nada kesal, berusaha menahan tangan jahil Hoseok yang masih saja betah menggosok-gosok dahinya. Mereka tertawa-tawa karena tingkah konyol mereka sendiri, kemudian serempak berbaring bersebelahan setelah merasa kelelahan.
“Terima kasih, hyung,” gumam Jimin tiba-tiba. Hoseok menoleh ke arahnya dengan kening berkerut, terlebih ketika ia melihat seulas senyum yang kini terpatri di bibir pemuda itu. Meskipun kilat kesedihan masih terpancar dengan nyata di kedua matanya, namun senyumnya kali ini sudah tampak lebih tulus dibanding senyum yang ditorehkan pemuda itu sebelumnya.
“Untuk?” tanya Hoseok.
Jimin menoleh ke arah seniornya itu, masih dengan senyumnya yang menawan. "Semuanya,” balasnya singkat, mendudukkan dirinya kembali seraya menyambar susu pisang dan roti gandum yang asalnya masih menjadi misteri itu.
Meskipun ia tidak mengerti maksud ucapan Jimin, namun Hoseok turut tersenyum melihat pemuda itu menyantap roti gandum dan susu pisangnya dengan lahap. “Aku ... telah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu melindungimu. Itulah ambisiku mulai saat ini,” gumamnya, yang tak mampu ditangkap oleh Jimin karena pemuda itu terlalu sibuk menikmati makanannya. "Aku tak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi dan menghancurkan senyum berharga itu ... siapapun."
Satu hal yang juga tak disadari Jimin hari itu adalah … senyumnya yang polos dan penuh ketulusan ... membuat sebuah ambisi perlahan-lahan berevolusi menjadi sebuah obsesi.
…
A/N:
Bingung? Sama, Chill juga😁
Perlu Chill ingatkan lagi kalau cerita ini menggunakan alur maju-mundur ya. Jadi, yang merasa bingung dengan plotnya, silakan baca ulang dan resapi apa yang sebenarnya terjadi. Good luck, my fellas!!!
Kalau masih bingung juga, nantikan jawabannya di chapter-chapter selanjutnya, kay?😉
Oh ya, terima kasih untuk cinta dan dukungan kalian. I love you all💜💛💜💛💜💛
Siapa yang ga takluk coba, dikasi senyum kayak gitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Suga & Chim || YoonMin [✔]
Fanfiction[Judul sebelumnya: Diary of Sweet and Swag] Kisah cinta ketua klub basket yang dingin dan cuek dengan anggota klub tari yang manis namun galak. Suga dan Chim. "Sebenarnya kau serius tidak sih mau pacaran denganku?" "Kalau aku tidak serius, mana mung...