18 - Segregasi

3.1K 472 16
                                    

[A/N: Turn on the music if u wanna feel the beat]

Jimin menatap kosong kertas putih yang kini ada di tangannya. Kertas putih dengan bentuk dan isi yang serupa dengan yang dibacanya kemarin malam. Hanya saja, kali ini dengan nama penerima yang berbeda. Bukan Min Yoongi, melainkan Park Jimin. Surat keputusan dari kepala sekolah itu kini ditujukan untuk Park Jimin, yang menyatakan bahwa dirinya akan dibebastugaskan dari seluruh kegiatan klub tari selama sebulan, karena dianggap telah berusaha menutupi kejahatan Min Yoongi.

"Maafkan aku, Jimin-ah."

Hoseok, selaku ketua klub yang diberikan kewenangan untuk menyampaikan surat itu, tak henti-hentinya mengucapkan permohonan maaf. Pemuda itu bahkan tak segan untuk membungkukkan tubuhnya pada Jimin, seolah ingin menunjukkan rasa penyesalan terdalamnya pada sang junior.

"Aku memang laki-laki yang pengecut," ujarnya dengan suara yang terdengar parau. "Aku berjanji untuk membelamu, tapi kenyataannya tak ada yang bisa kulakukan. Aku terlalu takut untuk melawan kepala sekolah. Mereka mengancam akan membekukan klub kita jika aku berani menentang. Maafkan aku, Jimin-ah, maafkan aku."

Jimin melipat kertas itu dan menyimpannya di saku jas almamaternya, kemudian menghampiri Hoseok yang masih membungkuk di hadapannya, dan membantu sang senior untuk berdiri tegak kembali.

"Jangan begini, hyung. Semua ini bukan salahmu. Aku mengerti kompetisi itu penting untukmu, begitupula untukku, dan untuk klub kita. Kehilangan satu peserta sepertiku tidak akan menjadi halangan yang berarti." Ia mengukir seulas senyum dan menepuk bahu Hoseok pelan. "Oleh karena itu, kau harus berjuang, hyung. Tugas yang jauh lebih berat kini ada di pundakmu. Kau harus memenangkan kompetisi itu dan membuktikannya pada mereka. Demi aku dan klub kita."

Mendengar kata-kata Jimin, pertahanan Hoseok seketika hancur. Direngkuhnya tubuh sang junior, dan menumpahkan air mata yang berusaha mati-matian ia tahan di bahu pemuda itu.

"Terima kasih, Jimin-ah, terima kasih banyak," raungnya. "Aku berjanji akan membawa pulang medali emas itu dan mempersembahkannya untukmu. Kali ini kau bisa pegang kata-kataku. Aku tidak akan mengingkari janjiku untuk yang kedua kalinya."

Jimin mengangguk dan memejamkan matanya sejenak, membiarkan setitik air lolos melintasi kedua pipinya. "Aku percaya padamu, hyung."

Malam itu, usai menyaksikan teman-temannya berlatih, Jimin meminta ijin untuk menggunakan ruangan klub tari sedikit lebih lama. Hoseok menawarkan diri untuk menemani, namun Jimin menolak karena ia sedang ingin menikmati waktunya sendiri. Memahami bagaimana perasaan pemuda itu, Hoseok akhirnya mengalah, meskipun sebenarnya ia merasa begitu khawatir.

"Aku selalu siap sedia jika kau membutuhkanku, Jimin-ah," pesannya sebelum pergi. "Jadi, jangan pernah sungkan untuk memanggilku."

Jimin mengangguk dan tersenyum simpul. "Terima kasih, hyung."

Hoseok ikut tersenyum dan menepuk kepala Jimin pelan. "Kalau begitu, aku pamit, ya. Jangan terlalu memaksakan dirimu."

"Akan selalu kuingat," balas Jimin seraya melambaikan tangannya. "Hati-hati di jalan, hyung."

Sepeninggal Hoseok dan seluruh rekannya yang lain, Jimin berdiri diam di tengah ruangan. Memandangi pantulan dirinya pada cermin besar yang menempel di dinding. Ketika musik yang sebelumnya telah ia setel mulai bergaung memenuhi ruangan, ia mulai menggerakkan tubuhnya. Menikmati alunan musik yang seakan membelai setiap inci tubuhnya, bagaikan sentuhan lembut dari tangan-tangan tak terlihat yang mampu menghantarkan gelenyar rasa nyaman dan menenangkan kembali seluruh emosi yang bergejolak di dadanya.

Entah sudah berapa kali musiknya berganti, namun Jimin masih tak ingin berhenti. Tak peduli pada keringatnya yang telah bercucuran hingga membasahi lantai di sekitarnya, tak peduli pada napasnya yang telah putus-putus dan tenaganya yang nyaris terkuras habis. Ia terus memaksa tubuhnya untuk bergerak mengikuti alunan musik yang terputar.

Sampai kemudian, kedua matanya menangkap bayangan sosok lain di cermin. Jimin menghentikan tariannya, memandangi bayangan dari sosok yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya.

"Untuk apa kau kemari?" tanyanya dingin. "Ingin mengejekku karena gagal mengikuti kompetisi?"

Sosok pemilik bayangan itu berhenti tak begitu jauh dari tempat Jimin berdiri. "Untuk apa aku mengejekmu kalau aku sendiri juga gagal?"

Jimin terkekeh, namun suara kekehannya justru lebih terdengar seperti suara isakan di telinga sosok itu. "Jadi, sekarang kau kemari untuk meratapi nasib bersamaku?"

Sosok itu tak menjawab. Ia hanya memandangi Jimin melalui pantulan bayangannya di cermin, begitupula sebaliknya.

Bermenit-menit berlalu hanya dengan ditemani oleh iringan musik yang masih mengalun pelan. Sampai akhirnya, suara hembusan napas yang terdengar berat memecah keheningan di antara mereka.

"Aku akan pindah." Sosok itu memulai. "Mulai besok, kau takkan bisa bertemu denganku lagi."

Jimin terhenyak sesaat, namun ia terlalu pandai menyembunyikan keterkejutannya di balik raut datarnya. "Benarkah? Malah bagus kalau begitu. Aku jadi tidak perlu bersusah payah lagi menahan kebencianku setiap kali melihat wajahmu."

"Jimin-"

"Satu lagi," potong Jimin sebelum sosok itu sempat membalas. "Kalau kau mau pergi, pergi saja sana. Tak perlu repot-repot pamitan padaku. Toh, aku sudah tak peduli. Mau kau pergi atau tetap di sini pun, aku juga berencana untuk tak bertemu denganmu lagi."

Sosok itu terdiam, namun dari sorot matanya yang sendu, Jimin tahu kata-kata yang ia lontarkan telah berhasil melukainya.

"Kenapa masih berdiri di sana?!" sentak Jimin, menatap sosok itu dengan tatapan tajam. "Tidakkah kata-kataku cukup jelas bagimu? Atau, apa masih harus kupertegas lagi?"

"Maaf."

Jimin bisa mendengar bisikan lirih sosok itu, sebelum ia berbalik dan melangkah pergi. Melihat punggung ringkih yang perlahan menjauh itu, dada Jimin kembali berdenyut ngilu. Bahkan rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan daripada sebelumnya, sampai-sampai ia harus mencengkeram dadanya seraya meringis menahan sakit. Dan ketika sosok itu telah benar-benar lenyap di balik pintu, tubuh Jimin ambruk ke lantai. Air matanya seketika membanjir tanpa sanggup ia tahan lebih lama.

"Maafkan aku ... Yoongi-hyung ... maafkan aku ...."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

A/N:
Semoga feel-nya nyampe ya😅
Oh ya, flashbacknya akan berakhir sampai di sini, so chapter depan kita akan kembali ke jaman now dan menguak segala hal yang belum tersampaikan.

[POSTED: 18.11.2018]
[EDITED: 09.02.2019]

Story of Suga & Chim || YoonMin [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang