07 - Chimchim

5.2K 605 9
                                    

Semuanya berawal dari sebuah pesan singkat yang diterimanya tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi.

Hari itu adalah hari pertama Jimin bersekolah di Bangtan Junior High School, dan entah karena nasibnya yang sedang kurang beruntung atau karena memang sudah menjadi bagian dari garis takdirnya, Jimin tak tahu. Jika saja waktu itu ia tak ingat bahwa dirinya sedang berada di depan gerbang sekolah yang ramai oleh para siswa yang hendak pulang, ingin sekali rasanya Jimin berteriak merutuki supir pribadi keluarganya yang tiba-tiba memberinya kabar bahwa pria paruh baya itu tidak bisa menjemputnya karena sedang terkena diare akut.

Jimin pindah bersama keluarganya dari Busan ke Seoul tak lama setelah ia diterima di sekolah menengah pertama yang cukup bergengsi itu, sehingga ia belum sempat mengenal lingkungan di sekitarnya dengan begitu baik. Ia ingin menghubungi sang ayah untuk menjemputnya, namun ia tak ingin mengganggu pekerjaan beliau. Ia juga tak mungkin meminta ibunya untuk menjemput, karena beliau dilarang oleh sang ayah untuk menyetir setelah hampir merenggut nyawanya sendiri dalam sebuah kecelakaan tunggal. Maka dengan berat hati, Jimin akhirnya memutuskan untuk menyusuri jalan di sekitar sekolahnya guna mencari halte bus terdekat.

Sebagai upaya antisipatif agar ia tidak sampai tersasar, ibunya telah berulang kali mewanti-wanti Jimin untuk menghindari jalanan yang sepi atau sempit. Namun hari itu, entah kenapa kaki Jimin rasanya seperti bergerak sendiri menuntun setiap langkahnya. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat itu hanyalah bagaimana caranya menemukan halte bus dengan cepat sehingga ia bisa segera pulang, tanpa sedikitpun ingin repot-repot mengingat nasihat ibunya. Ketika ia menginjakkan kaki di sebuah gang yang cukup sepi di dekat sekolah, barulah kemudian ia menyesali kecerobohannya.

Di sana, ia melihat pemuda itu. Dengan penampilan yang terlihat urakan, pemuda itu duduk di sebuah tong besar yang tergeletak di salah satu sisi gang. Tidak ada yang salah dengan itu, Jimin mencoba meyakinkan dirinya dengan cara berpikir positif. Mungkin pemuda itu adalah seorang tunawisma yang kebetulan sedang beristirahat di sana, atau mungkin saja dia adalah orang gila yang tersesat.

Jimin masih bisa bersikap tenang dan melangkah dengan santai, sampai kemudian matanya menangkap sebuah pemandangan yang mengerikan. Tak jauh dari pemuda yang tengah duduk itu, tergeletak sesosok tubuh pemuda lain yang terlihat sudah tak bergerak. Jimin tak yakin apakah pemuda itu hanya pingsan atau sudah tak bernyawa, namun melihat darah yang mengotori sebagian besar seragamnya, membuat Jimin tanpa sadar meloloskan sebuah jeritan kencang yang berhasil mengusik kedamaian pemuda yang duduk tak jauh darinya.

"Berhenti!" Jantung Jimin serasa terbanting ke tanah saat pemuda itu balas berteriak dan menatap nyalang ke arahnya. "Tetap di sana dan jangan bergerak!"

Malaikat-malaikat maut seolah menari mengelilingi Jimin sambil menyanyikan senandung kematian saat pemuda itu bangkit dan melangkah cepat menghampirinya. Otaknya memerintahkannya untuk lari, namun tubuhnya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat itu hanyalah memejamkan matanya dengan erat seraya merapalkan doa dalam hati.

Di saat ia sudah memasrahkan diri menerima apapun yang akan terjadi, Jimin merasakan sebuah tarikan keras di tangannya yang membuat tubuhnya melayang sejenak sebelum akhirnya terhempas ke tanah. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya saat ia menyadari apa yang baru saja terjadi.

Di hadapannya kini, ia melihat pemuda yang tadi berteriak padanya sedang bergumul bersama pemuda lain yang entah muncul darimana. Mereka bertarung cukup sengit, saling adu jotos dan saling terjang, berusaha keras melumpuhkan satu sama lain.

Awalnya, Jimin mengira pemuda yang tadi berteriak padanya itu akan kalah karena dilihat dari bentuk tubuhnya yang mungil dan ringkih, sepertinya ia takkan mampu mengungguli lawannya yang berperawakan jauh lebih besar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan tubuh mungilnya, pemuda itu mampu bergerak dengan lincah dan menghindari setiap serangan dengan begitu mudah. Seakan telah terlatih, pemuda itu juga berhasil mendaratkan beberapa tinju telak di wajah dan tubuh lawannya, hingga tak berselang lama, lawannya telah tergeletak tak berdaya.

Melihat adegan itu, Jimin seketika tersadar dari keterpanaannya. Tepat ketika ia akan bangkit dari posisinya yang masih terduduk di tanah, ia merasakan sebuah gerakan cepat di belakangnya. Beruntung ia memiliki refleks yang bagus, sehingga Jimin berhasil menghindar sebelum kepalanya terhantam tinju dari seorang pemuda lain yang datang secara tiba-tiba.

"Masih tak menyerah juga, eoh?"

Jimin mendengar pemuda itu terkekeh pelan, sebelum adegan yang sama kembali terulang dengan pemeran yang berbeda. Hanya saja, seperti yang ia perkirakan, hasil akhirnya masih tetap sama. Sulit dipercaya, namun pemuda mungil itu mampu menaklukan lawannya hanya dalam hitungan menit.

"Kau baik-baik saja?"

Sebuah tepukan ringan di bahunya membuat Jimin terkesiap. Saking larutnya ia menikmati adegan yang terjadi di hadapannya, sampai-sampai ia tak sadar kalau pemuda itu kini telah berdiri di sampingnya.

Jimin mengangguk kaku, tiba-tiba merasakan gelombang ketakutan kembali menyergapnya saat merasakan aura penuh intimidasi dari pemuda itu. Terlebih lagi, saat ini pemuda itu tengah memindainya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan kedua mata kecilnya yang mengingatkan Jimin pada sepasang mata serigala.

"Kau salah satu siswa baru yang sedang mengikuti orientasi, ya?" tanya pemuda itu.

Lagi-lagi, Jimin hanya bisa mengangguk tanpa bicara sepatah katapun.

"Siapa namamu, anak baru?"

Otak Jimin berputar dengan cepat, mengingat salah satu nasihat ibunya yang selalu ia dengar sewaktu ia masih kecil: Jangan pernah sembarangan membuka identitasmu pada orang asing! Terlebih lagi, orang asingnya terlihat seberbahaya ini. Walaupun secara tak langsung pemuda itu telah menyelamatkannya, Jimin tetap merasa tak ada salahnya jika ia mengambil langkah antisipatif.

Sambil menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang bertalu-talu dengan kencang, Jimin menjawab, "Chimchim."

"Chimchim?" ulang pemuda itu dengan kening berkerut. Jimin mengangguk, dalam hati sibuk merutuki nama konyol yang terlontar begitu saja dari bibirnya. Beruntung, pemuda di hadapannya tak bertanya lebih jauh.

"Baiklah, Chim. Refleksmu tadi lumayan bagus," puji pemuda itu tiba-tiba, dengan seulas senyum tipis yang membuat Jimin terpana sesaat. Tangan penuh lecetnya yang semula bertengger di pundak Jimin, kini terulur di depan dadanya. "Jadi, mau bergabung bersama kami?"

Jimin ingat, saat itu tanpa pikir panjang ia melepaskan tas punggungnya dan dengan brutal menggebuki pemuda yang belum sempat dikenalnya itu—sebelum akhirnya ia melarikan diri dari sana seraya berteriak kencang.

...

A/N:
Please enjoy :)

[POSTED: 12.10.2018]
[EDITED: 08.02.2019]

Story of Suga & Chim || YoonMin [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang