17 - Konflik

3.1K 482 37
                                    

"Yoongi-hyung ...."

Mendengar suara lirih yang memanggil namanya, Yoongi yang semula menatap kosong ke arah dinding koridor di depannya, perlahan menoleh dan menegakkan tubuhnya menghadap Jimin yang kini berlari menghampirinya.

"Akhirnya kau datang, hyung."

Yoongi berjengit kecil ketika tubuh Jimin menubruk tubuhnya tanpa aba-aba. Kedua matanya yang sipit melebar sesaat ketika merasakan tangan sang junior mendekap tubuhnya dengan begitu erat.

Jimin sendiri tampaknya tak menyadari apa yang tengah dilakukannya—karena kini ia sibuk membombardir Yoongi dengan berbagai macam pertanyaan. Lonjakan perasaan asing yang membuncah di dadanya ketika melihat sosok Yoongi, rupanya telah membuat tubuhnya hilang kendali dan bergerak secara otomatis tanpa menunggu komando dari otaknya.

"Kemana saja kau selama ini, hyung? Kenapa tiba-tiba menghilang? Apa yang sebenarnya kau lakukan? Apa kau—" Jimin menghentikan kalimatnya ketika akhirnya ia tersadar. Buru-buru ia menarik diri dan beringsut mundur.

Kemudian hening. Yoongi tak memberikan reaksi, sedangkan Jimin tak tahu lagi harus beraksi seperti apa.

"Apa kau baik-baik saja, hyung?" tanya Jimin akhirnya, setelah jeda yang lumayan panjang. Mencoba menghalau suasana canggung yang tercipta di antara mereka akibat tindakan beraninya barusan.

Sementara itu, Yoongi masih tetap bergeming. Jimin baru menyadari ekspresi aneh yang kini terpasang di wajah pemuda itu. Wajah yang biasanya tak pernah absen memamerkan senyum semanis gulanya untuk Jimin, kali ini terlihat hambar. Ekspresinya tampak dingin dan kaku. Sebuah ekspresi yang sebelumnya Jimin lihat ketika Yoongi berhadapan dengan Park Chanyeol.

"H-hyung ...." Jimin memberanikan dirinya menyentuh bahu Yoongi karena pemuda itu tak kunjung menjawab. "Ada apa denganmu, hyung? Kenapa diam saja? Apa kau baik-baik saja?"

Jimin terkesiap ketika Yoongi tiba-tiba menepis tangannya.

"Tak perlu berpura-pura peduli padaku, jika pada akhirnya kau tetap melakukan itu," sahut Yoongi dengan nada datar, namun penuh dengan penekanan. Kedua matanya menatap Jimin dengan tajam.

Jimin mengerutkan keningnya bingung, mulai merasakan ada sesuatu yang tak beres. "Apa maksudmu, hyung? Siapa yang berpura-pura? Dan ... apa memangnya yang telah kulakukan?"

Yoongi tertawa sarkastis. "Jangan bertingkah bodoh, Jimin-ssi. Kau hanya membuatku semakin marah. Jika kau memang membenciku, harusnya kau tunjukkan itu sejak awal. Tak usah repot-repot bertingkah seolah kau peduli, lalu mengkhianatiku saat aku sepenuhnya percaya padamu," ujarnya sinis. "Ataukah ... memang itu rencanamu sejak awal? Apa memang itu siasat yang ingin kau gunakan untuk menjatuhkanku?"

"Tunggu, hyung," sergah Jimin. "Aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bisakah kau menjelaskannya dari awal? Aku—"

"Sudah cukup, Jimin-ssi," potong Yoongi. Nada dingin dan tatapan tajamnya membuat dada Jimin kembali berdenyut ngilu. "Aku sudah muak dengan segala kepura-puraanmu."

Sebelum ia berbalik dan melangkah pergi, sebuah buntalan kertas dilemparkannya hingga mengenai dada Jimin sebelum akhirnya jatuh ke lantai tak jauh darinya.

"Aku kecewa padamu, Jimin-ssi."

Jimin masih bisa mendengar Yoongi bergumam lirih sebelum pemuda itu melangkah cepat meninggalkannya. Ia ingin mengejar, namun buntalan kertas putih itu terlebih dulu menarik atensinya. Dipungutnya buntalan kertas itu, dibukanya dengan hati-hati agar tidak sampai robek, kemudian dibacanya dengan cermat.

Air mata Jimin berjatuhan satu-persatu tanpa bisa ia tahan ketika ia memindai kalimat demi kalimat yang tertera di kertas itu. Kertas putih yang ternyata merupakan sebuah surat keputusan dari kepala sekolah itu, menyatakan bahwa Yoongi akan dibebastugaskan dari seluruh kegiatan klub basket selama tiga bulan. Itu berarti, ia takkan bisa mengikuti kompetisi yang akan diikuti oleh klub mereka yang akan digelar tiga hari lagi. Tak cukup sampai di sana, kenyataan yang paling membuat terpukul adalah bahwa status Yoongi sebagai kapten tim juga telah dicabut.

Tanpa menunda waktu lebih lama, Jimin segera berlari mengejar Yoongi. Beruntung, pemuda itu masih belum terlalu jauh, sehingga Jimin berhasil menyusulnya.

"Yoongi-hyung! Tunggu sebentar, hyung!" serunya sembari menarik lengan Yoongi, berusaha mencegah pemuda itu melangkah lebih jauh. "Kumohon dengarkan aku, hyung. Tolong berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

Yoongi terdiam. Ekspresinya masih tetap sama. Tampak dingin dan kaku.

"Aku bersumpah bukan aku yang melakukannya, hyung. Bukan aku yang melaporkan kejadian itu. Aku tidak tahu bagaimana Park Chanyeol bisa tahu mengenai kejadian itu, tapi dia mendatangiku dan memaksaku untuk membeberkan apa yang terjadi hari itu," jelas Jimin dengan kalap.

Yoongi kembali menepis tangan Jimin yang masih mencengkeram lengannya. "Mau itu kau atau orang lain, tetap saja mimpiku telah hancur."

"Tapi aku tak mengatakan apapun pada mereka!" Jimin membela diri.

"Justru itu!" sambar Yoongi. "Justru karena kau berusaha menutupinya, tudingan yang dilayangkan padaku jadi semakin bertambah. Kau tahu apa yang dikatakan tua bangka sialan itu dan anak laki-laki bajingannya? Mereka menuduhku telah mengintimidasimu agar kau tutup mulut!"

Jimin menatap Yoongi dengan tatapan terluka. "Jadi sekarang kau menyalahkanku? Aku berusaha melindungimu, tapi kau malah menyalahkanku?"

Yoongi terdiam, namun ekspresinya perlahan melunak ketika melihat tatapan Jimin. Ia juga baru menyadari lelehan air yang berlinang membasahi kedua pipi pemuda itu.

"Kau tahu bukan aku yang melaporkanmu, dan sekarang kau juga tahu bahwa aku telah berusaha tetap bungkam meskipun aku diancam. Aku telah menentang kepala sekolah hanya demi melindungimu. Tapi, kau malah menyalahkanku?"

Jimin menyusut air matanya dengan kasar. Suara isakan yang terdengar di sela-sela ucapannya, entah kenapa membuat dada Yoongi terasa sesak. Hatinya terus berteriak memerintahkannya untuk merengkuh dan menenangkan pemuda itu, namun ada sesuatu yang seolah menghalanginya untuk melakukan itu. Sesuatu yang meninggalkan rasa penyesalan terdalam baginya, bahkan hingga hari ini.

"Harusnya aku yang merasa kecewa padamu, hyung. Sejak awal, aku tak tahu apa alasanmu menghajar tiga siswa sekolah tetangga itu. Entah kau bermaksud baik, atau malah sebaliknya, aku tetap berusaha melindungimu. Aku percaya kau takkan menghajar orang lain jika kau tak memiliki alasan yang jelas. Aku percaya kau takkan pernah memiliki niat buruk terhadap orang lain. Tapi, justru ini yang kudapat sebagai balasannya?"

"Jimin—"

"Aku menyesal, hyung. Bukan karena aku telah melindungimu, tapi aku menyesal karena telah mempercayaimu ...."

...

A/N:
Entah kenapa, Chill merasa jalan ceritanya jadi rada aneh😢 Apakah konfliknya terkesan dipaksakan? Atau terlalu dibuat-buat? Atau membingungkan? Atau justru hambar?

[POSTED: 11.09.2018]
[EDITED: 09.02.2019]

Story of Suga & Chim || YoonMin [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang